Luna tengah berbaring diatas tempat tidurnya setelah usai membersihkan diri dan berganti pakaian dengan piyama. Kedua matanya menerawang ke atap langit-langit kamarnya. Teringat kembali dengan perkataan bibinya mengenai keterlibatan Ibunya Karin atas kematian Ibunya.
Ia bergerak mengambil handphone yang diletakkan diatas disisi kanannya. Luna berpikir, sudah seharusnya ia menanyakan perkembangan kasus kematian kedua orangtuanya pada Paman Agung.
Perempuan itu menghubungi Paman Agung, "Halo. Selamat malam, Paman." sapanya.
"Halo, Luna. Apa kabar? Lama sekali enggak mendengar kabar darimu sejak sekolah di London. Kamu baik-baik aja, disana?" suara Paman Agung terdengar sangat antusias, seperti seorang Ayah yang mendapat telepon dari anaknya.
"Baik, Paman. Semua berjalan dengan baik dan lancar. Apa aku sudah mengganggu waktu, Paman?"
"Enggak. Enggak apa-apa, Luna. Paman mengerti kalau perbedaan waktu di negara sana berbeda dengan Indonesia."
"Sebenarnya, Paman.. Aku sedang di Indonesia." Luna mengakui.
"Oh ya? Waah, sejak kapan?"
"Sudah 4 harian. Aku sampai Rabu sore."
"Sudah sampai sejak Rabu sore dan kamu baru mengabari hari ini?" tanya Paman Agung.
"Hehe, iya Paman. Maaf, aku jadi terkesan enggak perhatian, yah? Aku cuma punya banyak pertimbangan kalau mau menghubungi Paman. Takut lagi sibuk, jadi baru sekarang aku menghubungi Paman." Luna mencari-cari alasan sambil menggaruk kepalanya yang gatal.
"Haha. Kan, sudah dibilang jangan sungkan untuk menghubungi Paman kapan pun. Walaupun sedang menjalani tugas penting, dan tak sempat Paman angkat, akan Paman kirim sms untuk mengabari."
"Iya, Paman. Besok-besok aku enggak akan mikir ratusan kali, deh buat menghubungi Paman."
"Oke. Jadi, apa ada alasan lain sehingga membuatmu menghubungi Paman?"
"Paman... sebenarnya, aku ingin sekali menemui Paman karena ada hal yang ingin kutanyakan."
"Oh iya. Silahkan. Paman akan menerima kedatanganmu. Kapan kamu akan datang?"
"Rasanya, enggak cocok kalau ditanyakan padaku." Luna terkekeh pelan, "Aku menyesuaikan dengan jadwal kosong Paman aja."
"Baiklah. Bagaimana kalau besok pagi? Sekitar pukul 8."
"Pagi banget, Paman. Agak siangan aja, gimana?"
"Kalau gitu, diundur Selasa siang aja, gimana? Karena, besok siang Paman harus berangkat ke kantor cabang di Bali. Oh iya, omong-omong kamu akan datang sendiri atau kalian berempat akan datang bersama?"
"Aku akan datang sendiri, Paman. Baiklah, aku akan datang besok pagi. Jam 8, kan?"
"Kamu akan datang sendiri? Tapi, mereka akan tahu kalau kamu akan datang menemui, Paman?"
"Hemm, entahlah. Aku sih enggak berpikir ingin memberitahukan pada mereka."
"Apa... kalian bertengkar lagi seperti waktu itu?" nada Paman Agung terdengar khawatir. "Apa terjadi sesuatu lagi dengan Karin?"
"Enggak, enggak Paman. Hubungan kami baik-baik aja. Enggak ada masalah juga dengan Karin. Aku cuma mau ngobrol sama Paman, empat mata. Karena, topiknya berhubungan dengan warisan Ibu yang sekarang berada ditanganku."
"Oooh, begitu. Syukurlah, kalau ini enggak ada kaitannya dengan masalah diantara kalian. Tapi... soal warisan itu, Paman belum mengerti. Kenapa kamu mau membicarakannya dengan, Paman."
"Aku berniat meminta Paman mengurus warisan dari pihak Ibuku. Karena, sejujurnya aku enggak begitu mengerti dengan apa yang harus kulakukan dengan harta-harta itu. Aku ingin mendapatkan pengarahan seperti Paman mengurus warisan dari Ayahku."
"Oh, begitu. Oke, kalau begitu sampai ketemu besok. Paman akan menunggu kedatanganmu."
"Ya, Paman. Terima kasih."
Sambungan telepon berakhir. Luna meletakkan kembali handphone-nya disisi kiri tubuhnya. Memeluk guling dan kembali memikirkan banyak hal mengenai pertemuannya hari ini dengan Paman dan Bibinya. Dalam hati, ia ingin akur dan masuk kedalam keluarga Ibunya itu agar bisa mendapatkan penjelasan tentang perkataan Bibinya atas keterlibatan keluarga Karin dengan kematian ibunya. Namun, hal itu sulit diwujudkan ketika Luna harus menghadapi cara mereka memandang dirinya, dan mendengar kata-kata tajam yang dilontarkan untuk dirinya.
Seringkali Luna juga penasaran dengan alasan mereka begitu benci terhadap Ayahnya. Padahal, jika mengingat pengakuan Paman Agung saat pertama kali bertemu. Terasa kalau, Ibunya menikah dengan Ayahnyasecara sukarela, dan selama hidup pun tak pernah melihat Ibunya bertengkar dengan Ayahnya. Ibunya juga sering menceritakan pada Luna mengenai kebaikan dan kehebatan Ayahnya. Namun, rasa penasaran itu tak bisa dihilangkan selama perlakuan keluarga Ibunya tak berubah.
Luna mengeratkan pelukannya, kemudian memejamkan kedua matanya. Ia harus segera tidur agar esok bisa bangun pagi dan bertemu dengan Paman Agung di kantornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
General FictionPertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...