Jalan-Jalan (Part 2)

330 28 5
                                    

Dua hari kemudian, dipagi hari Luna sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah bibinya. Sebelum berangkat, ia pergi ke dapur untuk membuat roti bakar. Mendengar suara-suara, Miki bangun dari tidurnya. Keadaannya semakin membaik karena obat yang diberikan dan perawatan yang dilakukan oleh kakak-kakaknya. 

Miki turun menuju dapur, kemudian melihat Luna sedang mengaduk teh hangat dimeja makan. Ia tertegun ketika melihat kakak keduanya itu sudah rapi. "Udah mau pergi, Lun?" tanyanya sambil mengambil tempat duduk dimeja makan. 

Luna menatap adiknya itu, "Iya." tanya Luna. "Mau gua bikinin teh hangat?" 

Miki menggeleng, "Enggak usah. Lama enggak?" 

Luna beralih duduk dibangku makan, "Enggak tahu, sih. Tapi, setelah pembacaan gua langsung pulang, kok." dia menyesap teh hangatnya. 

"Kalau bisa jangan sore-sore." peringatnya. 

"Kenapa?" 

"Gua mau kita jalan-jalan hari ini. Masa selama dua hari, cuma dirumah aja." 

Luna beralih menggigit roti bakar isi cokelatnya, "Emang udah sehat?" 

"Sehat bangeet ! Gua udah bosen banget, nih." 

"Ijin dulu sama, kakak tua. Dibolehin atau enggak." kata Luna. 

"Bolehin apa?" tiba-tiba Karin datang. 

"Kaaakk, nanti siang kita jalan-jalan, yuk. Maiin bareng." pinta Miki dengan nada manja. Luna bergidik melihat kelakuan adiknya yang semakin aneh semenjak sakit. Seolah merasa dengan sikap manja yang seperti itu, pasti akan dituruti. 

Karin melangkah menuju lemari es untuk mengambil sebotol susu kedelai kemudian meminumnya. "Emang lu udah sembuh?" tanyanya. 

Miki menggerak-gerakkan tubuhnya untuk menunjukkan dia sudah merasa lebih baik. "Udah, kok. Yaaa~hh, kita jalan-jalan, yaaa~" 

Lalu, Karin menunjuk kearah Luna. "Tergantung, dia pulangnya jam berapa." Miki beralih memandang kearah kakak keduanya, berharap ia akan menganggukkan kepala atau mengatakan apapun yang bisa meyakinkan kalau hari ini mereka jadi jalan-jalan.

Luna telah menghabiskan sarapan sederhananya, dan segera melangkah menuju westafle untuk mencuci peralatan makannya. "Gua usahain." jawabnya. 

"Pagii !!" kini giliran Reynata yang baru bergabung didapur. "Ih, kalian sarapan enggak ngajak-ngajak" katanya lagi saat melihat Luna baru selesai meletakkan piringnya ditempat pembilasan. 

"Mana ada sarapan? Cuma si Luna tuh yang makan." kata Miki. "Dia mau pergi lagi tanpa kita."

"Mau bikin apa, nih Rey buat sarapan?" tanya Karin yang masih berkutat dengan susu kedelainya. 

"Tergantung ada bahan apa dikulkas." jawab Rey yang duduk disamping Miki. "Udah sehat, Ki?" tanyanya sambil menggoyang-goyang pelan bahu adiknya. 

"Udah, dooong." Jawab Miki dengan semangat. Obrolan mereka terhenti ketika melihat sebuah handphone diatas meja makan bergetar. Dengan santai, Luna mengambil handphone tersebut dan melihat kalau lagi-lagi Bibinya lah yang meneleponnya. Ia meliha jam dalam layar yang menunjukkan pukul setengah 9. 

"Halo?" Luna menjawab panggilan tersebut. Ketiga saudara dibelakang asyik mengobrol tentang menu sarapan hari ini dan tempat yang mungkin akan mereka kunjungi siang nanti. 

"Kamu datang, kan hari ini?" tanya Bibinya dengan nada terdengar tak ramah. 

"Ya." jawab Luna dengan tak berminat. 

"Kalau begitu, cepat. Jangan sampai bikin pengacaranya nunggu." setelah berkata demikian, Bibi Rindi memutuskan sambungan telepon. 

Luna beralih mengambil tas kecil yang ia letakkan diatas bangku makan, disamping Karin. Memasukkan handphone-nya kedalam. "Gua berangkat. Kalau sampai siang gua belum balik, kalian jalan-jalan duluan aja nanti gua nyusul." katanya. 

"Hati-hati, Lun." kata Reynata. 

Luna menganggukkan kepalanya dan melangkah keluar dari dapur. Ketiga saudaranya melanjutkan topik tentang sarapan mereka hari ini. 

***

Dirumah Bibi Rindi, telah berkumpul tiga saudaranya yang datang bersama keluarga dan anak-anaknya. Mereka tertawa-tawa membayangkan akan sebesar apa warisan yang mereka dapat setelah pembacaan hari ini. 

Pengacara menjanjikan akan datang pukul 10, namun mereka semua sudah berkumpul sejak pukul 8 agar tidak mengalami keterlambatan hingga tidak mendengarkan pembacaan warisan tersebut. Hanya Luna yang belum sampai sebagai perwakilan dari almarhum ibunya. 

"Eh, Aku ada berita baru tentang Luna." kata Bibi Rindi saat semua kerabatnya yang hadir sedang mencicipi kue-kue yang dihidangkan diatas meja. 

"Berita, apa?" tanya kakak sulungnya, bernama Rama. Paman Luna itu memili postur tubuh tinggi dan gemuk. Perutnya buncit hingga menonjol keluar dari pinggang celananya. Jenggot dan kumis putih dicukur rapi. 

"Kemarin Aku mendapat kabar dari Luna langsung, kalau sekarang dia tinggal bersama anak-anak Budiman yang lain. Dari istri 1, 3 dan 4." lanjut Bibi Rindi. 

Kakaknya yang kedua terbelalak kaget, "Oh iya?" ia bernama Lita. "Kok bisa? Bagaimana dia bisa ketemu anak-anak itu?"

"Katanya sih, permintaan dari pengacara mendiang Ayahnya. Bodohnya, dia kok mau aja bukannya konsultasi dulu sama Aku." kata Bibi Rindi. 

Paman Rama terkekeh dengan sinis, "Dia itu kan, sama seperti mendiang Ayahnya. Gampang dibodohi dan enggak memiliki pikiran yang panjang." 

"Satu lagi.." laki-laki lainnya yang berposisi sebagai anak bungsu dalam keluarga, bernama Sopian "Dia sama sekali enggak punya manner. Sama, kan, seperti Ayahnya." kemudian meminum koktailnya. 

Bibi Rindi, sebagai anak keempat, menjentikkan jarinya, "Betul, banget. Kemarin aja, dia enggak sopan banget jawab telepon Aku. Kebangetan deh, tuh anak. Enggak tahu terima kasih udah dibesarin." jawabnya yang dtenangkan oleh suaminya. 

Mereka terus membicarakan Luna seolah topik mengenai dirinya memanglah harus dibahas. Mengatakan betapa Luna lebih mirip dengan Ayahnya dibandingkan dengan Ibunya hingga mendoakan semoga warisan yang didapatnya atas nama Ibunya tidak akan sebesar yang akan paman dan bibinya dapat. 


My Lovely Sisters 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang