Kota Tua (Part 3)

269 25 1
                                    

Setelah sampai di tempat penyewaan sepeda ontel, kedatangan mereka segera disambut oleh tiga laki-laki paruh baya yang berjaga disana. Ada yang menawarkan sepeda sewaannya, mengajukan diri menjadi tour guide perjalanan, dan ada juga yang menawarkan harga sewa. 

Setelah memilih sepeda yang akan keempat saudara itu gunakan, mereka menyerahkan uang sewa sepeda ontel sekaligus biaya tour guide. Reynata berboncengan dengan Miki. Sedangkan, Luna dengan Karin. 

Masing-masing dari mereka, dipandu oleh Pak Kusno sang tour guide,  bergerak keluar dari area museum Fatahillah. Roda-roda sepeda mereka berputar melewati sisi jalan raya besar, beriringan dengan motor dan mobil. 

Saat sedang menikmati ramainya jalanan dengan berbagai pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya. Tiba-tiba terasa rintik hujan jatuh diatas kepala mereka. Karin langsung memasang wajah cemas, mengingat Miki yang baru saja sembuh dari sakitnya. 

"Eh, kok kayaknya gerimis, yah?" tanya Karin yang sedang diboceng oleh Luna. Ia mengangkat telapak tangannya keatas, untuk memastikan rintik hujan jatuh ditangannya. 

"Iya. Mudah-mudahan cuma gerimis." jawab Luna.

"Bukan, gitu. Gua khawatir sama si bungsu. Dia, kan baru sembuh. Kalau kena ujan, bisa-bisa dia sakit lagi." 

"Terus, mau gimana? Berhenti buat neduh?" tanya Luna. "Ujannya, belum gede." 

"Berhenti pun enggak mungkin, sih. Sepeda Pak Kusno sama si Bungsu udah jauh didepan, tuh. Lu enggak bisa lebih cepat lagi, Lun? Atau lu keberatan ya ngayuh sepedanya, gara-gara bonceng gua? Mau gantian?" 

"Enggak usah. Gua cuma males ngeluarin tenaga besar. Enggak apa-apa agak jauh dikit dari si Bungsu, yang penting gua masih bisa ngelihat dia." 

Karin menghela nafas panjang saat mendengar jawaban dari Luna, "Eh, iya pertemuan lu tadi, gimana? Enggak ada ribut-ribut, kan sama paman dan bibi lu?" Karin bisa melihat Luna menggelengkan kepalanya dari belakang. 

"Mungkin karena harta yang diwariskan lumayan besar, jadi mereka anteng-anteng aja." 

"Lu dapat warisan apa aja, Lun?" 

"Mau tahu banget?" tanya Luna. 

"Enggak sih. Nanya aja."

"Beberapa rumah, satu gedung dan uang tunai." jawab Luna. 

"Wiiiihh, gedung?? Gedung, apa? Lu enggak dikasih warisan jabatan, gitu?" 

"Enggak. Kayaknya, untuk jabatan udah diserahin ke saudara Nyokap yang paling tua. Gua juga belum tahu gedung apa yang dikasih sama kakek."

"Hoo, terus lu udah tahu gedung dan rumah-rumahnya dimana?" 

"Enggak. Kapan-kapan aja, gua kunjungi."

"Emmm... terus, hubungan lu sama bibi lu, gimana? Enggak marah-marah kayak, kemarin kan?" 

"Ya, gitu deh. Bukan cuma bibi Rindi, tapi semua paman dan bibi yang hadir kayaknya enggak terlalu senang gua menerima warisan Kakek buat Nyokap saat tahu, gua bakal minta Paman Agung buat urus harta-harta itu. But, I don't care..."

Karin hanya menganggukkan kepala tanpa diketahui oleh Luna. "Eh, Rin.. Lu tuh, sebenarnya masih ada keluarga enggak sih dari pihak ibu?" 

"Ada. Gua kan sempat dirawat sama bibi dan paman gua secara bergantian sampai umur 17 tahun." 

"Terus, lu masih kontak mereka?" 

"Setelah gua keluar dari rumah mereka dan memutuskan hidup mandiri, gua enggak bisa kontak mereka. Nyokap kan punya kakak laki-laki satu dan satu adik perempuan. Masing-masing bernama Paman Wahyu dan Bibi Callista. Dua-duanya pindah domisili ke luar negeri karena urusan pekerjaan setelah gua keluar dari rumah mereka. Paman Wahyu dan Bibi Callista pernah kasih nomor telepon, tapi terakhir kali gua hubungi, 3 tahun lalu, nomor mereka enggak bisa lagi dihubungi." 

My Lovely Sisters 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang