Miki terbangun dari tidurnya. Ia kebingungan ketika menemukan dirinya sedang berdiri di sebuah ruangan yang asing, sedangkan ia sangat yakin beberapa jam yang lalu masih tidur di atas ranjang rumah sakit karena permintaan dokter. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memandangi seluruh ruangan yang berisi warna putih. Saat sedang mengamati, tiba-tiba Miki merasakan ada benda yang menghantam pelan pundak bagian belakangnya. Ia melihat potongan bunga lili putih berjatuhan disampingnya.
"Sst, Bungsu !" ia tertegun mendengar suara yang begitu familiar di telinganya. "Ngapain, sih berdiri disitu?" nada datar itu . . . jelas mirip dengan suara Luna. Dengan ragu-ragu, Miki menoleh ke belakang dan benar saja, ia melihat sosok kakaknya yang baru dimakamkan sehari, sedang duduk bersandar di sebuah sofa sambil memerhatikannya. Luna tampak sangat cantik dengan mengenakan gaun putih selutut, rambut hitamnya yang sering dikuncir kuda tergerai menambah kecantikannya.
"Luna?" panggil Miki. "lu beneran Luna, kan? bukan setan yang lagi nyamar."
Luna menghela nafas panjang, "Enggak ada setan yang bisa nyerupain wajah secantik gua." ucapnya dengan penuh percaya diri, kemudian menepuk bagian kosong di sampingnya. "Sini duduk, gua mau ngomong sama lu."
Miki berjalan cepat dan duduk disampingnya. Ia memandangi wajah kakaknya yang berbeda dibandingkan dengan wajah ketika dimakamkan. Tidak bengkak dan juga membiru, tapi cantik seperti semasa hidup.
"Kenapa lu ada disini? Ini mimpi ya?" tanya Miki, sekali lagi melihat seluruh ruangan yang dipenuhi warna putih.
"Mungkin. Tapi, yang pasti gua bisa muncul sekarang karena enggak tahan lihat kalian sedih, apalagi Karin sama Reynata tuh, nyalahin diri sendiri mulu." keluh Luna. Ia menyedekapkan dua tangannya.
Miki cemberut mendengar keluhannya, lalu reflek memukul paha kakaknya. "Kita begini gara-gara lu juga, tahu. Siapa suruh ninggalin kita dengan cara begitu dan sesingkat ini? Tega banget lu !" giliran dia yang mengomel.
"Tuhan yang nyuruh gua buat pulang. Kalau mau komplain ke Dia aja, sana. . . eh tapi, jangan deh nanti dia malah marah dan enggak mau terima gua. Udahlah, kalian ikhlasin gua. . . gua aja ikhlas kok, yaaaa walaupun bakal sepi sih." kata Luna. Miki masih cemberut.
Luna mengarahkan tangannya ke puncak kepala Miki dan mengusapnya pelan, "Gimana kondisi lu, udah ngerasa baikan?"
"Ya lumayan, gua udah bisa jalan-jalan, nganter lu ke peristirahatan terakhir dan hadir di kepolisian buat jadi saksi. Capek, sih." Miki menyandarkan punggungnya.
"Masih nginep di rumah sakit?" tanya Luna.
Miki mengangguk, "Masih. Belum boleh pulang."
"Tuntasin dulu perawatannya." dengan tangan menggoyang-goyangkan pelan kepala Miki sehingga ia bergerak ke kiri dan kanan.
Miki memandangi kakaknya dan meresapi kelembutan yang baru ia rasakan kali ini. "Tangan lu dingin, Lun."
Mendengar pengakuan itu, Luna melepaskan tangannya dari puncak kepala adiknya. Memandangi wajah Miki kemudian dengan cepat mengarahkan cubitan pada dua pipi adiknya hingga ia mengerang. "Gua kan udah mati. . . tenggelam pula, mau ngarepin badan gua anget?!" Luna berkata dengan kesal.
Miki melepas cubitan kakaknya, "Ish, lu udah mati masih aja kejam sama gua."
"Lu juga sih berulah, gua udah mati, masih aja dibikin kesel." balas Luna. Miki mengerutkan keningnya kesal sambil mengusap-usap pipinya. Luna terlihat seperti menghela nafas panjang, "Setelah ini, kalian benar-benar bisa kan saling jaga satu sama lain?" tanya Luna. "jangan berantem-berantem lagi, apalagi kalau sampai ada yang kabur lagi dari rumah." Luna mulai bicara serius, "pelaku pembunuhan orangtua kita udah tertangkap, dan Karin udah kembali serta tahu kalau dia sudah dihasut sama Tantenya... Jadi,seharusnya enggak ada lagi masalah yang lebih rumit dari itu." ia memberikan senyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
General FictionPertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...