Jalan-Jalan (Part 3)

271 29 2
                                    

Pukul 09.45, Luna telah sampai didepan rumah Bibi Rindi. Ia berdiri agak jauh disisi kanan gerbang rumahnya yang berwarna hitam. Rumah yang sempat menjadi tempat tinggalnya selama beberapa tahun itu tidak berubah. Masih sama, dengan dindingnya yang dicat hijau muda. Kanopi yang terpasang diatas pintu masuk dan tirai berenda putih yang dipasangkan dibagian dalam jendela. Ia menimbang-nimbang, apakah pengacara itu sudah datang atau belum? Dia malas kalau harus bertahan lama disana. Ditambah dengan kehadiran paman dan bibinya yang lain. Kemudian, anak-anak mereka yang dilatih untuk bersikap sinis, atau merendahkan dirinya. 

Luna menghela nafas panjang sebelum akhirnya tatapannya teralihkan pada sebuah mobil hitam merek Mitsubishi berhenti didepan gerbang hitam rumah Bibinya. Seorang pria berumur 60-an keluar dari mobil tersebut berbarengan dengan pria lebih muda darinya yang menempati kursi pengemudi. Keduanya mengenakan setelan jas hitam yang begitu rapi dengan tas jinjing ditangan. Kedua pria itu tidak menyadari kehadiran Luna, dan terus melenggang memasuki gerbang hitam yang sengaja tak dikunci itu. 

"Jangan-jangan itu, pengacaranya." gumam Luna. Kedua pria itu mengetuk pintu dan mendapat sambutan langsung dari Bibi Rindi. Luna memandangi jam yang jarum panjangnya telah bergerak menuju pukul 10 kurang 10 menit. Dia berpikir sebaiknya segera menyusul masuk.

Saat Luna sudah memasuki area teras depan rumah, handphone-nya bergetar. Panggilan masuk dari Bibinya. 

"Halo, Bi?" jawab Luna. 

"Kamu dimana? Ini jam berapa, kok belum sampai juga sih !?" suara Bibi Rindi terdengar berbisik-bisik. Mungkin takut jika nada tidak ramahnya terdengar oleh dua pria yang baru masuk tadi. 

"Udah didepan rumah. Pintu enggak dikunci, kan?" tanya Luna. Belum mendengar jawaban, tiba-tiba sambungan telepon diputus secara sepihak. Saat Luna baru saja akan mendorong pintu didepannya, seseorang dari dalam sudah lebih dulu membuka pintu. 

"Buruan masuk, pengacaranya udah datang." kata Bibi Rindi tanpa basa basi. 

"Apa kabar, Bi? Sehat?" Luna memaksakan senyumnya. Berharap dengan sikap ramah tamah seperti itu bisa melunakkan sedikit sifat keangkuhan dari Bibinya. 

"Yah, begitulah." jawab bibinya yang agak memiringkan tubuhnya kesisi pintu agar Luna bisa masuk.

"Bagaimana sama paman, Rika dan Bobbi. Semua baik-baik, aja?" tanyanya lagi sambil melepaskan sepatu flat shoes-nya dan meletakkannya dirak sepatu. 

"Yah, semua baik. Semakin membaik saat kamu memutuskan untuk keluar dan hidup mandiri." jawab Bibi Rindi terdengar sinis. 

"Bagus dong. Ternyata keputusanku tepat." Luna masih mengembangkan senyumnya. 

Bibi Rindi sama sekali tidak membalas senyuman itu dan malah berjalan melewatinya. "Kamu gimana, pasti senang banget ya bisa tinggal sama anak-anak dari istri-istri Ayah kamu?" 

"Senang banget." jawab Luna. Bibi Luna berjalan mendahului Luna, kemudian memasuki ruang tempat saudara-saudaranya berkumpul. Ada anak-anak mereka juga yang sedang mengobrol.

"Akhirnya, Luna udah sampai nih. Sekarang, semuanya udah lengkap ya, Pak." Bibi Luna bicara kearah pria berumur 60 tahunan yang sempat dilihat Luna diluar rumah. Pria itu tersenyum ramah padanya. Tak hanya dirinya, melainkan semua Paman serta Bibinya juga ikut memberikan senyuman yang Luna tahu bukanlah senyuman yang tulus melainkan gambaran kesinisan.  Anak-anak mereka hanya memandanginya saja. 

"Halo, apa kabar? Lama kita enggak ketemu." sapa Luna. 

"Kabar kita semua semakin baik setiap harinya, Luna." Paman Rama bergerak menyalami Luna, dan mempersilahkannya duduk berdampingan dengan anak lelakinya yang pertama, Kendi. 

"Kamu pasti sibuk banget ya, setelah keluar dari rumah Bibi Rindi? Sampai-sampai, satu hari pun enggak pernah menghubungi dia dan keluarganya." susul Bibi Lita yang duduk berdampingan dengan Bibi Rindi. Ia tersenyum kearah Luna. 

"Bibi tahu lah kehidupan anak kuliahan yang mandiri, kadang enggak makan malam biar bisa makan pagi atau sebaliknya. Jadi, enggak kepikiran buat beli pulsa. Duitnya buat makan atau keperluan kuliah aja. Hehehe." Jawab Luna. 

Bibi Rindi dan Lita memasang muka masam saat mendengar jawaban Luna, entah apa yang salah dari jawabannya itu, namun Luna tidak peduli. 

Dua pria yang bukan berasal dari keluarga Luna, memandanginya dengan serius. Paman Sopian memperhatikan itu, dan mulai berdeham keras. "Jadi, Pak Satria.. apa pembacaannya bisa dimulai sekarang saja?" pintanya. 

Pria berumur 60-an, yang disebut sebagai Pak Satria itu mengangguk, dan memerintahkan pria muda disampingnya mengeluarkan sebundal kertas dari tas jinjingnya. "Baiklah, pertama-tama saya ucapkan selamat siang untuk semua yang telah menyempatkan waktunya untuk datang. Terima kasih untuk Nyonya Rindi yang telah mengizinkan rumahnya dijadikan tempat untuk kita semua." Bapak Satria memandang Luna yang terlihat mengernyit, "Mungkin masih ada diantara anak-anak muda yang hadir disini, belum mengenal saya, maka izinkan saya untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Saya Satria Putra Indraswara. Tujuan diadakannya pertemuan hari ini, untuk memenuhi janji saya dengan mendiang Bapak Hengky Rama Bintoro, yang statusnya adalah Bapak kandung dari anak-anaknya serta kakek dari cucu-cucunya, untuk menyampaikan pesan serta wasiatnya yang ditulis dan disampaikan sebelum beliau meninggal." 

Pak Satria menerima kertas dari pria muda disampingnya, "Ini adalah Dimas, sekretaris saya." pria paruh baya itu memasangkan kacamatanya dan mulai serius membaca. "Saya akan mulai membacakan surat wasiat ini." 

Setelah mengatakan hal tersebut, seluruh orang yang hadir menjadi serius dan menajamkan pendengarannya, kecuali Luna yang tak begitu peduli dengan isi surat wasiat tersebut. 





My Lovely Sisters 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang