"Lun, sumpah lu frontal banget, tadi.. Kalau Dani sakit hati dan enggak mau main lagi ke sini, gimana?" Miki mengeluarkan suara protesnya saat sudah sampai di dapur.
"Ya udah, berarti dia enggak bisa berbaur sama kita." jawab Luna dengan cuek.
Karin yang mendengar keributan itu pun akhirnya menoleh. "Kalian kenapa lagi, sih? Kalau ketemu pasti selalu berantem.. Enggak capek, apa, mulutnya dipake buat berdebat mulu." katanya.
"Gua enggak mungkin debat kalau bukan Luna yang nyari gara-gara duluan, Kak." Miki membela diri.
"Lu bikin masalah apa lagi, sih Lun?" Karin mengalihkan pertanyaannya.
"Enggak bikin masalah apa-apa, kok. Bungsu aja yang lebay, gua kan enggak asal ngomong." jawab Luna yang tak memberikan jawaban jelas pada pertanyaan Karin. Akhirnya, saudara tertua itu mengalihkan perhatian pada Reynata, satu-satunya orang yang pasti bisa mengerti kemauannya.
"Itu, lho, Rin... ada Dani, cem-cemannya si bungsu datang ke rumah. Orangnya agak canggung gitu dan ternyata lebih muda dua tahun dari kita. Pas, gua minta Luna dan Miki nemenin ke dapur, si Dani niat mau ikut bantu. Gua bilang enggak usah, tapi kayaknya orangnya enggak enakan gitu, deh... Akhirnya, si Luna ngeluarin kata-kata pedesnya ke Dani... biasalah frontal." jawab Reynata.
"Oooh gitu.." komentar singkat dilontarkan. "Lun, lu enggak boleh, begitu... gua tahu lu emang tipe frontal tapi kalau sama tamu, even dia adalah teman dekat salah satu saudara lu, harus bisa jaga sikap juga." Karin mencoba memberikan nasihat. "Jangan sampai setelah dari sini, si tamu malah merasa enggak nyaman apalagi sakit hati. Urusan dia bisa berbaur atau enggak sama kehidupan kita, ya biar ngalir kayak air aja... jangan langsung dipaksa begitu." lanjutnya. Luna hanya memberikan dehaman singkat. "Luna sama Miki, bawa goreng-gorengan dan minuman, gih. Reynata bantu gua bawa sisa lauknya." ia beralih memberikan perintah. Reynata segera bergerak maju sesuai komando sang kakak tertua. Miki buru-buru menyambar nampan berisi gelas-gelas kosong. Luna dengan raut malasnya bergerak membawakan sepiring bakwan jagung. Satu persatu dari mereka mulai keluar dari dapur.
Saat sudah berada di dalam ruang keluarga, Miki kembali mengenalkan Dani untuk Karin. Saudara paling tua itu terkesima melihat penampilan dan wajah teman adik bungsunya. Rambutnya dicat pirang dengan tinggi badan yang diperkirakan mencapai 175cm. Kulitnya putih dengan dua mata agak sipit memberikan kesan tatapan yang tajam. Ia memiliki tekstur wajah yang sempurna karena memiliki hidung mancung dan bibir yang tipis. Tahi lalat kecil terlihat menghias bagian bawah bibirnya dan menambah kesan manis yang kuat. Tak sampai disana, saat Dani tersenyum, dua lesung pipi terpatri kuat pada pipi putihnya. Puas memerhatikan teman adik bungsunya itu kemudian tanpa basa-basi, Karin mempersilakan tamunya untuk ikut makan malam karena memang mereka sudah lapar dan makanan yang dibuat pun lebih dari cukup.
"Jangan sungkan-sungkan... makan yang banyak, ya karena ini lauknya juga banyak. Kalau bisa, sih bantu biar habis." kata Karin dengan ramah.
"Oke, tenang aja.. enggak akan sungkan dan pasti habis, kok kebetulan belum sempat makan siang, tadi." balas Arga dengan nada senang.
"Huuu, kesempatan ya, sekalian ngirit duit." ledek Luna sembari menyerahkan piring pada kekasihnya itu.
"Emang. Lumayan juga, kan... duit yang enggak kepake, bisa dikumpulin buat biaya nikah." jawab Arga sambil mencomot satu potong bakwan jagung.
"Emang mau nikah sama siapa?" tanya Luna yang pura-pura tak tahu sambil menyendokkan nasi ke atas piringnya.
"Nikah sama cewek cantik dan baik hati.. yang ngomongnya lembut dan penuh kasih sayang." jawab Arga yang sengaja untuk menyindir Luna.
"Aku banget, tuh." jawab Luna dengan percaya diri.
"Siapa?" tanpa diduga-duga, tak hanya Arga yang bertanya melainkan Miki, Karin dan Reynata secara berbarengan mengeluarkan suara yang sama."
"Princess Lunaaaa~." jawab Luna tanpa sungkan-sungkan menampakkan senyum manisnya hingga kedua matanya menyipit.
"Hiih, huwekk. Bikin ekspektasi jangan ketinggian kenapa,sih Lun." Miki memberikan respons pertama, membuat Luna langsung menjitak pelan jidat kepala adiknya, yang memang duduk berdekatan. "Aaak !"
"Reseh.." gumam Luna.
"Luna.. Miki.. kalian masih mau berdebat pas makan? " panggilan dari Karin membuat Luna dam Miki terdiam. Keduanya kembali menangkap tatapan tajam yang sama seperti kala dulu mereka sedang piknik. Tatapan yang mengancam kalau mereka tidak berhenti bertengkar, maka dia akan mengamuk. Sayangnya tatapan itu tak hanya memberi efek pada dua saudaranya melainkan dua tamu yang ikut terdiam.
"Cuma becanda, kok Kak.." kata Miki dengan suara pelan.
"Monster side-nya mulai keluar, deh." gumam Luna yang kemudian menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
"Tambah lauknya, Dan... dikit banget, ituh." Reynata mengalihkan pembicaraan pada Dani yang dirasa mengambil makanan terlalu sedikit. "Ga, telurnya ambil lagi tuh.. masih banyak. Masakannya enak, kan?"
"Siippp, pasti gua ambil. Enak kok, nih makanan kayak masakan nyokap gua." puji Arga sembari mengunyah.
"Iya, gampang.. Kalau masih lapar, pasti ngambil lagi." susul Dani yang sebenarnya masih belum terbiasa dengan sikap para pemilik rumah.
"Jangan kaget sama situasi disini, yah.. mereka berdua itu, emang biang rusuh kalau di rumah." katanya sembari menunjuk pada Luna dan Miki, "enggak ada detik tanpa berantem kalau mereka ketemu... kalau enggak ada yang inisiatif ngelerai.." kali ini matanya yang melirik pada Karin, "mereka enggak bakalan berhenti."
"Perlu dicatat, yah.. gua enggak bakal rusuh kalau bukan dia yang mulai duluan, Kak." balas Miki yang tidak ingin reputasinya menjadi buruk didepan orang yang disukainya.
"Ssstt, udah.. makan yang anteng dan tenang. Enggak baik ribut-ribut didepan makanan, tahu. Pamali." tegur Karin lagi. Perkataannya menjadi penutup perbincangan mereka. Fokus kali ini diarahkan hanya pada makanan yang harus dihabiskan, meskipun sesekali tetap ada obrolan dan canda ringan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
General FictionPertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...