Pergerakan (Part 2)

242 14 1
                                    

Seorang perempuan paruh baya berumur 42 tahun berdiri dekat jendela rumahnya. Jari-jari tangan kanannya menyusup masuk pada pegangan cangkir yang terbuat dari keramik impor bermotif bunga sakura Jepang. Satu tangannya yang lain menyedekap. Punggungnya bersandar pada dinding yang bersebelahan dengan kusen jendela yang dicat berwarna putih. Kedua matanya menatap kearah lelaki paruh baya berumur 2 tahun lebih tua darinya. 

Lelaki itu sedang duduk diatas sofa berbahan kulit jenis full aniline. Menopangkan kaki kanannya pada kaki kirinya. Menyandarkan punggungnya. Dua tangannya saling bertaut dan meletakkannya pada kaki teratas yang tertopang. Raut wajahnya mengeras seolah baru saja mendengar berita yang sangat mengejutkan dan tak menyenangkan. 

"Apa yang harus kita lakukan sekarang, kak? Agung mulai menggencarkan penyelidikannya lagi." tanya perempuan paruh baya dengan tatapan menuntut solusi. Dia adalah Talitha Basupati Pranaja. Adik kandung Karina, ibu Karin, paling bungsu. 

"Apa lagi? Tentu aja, secepatnya kita harus menyingkirkan brankas-brankas rahasia kita. Supaya Agung enggak akan bisa mencari bukti seberapa pun kerasnya ia berusaha." jawab lelaki bernama Iqbal Basupati Pranaja, berposisi sebagai adik Karina yang kedua. "Lagipula, kita juga sudah memberikan pengorbanan yang cukup besar demi keberlangsungan hidup brankas-brankas ini. Memberikan uang dalam jumlah besar, jaminan pendidikan untuk anaknya hingga sekarang kuliah di Luar Negeri, bahkan kita masih membiarkannya hidup sampai sekarang."

"Tapi, bagaimana caranya kita membuang brankas rahasia kita? Ini enggak akan mudah, karena akses kita sangat terbatas untuk mengeluarkan brankas-brankas itu dan membuangnya tanpa menimbulkan kecurigaan." 

"Brankas-brankas kita ini meskipun kuat dan setia menyimpan rahasia didalamnya, tapi sebenarnya juga memiliki kelemahan."  

Talitha maju mendekati tempat kakaknya. "Kelemahan?"

"Ya. Bukankah brankas-brankas kita memiliki penyakit dalam yang cukup kronis?" Iqbal membalas tatapan adiknya itu dengan menyeringai. "Mungkinkah... kita bisa memanfaatkan itu dan menutup kematian mereka dengan keterangan 'meninggal karena sakit' ?" 

Talitha baru mengerti maksud perkataan kakaknya. Perempuan itu ikut menyeringai. 

"Kalau kita enggak bisa membawa dan membuangnya keluar. Biarkan brankas-brankas itu tetap didalam sampai penjara itu sendiri yang membuangnya keluar." Iqbal meneruskan. 

"Lalu, kapan kita akan lakukan eksekusinya?" 

"Pertama-tama, aku akan cari seseorang yang paham dengan senyawa kimia berbahaya dan pergerakan reaksi organ dalam. Bagaimana pun, aku enggak mau kematian mereka meninggalkan kecurigaan. Aku ingin brankas-brankas itu tewas dengan cara yang terlihat alami." 

Talitha menganggukkan kepalanya kemudian ikut duduk bersama kakaknya itu. Cangkir yang ia pegangi sedari tadi diletakkan diatas meja. "Selain brankas-brankas itu, bukankah kita juga punya ganjalan lainnya, kak. Bagaimana dengan Karin, apa enggak sebaiknya kita bujuk dia untuk ikut saja dengan kita? Supaya makin mempersulit pergerakan Agung. Aku khawatir kalau sewaktu-waktu Agung mencoba mengorek keterangan dari Karin. Bukankah sebelum hari eksekusi, kita pernah datang ke rumah Karina dan bertengkar dengannya?  Dan disana juga ada Karin? Bagaimana kalau dia masih ingat, walaupun saat itu masih kecil?" 

"Aku tahu." jawab Iqbal dengan segera. "Aku juga memikirkannya. Setelah eksekusi brankas selesai, kita akan menyelesaikan soal Karin." 

"Kak, sebelum itu.. apa enggak sebaiknya, kita menemuinya dulu?" usul Talitha, membuat Iqbal menatapnya dengan bingung. "Kita udah lama enggak berhubungan dengannya, dan seolah sengaja menghilang semenjak dia keluar dari rumah kita. Bukannya sulit membujuknya buat ikut lagi dengan kita, kalau hubungan kita dengan dia aja serenggang ini?"

Iqbal mengangguk perlahan, membenarkan perkataan adiknya. "Kamu benar." lelaki itu berpikir sebentar, "Kamu punya kontaknya? Hubungi dia dulu, sekadar tanyakan kabarnya dan meminta maaf kemdian minggu depan... kita kunjungi Indonesia. Kita rencanakan waktu untuk bertemu dengannya tanpa sepengetahuan Agung." 

Talitha mengangguk setuju. Ia kembali mengambil cangkir berisikan teh hijaunya. Mencicipnya, kemudian kedua orang itu membisu. Tatapan mereka tajam namun tidak untuk satu sama lain. Seolah kini mereka sedang berkutat dengan pikiran masing-masing tanpa niat berbagi. 

Cuaca diluar rumah yang sejak awal sudah mendung kini berubah menjadi rintik hujan yang deras. Airnya menghantam sekaigus menyapu bagian luar kaca jendela rumah itu . Terdengar suara gesekan bingkai akibat angin diluar yang cukup kencang. Beberapa kali kilat juga membiaskan cahayanya hingga masuk ke dalam ruangan. Cuaca ekstrim itu seolah menggambarkan bahaya atas rencana yang akan diwujudkan oleh Talitha dan Iqbal.  


My Lovely Sisters 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang