Didalam kamar, Luna tengah duduk di kursi belajarnya. Jari-jari tangannya saling bertaut. Keningnya berkerut dengan tatapan dua mata yang begitu tajam menatap dinding kosong didepannya. Pikirannya berputar mengingatkan kembali perkataan-perkataan menyebalkan dari para pelaku pembunuhan.
***
Luna duduk berhadapan langsung dengan ketiga lelaki paruh baya yang tangan dan kakinya diborgol pada kaki bangku. Jarak mereka hanya terpisahkan dengan meja kayu cokelat berukuran 150 cm.
"Ini pertama kalinya aku bertemu dengan para pembunuh orangtuaku. Walaupun aku udah tahu alasan kalian membunuh dari polisi dan paman Agung tapi aku mau mendengarnya langsung dari mulut kalian. Kenapa kalian membunuh ibuku?" tanya Luna sebagai pertanyaan pertama.
Pelaku pertama, yang bernama Ginok memutar dua matanya dengan raut malas. "Aku bosan menjawab berjuta-juta kali pertanyaan yang sama. Kamu udah dengar dari polisi dan pengacara itu, jadi kenapa harus menanyakannya lagi. Kamu enggak tahu betapa muaknya aku mendengarkan pertanyaan seperti itu."
"Aku mau mendengarnya langsung."
"Uang ibumu... kau tahu. Uangnya, tapi sialnya dia enggak sekaya yang aku pikirkan. Katanya istri dari pengusaha sukses tapi nyatanya enggak punya apa-apa."
"Sebelum merampok, apa kamu enggak lihat kondisi rumah kami? Enggak bisa membedakan mana rumah mewah dan sederhana? Bagaimana kamu bisa tahu letak rumah kami? Darimana kalian tahu ibuku adalah istri dari Budiman? " tanya Luna.
Pria bernama Ginok itu kembali mendecak kesal kemudian melirik kearah dua rekannya yang sama-sama ditangkap dan memberikan senyuman meremehkan. "Hanya karena penampilan rumah yang sederhana bukan berarti kami enggak tahu status ibumu. Yang kami herankan, dia itu istri sekaligus anak dari pengusaha kaya... tapi enggak ada kekayaan yang kami temukan di rumahnya. Kemana semua kekayaan itu?" Ginok mencondongkan badannya, "Apa ibumu sudah dibuang oleh suaminya sehingga enggak mendapatkan sepeser pun harta?"
"Lalu, kenapa kalian membunuhnya? Apa ibuku melawan?" tanya Luna yang mengabaikan seluruh perkataan dan pertanyaan Ginok. Membuat Ginok kesal karena sudah diabaikan.
"Aku malas dengan perempuan ini. Kalian sajalah yang jawab. Buang-buang waktuku saja." omel Ginok. Luna tak mempedulikan keluhan Ginok dan mengalihkan pandangannya ke dua pelaku yang lain, bernama Tarno dan Amir.
"Apa ibuku melawan atau mengancam akan melaporkan kalian ke polisi?" tanya Luna lagi.
"Enggak." Jawab Amir dengan nada malas.
"Lalu kenapa kalian membunuhnya? Apa salahnya?"
"Salahnya? dia sudah menjadi korban kami." jawab Amir tanpa mengubah nada malasnya.
Kini Luna benar-benar telah kehilangan kesabarannya. Kaki kanannya terangkat dan menendang keras meja didepannya hingga benda itu menabrak tubuh para pelaku didepannya. Tiga lelaki itu terkejut dengan perubahan sikap Luna. Tatapan matanya ikut berubah seolah siap kapan saja untuk menghabisi orang-orang didepannya.
"Kalian yang sengaja mendatangi ibuku tapi malah berbalik menyalahkannya. Otak kalian udah enggak berfungsi, ya?" komentar Luna dengan suara hampir terdengar seperti bisikan yang mengancam.
"Penjaga ! Penjaga ! Aku sudah selesai. Aku mau kembali ke sel !" Ginok berteriak ke arah luar pintu.
"Mereka pikir akan menuruti kemauanmu? Aku yang akan menentukan sudah selesai atau belum." kata Luna. "Jadi, sebaiknya kalian kembali duduk dan jawab pertanyaanku dengan benar."
"Kamu mau kita menjawab dengan benar? Jaga sikapmu dulu !" jawab Tarno yang mulai tak suka.
"Menjaga sikap? Oke." Luna menarik meja itu agar berada diposisi semula kemudian menatap ketiga lelaki didepannya. "Tolong jawab pertanyaanku. Aku udah mendengar berulang kali dari pengacaraku kalau kalian enggak mengatakan hal yang sebenarnya. Kalian mendatangi ibuku bukan untuk merampok karena enggak ada satupun barang yang kalian ambil dari rumahku. Katakan dengan jujur, apa kalian sengaja datang untuk membunuh ibuku?"
"Enggak ada barang kami ambil karena memang enggak ada barang yang cukup berharga yang bisa kami ambil." jawab Tarno
"Bohong. Jawabanmu adalah kebohongan. Kalau kalian adalah perampok yang handal, seharusnya kalian tahu tempat untuk menyembunyikan benda berharga. Ada brankas kecil berisi uang yang disimpan Ibuku di kamarnya, walaupun enggak banyak. Tapi, kenyataannya kalian bahkan enggak menyentuh tempat itu dan hanya berada di ruang utama, tempat ibuku meninggal. Itu artinya kalian memang sengaja datang untuk bertemu dan membunuh ibuku." bantah Luna yang kemudian memundurkan punggungnya. "Apa kalian bergerak murni keinginan sendiri atau ada orang-orang yang menyuruh kalian?" ia beralih ke pertanyaan lain.
Tarno mendengus kesal begitupun dengan Amir dan Ginok. "Kamu sama aja seperti pengacaramu itu. Menduga tanpa bukti. Kenapa kalian begitu menginginkan ada orang-orang yang memerintahkan kami? Kami ini enggak bekerja untuk siapapun."
"Bohong." jawab Luna dengan cepat.
"Apa buktinya kami berbohong? Kalian itu maunya apa, sih? Enggak puas melihat kami membusuk didalam penjara?!" bentak Amir.
"Aku mau semua pelaku yang terlibat pembunuhan ibuku ditemukan dan dihukum. Aku yakin kalian sudah berbohong. Kalian terus-terusan berkelit karena aku belum menemukan bukti, begitu kan?" kata Luna.
"Teruslah berdelusi." cibir Ginok.
Luna tersenyum sarkasme, "Oke, aku mengerti kalian sudah bertekad menyimpan dan menanggung hukuman ini, kan? Tapi, aku akan tetap mencari tahu." Luna berdiri, sebelum akhirnya kembali berbalik menatap ketiga lelaki itu. "Aku jadi penasaran, apa kalian memiliki keluarga? Istri atau anak?"
Ginok, Amir dan Tarno tak menanggapi. Mereka seolah menahan nafas saat mendengar pertanyaan Luna.
"Mudah-mudahan ada, jadi aku bisa bertanya atau... melakukan sesuatu terhadap mereka supaya memberiku petunjuk tentang kasus kalian." lanjut Luna yang ingin mengetes reaksi ketiganya.
Tetap tak ada tanggapan. "Oke, hari ini segini dulu yang ingin kutanyakan... karena rasanya aku enggak tahan berlama-lama melihat tampang enggak bersalah dari kalian. Atau aku perlu mengingatkan ya, kalau kalian ini udah membunuh seorang perempuan, berstatus ibu, yang keberadaannya masih dibutuhkan anaknya." kemudian, Luna melenggang pergi. "Oh, iya mungkin besok aku akan kesini lagi, besoknya lagi dan seterusnya. Jadi, mudah-mudahan kalian terbiasa, ya. See you next day." ia berbicara melalui sela pintu saat sudah berada diluar ruangan.
***
Luna menjilat bibirnya yang terasa kering. Menyandarkan punggungnya kebelakang. Memejamkan dua matanya karena tak tahan rasa sakit yang mulai menusuk-nusuk bagian kepalanya.
"Tok tok tok."
Kedua matanya terbuka saat mendengar pintu kamarnya diketuk dari luar.
![](https://img.wattpad.com/cover/95925263-288-k987330.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
General FictionPertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...