Tiga Saudara (Part 3)

255 16 2
                                    

"Karin, kamu kenapa ada disini?" pertanyaan Fathian membuyarkan keterkejutannya. Karin berusaha menguasai diri dan perasaannya dan kembali bersikap normal dengan menunjukkan senyumannya.

"Aku kerja disini." Dengan tenang Karin menarik nafas panjang supaya dirinya bisa lebih relaks. 

"Ooh." Fathian menanggapi dengan singkat. Kedua matanya mengikuti pergerakan Karin yang masuk ke lingkup meja resepsionisnya. 

"Ada yang bisa aku bantu?" tanya Karin. 

"Aku kesini bersama seseorang dan orang itu udah masuk lebih dulu ke sini." 

Karin terhenyak sesaat mendengar jawaban Fathian. Pikirannya berpacu hingga memberikannya sebuah kesimpulan kalau kemungkinan besar Fathian datang bersama perempuan bernama Karina. Itu artinya, Fathian adalah tunangan Karina. 

"Ooh, bareng sama Mbak Kalinda, ya? Oke, kalau gitu mari aku antar. Dia ada di ruangan Mbak Dila, pemilik butik ini." Karin kembali keluar dari mejanya dan bergerak hendak mengantar lelaki yang pernah menjadi kekasihnya. 

"Kamu apa kabar?" pertanyaan Fathian sukses membuat langkah Karin terasa berat. Ia menguatkan hatinya untuk menoleh kepada laki-laki yang berjalan disampingnya. 

"Baik. Kamu?" 

Fathian mengangguk, "Ya. Kamu udah berapa lama kerja disini?" 

"Hampir setahun." Karin memaksakan senyumnya, meskipun dari luar senyumannya ramah seperti biasanya. 

"Ooh." Fathian mengusap tengkuknya karena grogi bertemu lagi dengan perempuan yang pernah sangat dicintainya. 

"By the way, selamat ya buat pernikahan kalian." kata Karin. "Acara resminya kapan?" 

"Tanggal 17 Maret."

"Hmm, sebentar lagi ya. Aku doa'in semoga acara kalian lancar."

Fathian tersenyum, "Makasih."

Keduanya berhenti di depan pintu ruangan Dila. Karin mempersilakan Fathian masuk, sebelum akhirnya kembali ke meja resepsionisnya. 

Karin duduk tegak di bangkunya. Ia memperlihatkan ekspresi wajah yang sebenarnya. Shock. Jantungnya berdegup dengan cepat. Ia merasa linglung dengan kenyataan yang tiba-tiba muncul didepannya. Fathian, yang ia kira sudah pindah ke luar negeri kini berada satu tempat dengannya. Selain itu, kenyataan lain yang ia terima adalah laki-laki yang dulu pernah sangat dicintainya datang bersama perempuan yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. 

Meskipun sudah satu tahun sejak ia terpaksa memutus hubungannya dengan Fathian, nyatanya ia masih merasakan sensasi aneh saat bertemu dengan mantan kekasihnya itu. Perasaan senang yang tiba-tiba membuncah saat tak diduga bisa melihat wajah itu lagi. Ia memperhatikan kalau penampilan laki-laki itu jelas lebih baik dibanding bersama dirinya dulu. Dia lebih rapi, terawat dan sehat dengan tubuh yang proporsional. Namun, disaat bersamaan ia merasa hatinya seolah dihujam oleh benda beton super berat saat mendengar laki-laki itu akan segera menikah. 

Karin menepuk-nepuk pelan dadanya dengan tangan sebagai bentuk penenang untuk jantungnya yang masih mengeluarkan detakan cepat. Sudah satu tahun, harusnya perasaannya tidak seperti ini. 

Ia menghela nafas panjang, "Tenang tenang. Harusnya gua enggak boleh kayak gini." gumamnya. Karin berusaha keras mengembalikan konsentrasinya  dan menenangkan perasaannya untuk kembali bekerja. 

***

Luna dan Miki sedang dalam perjalanan menuju rumah setelah dari supermarket membeli bahan-bahan makanan. Luna berjalan agak didepan Miki. 

"Lun, lu tega banget sih ! Masa belanjaan semuanya gua yang bawa, emang gua kuli pasar apa." keluh Miki, yang merasa keberatan dengan dua plastik berukuran cukup besar tergenggam didua tangannya.

"Siapa suruh enggak mau patungan buat bayar belanjaan. Udah sabar aja. Dikit lagi, kita sampai kok." jawab Luna dengan raut tak peduli. 

Miki berdesis kesal, "Lu tuh ya, bener-bener kakak paling kejam sedunia tahu, enggak." 

Luna menoleh sedikit kemudian menyeringai, "Kasian banget, sih kalau baru tahu."

"Ish ! Sumpah lu nyebelin banget." 

Lagi-lagi Luna tak peduli. "Eh, ki."

"Apa'an !?"

Luna agak terkejut mendengar jawaban Miki yang lebih terdengar seperti bentakan. "Biasa aja kali. Gua mau nanya nih, serius."

"Gua punya masalah lebih serius disini, tahu. Ini belanjaan, berat !" 

"Ya udah lah, enggak jadi." jawab Luna dan mempercepat langkahnya begitupun dengan Miki.

5 menit kemudian, keduanya telah sampai di rumah. Dengan langkah terburu-buru, Miki meletakkan barang belanjaan di dapur dan mengambil tempat duduk dibangku makan. Luna melenggang ke depan pintu kulkas dan mengambil dua minuman bersoda dari dalam. Salah satunya diberikan untuk adik bungsunya. 

"Gua kapok belanja sama lu, sumpah." kata Miki setelah menghabiskan setengah minuman bersoda ditangannya. Tak lama ia mengeluarkan tahak. 

"Makanya, lain kali kalau belanja itu patungan." Luna meminum secara perlahan. 

Miki mengusap bibirnya yang basah, "Eh tadi lu mau tanya, apaan?" tanyanya ketika teringat dengan pertanyaan Luna yang tak jadi disampaikan. 

Luna menatap adiknya itu. Meletakkan botol minumannya yang hampir setengahnya habis. Memajukan sedikit tubuhnya,mengarah kepada adiknya. "Ki, lu masih inget kan soal perkataan Paman Agung dulu, pas awal kita bertemu? Dia cerita tentang pembunuhan orangtua kita."

Raut Miki berubah, jadi lebih serius. "Iya. Kenapa?"

"Lu juga masih ingat kan, kalau dalangnya belum ketangkep?"

Miki menganggukkan kepalanya.

"Lu enggak pengen cari tahu soal identitas dalangnya, selain gua, lu juga pasti buta banget kan dengan pelaku dan alasan orangtua kita dibunuh." 

Miki menggaruk kepalanya yang agak gatal karena keringat dan kepanasan, "Gua malah lupa soal kasus itu, karena udah percaya semuanya bakal diurus sama Paman Agung. Tapi, kalau diingat lagi, kenapa Paman belum ngasih tahu perkembangan penyelidikan kasus orangtua kita, ya?"

"Itu karena Paman juga belum bisa nangkep pelakunya."

"Tapi pelaku pengeksekusinya, kan udah ditangkep. Harusnya paksa aja, supaya mereka mau ngomong."

"Seandainya cara itu berhasil, pasti sekarang dalangnya udah ditangkep, Ki. Kayaknya si pengeksekusi udah disumpah buat enggak bocorin apapun."

Miki memandang kearah Luna dengan tatapan serius dan menelisik, "Kak.."

"Hm?"

"Jangan-jangan kemarin lu ketemu sama Paman Agung, juga buat ngomongin ini, ya? Ya kan? Paman ngomong apa aja?" tuntun Miki. "Dia ngasih tahu enggak apa alasan sebenarnya orangtua kita dibunuh? Apa sampai sekarang Paman belum berhasil tahu otak pembunuhannya? Dia kan punya banyak anak buah."

Luna memandang adik bungsunya itu. Dalam diam, perempuan itu menimbang apa sebaiknya ia beritahu saja kalau Paman Agung sudah memiliki empat kandidat terduga pelaku utama pembunuhan orangtuanya. Dan dua diantaranya adalah keluarga Karin. 

My Lovely Sisters 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang