Pertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama.
Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...
Malam harinya, keempat saudara itu sudah berkutat didalam kamar masing-masing. Karin mengunci kamar, setelah sebelumnya menyita kunci kamar Luna. Langkah kakinya bergerak menuju tempat tidur dengan handphone tak lepas dari genggaman tangannya. Saat sudah membaringkan tubuhnya dengan punggung bersandar pada kepala tempat tidur, jari-jarinya mulai kembali sibuk membuka kotak pesan. Menampilkan nama 'Bibi Talitha' pada bagian identitas pengirim.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pesan itu diterimanya sore tadi dan belum ia balas karena terlalu larut dengan obrolan dan candaan Miki serta Reynata. Karin masih tidak menyangka bisa berkomunikasi lagi dengan paman dan bibinya setelah beberapa tahun lalu, mereka pamit pergi karena urusan genting yang menyebabkan keduanya dan keluarga berangkat ke luar negeri. Dan yang lebih membuatnya heran adalah permintaan tiba-tiba Bibi Talitha yang menginginkannya ikut ke negeri Jepang.
Seandainya, dirinya masih hidup sendiri dengan kondisi mengalami patah hati karena putus dari Fathian, mungkin ia tidak akan berpikir dua kali dan langsung menerima tawaran tersebut. Tapi, sekarang dirinya tidak lagi sendirian. Ia punya tiga saudara yang begitu menyayangi dan selalu memikirkannya. Masalah Fathian lambat laun bisa dilupakan karena kehadiran Luna, Miki serta Reynata. Mereka lah yang menjadi motivasi supaya dirinya bisa menjalani kehidupan yang lebih baik dengan memaafkan kesalahan yang telah dilakukannya dan menumbuhkan rasa percaya diri dalam dirinya. Rasanya sulit jika harus memilih meninggalkan mereka sekarang.
Ia meletakkan handphone pada sisi kanan tubuhnya. Mengurungkan niat untuk membalas pesan tersebut. Perlahan memerosotkan diri hingga benar-benar dalam posisi berbaring dengan dua mata memandang langit-langit kamarnya. Untaian pikirannya seolah mengambang disana, dan menampilkan beberapa pertimbangan. Perlukan ia membicarakan soal ini pada ketiga saudaranya? Kira-kira apa tanggapan mereka, jika akhirnya dirinya memutuskan untuk ikut Paman dan Bibinya ke Jepang? Apa mereka akan membiarkannya pergi? Atau akan bersikeras menahannya pergi seperti saat dirinya memilih pergi dengan Fathian dan melakukan segala cara untuk membawanya pulang ke rumah?
Tak ada gambaran jawaban atas pertanyaannya. Namun, dirinya meyakini sesuatu. Apapun yang ia lakukan meskipun itu adalah sebuah kesalahan, ketiga saudaranya akan tetap menerima dirinya dan menjadi rumahnya yang hangat.
Karin memiringkan tubuhnya ke sisi kanan. Menghadapkan wajahnya ke jendela kamar yang tertutupi gorden putih berjaring-jaring. Dua matanya mencoba menerawang keluar. Suasananya begitu sepi. Tak ada suara. Tak ada langkah kaki. Tak ada pertengkaran, ejekan atau suara tawa geli seperti yang terjadi saat dirinya sedang berkumpul dengan Luna, Reynata dan Miki. Suasananya begitu tenang serta terasa normal tanpa ada masalah yang akan menakutinya saat ini. Terkadang, ia sangat rindu dengan suasana seperti ini. Seolah dunia dan waktu hanya miliknya tanpa ada seorang pun yang bisa mengganggu atau membebaninya.
Ia menghela nafas panjang. Sebuah pengandaian terlintas dalam kepalanya. Jika dia ikut dengan Bibinya, sudah pasti waktu tenang seperti ini akan selalu ada untuknya. Tak ada lagi dua saudara yang bertengkar hanya karena hal sepele dan membuatnya harus turun tangan. Tak ada lagi wajah dingin dan nada datar yang ia dengar dari mulut Luna. Tak ada lagi sifat adik yang manja seperti Miki, dan tak ada sosok yang begitu suka membuatkan camilan dan bisa diajak ngobrol dengan menyenangkan seperti saat dirinya bersama Reynata. Ketiga saudara itu memiliki sifat dan sikap yang begitu membekas di hati Karin.
Ia memutuskan berhenti berpikir kemudian memilih memejamkan dua matanya. Dalam hati ia menyadari, suasana yang begitu tenang seperti sekarang terkadang semakin lama terasa membosankan. Karin berharap dengan tidur, pagi hari bisa datang lebih cepat supaya dirinya bisa bangun dan melihat tingkah konyol serta menyebalkan apa lagi yang akan dilakukan oleh ketiga saudaranya.