Puas mengelilingi ruangan demi ruangan di Museum Bahari, Pak Kusno mengajak keempat perempuan yang menyewa jasanya itu ke jembatan dan bangunan merah. Namun, Karin agak ragu untuk melanjutkan perjalanan karena melihat hujan yang tak kunjung reda.
"Gua enggak yakin buat lanjut jalan sekarang, deh. Hujannya masih deras." kata Karin.
"Ih, enggak apa-apa. Biar makin seruu ! Udah lama gua enggak jalan-jalan dibawah hujan." Miki bicara dengan sangat antusias. Ekspresinya itu berbanding terbalik dengan Karin, yang langsung memandanginya dengan tajam.
"Enak, ya.. Udah sembuh, terus sekarang mau ujan-ujanan. Enggak ingat, pas sakit kayak apa?" tegur Karin dengan nada sinis.
Luna diam-diam terkekeh pelan saat melihat Miki dimarahi oleh saudara yang paling tua dikeluarga kecilnya itu. Reynata menyenggol lengan Luna, agar ia tidak menertawakan si bungsu.
"Cuma ujan, Kak.. Badan gua mah kebal." jawab Miki, berbangga diri. "Lagipula, mau sampai kapan kita nunggu hujannya berhenti? Nanti, keburu sore dan kita enggak bisa menjelajah tempat lain." kali ini, ia mengeluarkan jurus merengeknya.
Karin bergeming. Ia tidak mau termakan dengan rengekan adik bungsunya itu. Bagaimana pun dia tidak mau ada salah satu dari mereka yang akhirnya jatuh sakit karena nekad menerobos hujan demi bisa jalan-jalan.
"Gua enggak peduli kalau akhirnya kita enggak bisa menjelajah seluruh tempat wisata yang ada disini. Gua lebih peduli sama kesehatan kalian, dan enggak mau setelah pulang dari sini malah harus ngerawat yang sakit."
Wajah Miki berubah cemberut, dan menoleh kearah dua saudaranya yang lain. Ia berharap mereka bisa membantunya membujuk Karin. Luna dan Reynta membalas pandangan Miki.
"Apa yang dibilang sama Karin, banyak benarnya. Gua juga enggak mau sakit dan enggak bisa balik ke mess karena berhujan-hujan hari ini." Reynata mengeluarkan pendapat yang tidak diinginkan oleh Miki. Ia mengatakan hal seperti itu untuk mendukung Karin agar Miki mau menahan diri dan lebih memerhatian kesehatannya yang baru saja pulih.
Kini hanya Luna, satu-satunya orang yang belum mengatakan apapun. Namun, Miki tak memiliki harapan besar terhadapnya jika mengingat Luna selalu memiliki pandangan berbeda darinya.
Luna menyedekapkan dua tangannya, "Tapi... enggak enak banget ya neduhnya disini. Enggak ada apapun, seperti makanan atau minuman ringan. Terus, mau duduk pun bingung." katanya.
"Jadi... sebenarnya, lu mau ngomong apa, Lun?" tanya Karin dengan nada tak suka pendapatnya.
"Ya itu, tadi... Enggak enak banget kalau neduhnya didalam Museum. Enggak ada apapun." Jawab Luna dengan cuek.
Disamping mereka, Pak Kusno sedang mengobrol dengan para penjaga tiket. Sambil menunggu, keputusan empat perempuan yang menggunakan jasanya itu. Karin, Miki, Luna dan Reynata memandangi kumpulan pengunjung yang nekad keluar dan mengendarai sepeda mereka dibawah guyuran hujan.
"Tuh, mereka aja nyantai jalan dibawah hujan, kak." kata Miki sambil menunjuk ke kumpulan orang yang sudah bergerak menjauh itu.
"Mereka nyantai karena sebelumnya enggak sakit. Nah lu, baru banget sembuh pagi ini." jawab Karin.
"Gua janji enggak akan sakit. Badan gua beneran kebal kalau sama air hujan." Miki meyakinkan.
"Kalau akhirnya lu sakit, gimana?" tanya Karin.
"Gua janji bakal urus diri gua sendiri. Ke dokter sendiri. Beli obat juga sendiri. Kalau perlu, gua bakal masak makanan gua sendiri." katanya. Ia benar-benar tidak ingin menghabiskan banyak waktunya dengan berdiam diri didalam Museum. Ia ingin jalan-jalan.
"Terus, gimana sama yang lain? Gimana akhirnya, kalau Reynata atau Luna yang sakit?" tuntut Karin. " Lu mau ngurusin?" tanyanya.
"Iyaaa, gua bakal urusin sampai sembuh." katanya.
"Yakin, lu mau ngurus gua? Duduk sampingan 5 menit aja, berantem apalagi harus ngurus gua yang lagi sakit." sahut Luna. "Bisa-bisa makanan gua dikasih racun, biar diem."
"Ih, ngomongnya jahat banget sih, Lun. Gua enggak setega itu kali." protes Miki. "Paling sejahat-jahatnya, gua cuma ngasih obat tidur biar lu enggak berisik dan banyak komplain."
"Tuh, niat awalnya aja udah jelek. Jangan diturutin, deh." katanya.
Miki langsung mengalungkan lengannya ke lengan Luna, sambil memberikan tatapan memohon, "Maaf-maaf... cuma becanda. Gua mana mungkin sih, ngasih obat tidur. Lu kan juga kakak gua." katanya.
Pak Kusno menghampiri keempat perempuan yang masih mendengar bujukan serta rengekan Miki. "Jadi, gimana Mbak? Kita mau neduh dulu aja, atau lanjut perjalanan ke tempat berikutnya?"
"Pak, menurut Bapak... ini hujannya deras atau enggak? Memungkinkan enggak, buat kita lanjut perjalanan?" tanya Miki. Ia berharap jawaban Pak Kusno bisa menjadi pertimbangan Karin agar mau mengubah keputusannya.
Pak Kusno melihat keatas dan memperhatikan rintik hujan yang cukup deras. "Bisa aja, sih selama enggak pakai angin. Kalau disini, biasa para pengunjung tetap nekad jalan walaupun hujan. Karena, kayaknya redanya juga masih lama."
"Tuh, kak dengerin penjelasannya Pak Kusno. Disini biasa, para pengunjung tetap jalan walaupun hujan." susul Miki.
Awalnya, Karin kesal terhadap Miki yang tak kunjung mengerti kalau dirinya sedang mengkhawatirkan kondisinya yang baru pulih. Namun, akhirnya ia menghela nafas dan memutuskan untuk kali ini menuruti keinginan Miki karena mengerti kalau akan sangat membosankan jika harus menunggu dalam Museum yang mulai sepi.
"Terserah, deh ! Pokoknya, lu udah tahu konsekuensinya kalau setelah ini lagi-lagi jatuh sakit." ancam Karin.
Luna memandang Reynata, "Dia juga gampang berubah pikiran." bisiknya.
"Lu juga enggak dukung pendapatnya, kan?" Reynata balas berbisik.
"Apa'an? Gua, kan enggak ngomong apa-apa. Enggak bela Miki, juga." kata Luna dengan suara pelan.
"Tapi, lu juga enggak bela pendapat Karin." balas saudaranya yang ketiga itu.
"Jadi, gimana Mbak keputusannya?" tanya Pak Kusno yang sedari tadi masih menunggu.
"Ya udah, Pak. Kita lanjut perjalanan. Rasanya, percuma juga kalau nunggu disini." kata Karin, yang akhirnya benar-benar mengubah pikirannya. Miki tersenyum lebar mendengar perkataan kakaknya itu.
"Tunggu. Sebelum kita pergi, disini ada yang punya plastik besar enggak? Buat bungkus barang didalam tas. Barang penting, jadi enggak boleh sampai basah." kata Luna yang ingat kalam dalam tas yang digendongnya, ada beberapa berkas penting pemberian pengacara mendiang kakeknya.
Pak Kusno bergerak menanyakan hal tersebut pada petugas tiket. Beruntung, ia memiliki satu plastik hitam besar.
"Berkas lu bukannya, udah dimasukkin juga kedalam tas plastik, Lun?" tanya Reynata.
"Mau gua lapisin lagi, buat jaga-jaga kalau ternyata air hujan tetap bisa masuk." jawab Luna.
Pak Kusno menyerahkan plastik hitam kepada Luna. Perempuan itu langsung memasukkan kembali tas plastik dalam tas kedalam plastik hitam pemberian Pak Kusno. Begitupun dengan, barang-barang berharganya seperti handphone dan dompet.
Setelah selesai, keempat perempuan itu bersama Pak Kusno melanjutkan perjalanan. Kali ini, mereka bertukar pasangan boncengan. Luna membonceng Reynata sedangkan Miki membonceng Karin.
Perjalanan mereka sudah ditentukan yakni jembatan dan bangunan merah, kemudian ke pelabuhan sebagai tujuan akhir sebelum kembali ke tempat penyewaan sepeda ontel yang berada di lapangan Museum Fatahillah.
![](https://img.wattpad.com/cover/95925263-288-k987330.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
General FictionPertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...