Seusai mandi dan menunggu hingga pukul 6, Luna keluar dari kamar dan turun ke lantai satu untuk membuat sarapan. Ia merasakan perutnya keroncongan karena tidak makan malam. Ketika sampai di dapur, ia justru bertemu dengan Karin yang sedang makan roti bakar sebelum berangkat bekerja.
"Eh, Lun.. udah bangun." sapa Karin yang agak terkejut melihat kedatangan Luna. Luna mengangguk sambil berjalan kearah Karin yang sedang duduk dikursi makan kemudian mengambil dua lembar roti gandum yang diletakkan dekat dengan dirinya. "Tidur lu nyenyak semalam, Lun?" tanya Karin lagi yang masih menangkap sikap dingin dari saudarinya itu.
Luna meletakkan roti gandumnya diatas teplon yang sudah diolesi dengan mentega dan dipanaskan dengan api kecil. "Enggak juga, sih. Beberapa kali gua kebangun."
"Kenapa? Emang biasanya lu begitu?" tanya Karin.
Luna menggeleng. Tangan kanannya beralih membuka lemari es untuk mengambil keju lembaran.
"Kalau gua, biasanya begitu karena ada masalah yang susah buat diselesain. Hati enggak tenang, pikiran juga kalut, dan itu ngefek ke tidur. Seberapa keras mau tidur pun pasti bakal kebangun." kata Karin, ia berusaha memancing pengakuan lainnya dari Luna.
Luna mengangkat rotinya yang sudah sedikit kecokelatan. Meletakkannya diatas piring kecil dan mulai mengisinya dengan keju lembaran dan mengolesi saus cabai. "Emang ada yang lagi gua pikirin." jawabnya dengan tidak antusias.
"Masalah serius?" tanya Karin yang mulai tak sabar menunggu Luna mau menceritakan semua yang ada dipikirannya. Ingin mengetahui masalahnya. Potongan roti terakhir masuk kedalam mulutnya dan dikunyahnya dengan cukup cepat.
"Yah... mungkin." jawab Luna yang sekarang beralih mengisi gelas dengan air.
"Masalah di kampus? Lu disuruh balik kesana?" kemudian kedua mata Karin agak terbelalak saat teringat dengan dugaan adik bungsunya semalam, "Atau jangan-jangan.... lu putus ya sama cowok lu?"
Luna terkekeh, "Lu pasti dengerin omongannya si Miki, ya?"
"Ya abis, gua tahunya kemarin lu abis ketemuan sama pacar lu.. pas ketemu sama gua, lu langsung ngacir masuk ke kamar. Jadi, ya gua pikir dugaan Miki itu rasional."
Luna membawa gelas dan rotinya ke meja makan. "Bukan."
"Cerita dong. Perasaan gua enggak enak deh, kalau lihat lu dingin lagi kayak gini." pinta Karin yang benar-benar ingin tahu.
"Bukan masalah berat, kok. Lu berangkat jam berapa?" tanya Luna yang mulai menyuapkan potongan rotinya yang pertama.
Karin berdecak sebal, namun tetap melihat kearah jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah 7. Ia harus berangkat kalau tidak mau terlambat sampai di butik. "Tapi, itu juga bukan masalah yang mudah, kan? Kelihatan kok dari sikap lu. Kalau gua boleh kasih saran, biar enggak nyiksa diri sendiri, coba deh lu cerita sama seseorang siapa tahu dapat jalan keluar. Enggak harus sama gua, kalau lu enggak percaya sama gua. Tapi, lu kan punya pacar dan ada Miki juga di rumah." Karin menatap dengan serius, "Lu pasti udah belajar dari pengalaman gua dulu, kan?"
Luna berhenti menusuk-nusukkan garpunya ke potongan roti dan membalas tatapan Karin. Kemudian, tiba-tiba dia menyunggingkan senyumnya. Membuat Karin menatap heran. "Kalian sampai sebegitu khawatirnya, ya? Si bungsu juga... Tenang aja, masalahnya enggak gawat kok dan bisa diselesaikan. Kemarin itu, gua cuma kecapekan karena seharian diluar."
Karin terdiam sesaat mendengar jawaban Luna. "Oke. Gua percaya, deh. Mungkin, emang gua aja yang lebay kepikiran. Ya udah, gua berangkat dulu." Karin mengambil tas selempangnya, dan bergerak keluar dari meja makan. "Eh, iya lu ada rencana keluar sama Miki hari ini? Jalan-jalan, gitu?" sambil memandangi saudari keduanya yang baru akan memasukkan potongan ketiga kedalam mulutnya.
"Belum tahu." jawab Luna. "Kenapa?"
"Enggak apa-apa. Gua rencana mau pulang cepat hari ini, dan besok kebetulan butik ditutup karena bos gua dan beberapa rekan mau keluar kota. Rencana, gua mau ngajakin hang out di Blok M."
"Kita lihat nanti, ya." jawab Luna yang melanjutkan suapannya. "Kalau pun gua enggak bisa, mungkin Miki bisa."
"Oke. Berkabar aja, nanti. Gua jalan." Karin melanjutkan langkah.
"Hati-hati." jawab Luna tanpa menoleh kepergian saudaranya. Tanpa dia sadari, Karin sudah menoleh kembali kearahnya karena merasa tidak nyaman dengan sikap tak biasa Luna. Karin merasa... Luna bersikap dingin dan acuh pada dirinya. Namun, buru-buru ia menepis perasaannya itu. Ia berganti dugaan kalau Luna seperti itu karena sedang menghadapi masalahnya sendiri.
Sepeninggal Karin, Luna mengambil handphone-nya dan menelepon Paman Agung. Ia harus cepat bergerak kalau mau tahu siapa pembunuh dan alasan kematian orangtuanya. Mengingat waktunya hanya sebentar di Jakarta. Selain itu, ia rasa ada benarnya juga kalau ia berbagi tentang masalah ini supaya tidak cuma bergerak sendiri. Ia butuh masukan dari orang terdekat tapi yang jelas bukan dari Arga, karena Luna tidak akan tega membiarkan kekasihnya ikut kepikiran. Karin juga bukan, Miki juga bukan orang yang tepat... mungkinkah, dia cerita saja pada Reynata. Sejauh ini, sifatnya memang mirip dengan Luna meskipun lebih luwes dan ramah. Dia juga nampaknya bisa menjaga rahasia. Apa tidak apa-apa?
"Halo, selamat pagi Luna?" terdengar jawaban dari Paman Agung yang ramah seperti biasanya.
"Selamat pagi, Paman. Aku telepon pagi-pagi begini, ganggu waktu Paman, enggak?"
"Enggak, kok. Paman baru mau berangkat ke kantor. Ada apa? Apa soal warisan kemarin?"
"Bukan. Aku cuma mau minta tolong lagi , nih sama Paman."
"Minta tolong apa, Lun? Katakan aja, Paman akan bantu sebisa Paman."
"Bisa antar aku bertemu dengan para pelaku yang sudah tertangkap? Aku mau bertemu dengan mereka."
"Ooh, tentu Paman bisa mengantarmu. Apa mau hari ini?"
"Kalau Paman ada waktu, aku mau."
"Hmm, kita berangkat jam 9. Gimana?"
"Oke, Paman. Aku akan sampai di kantor tepat waktu." Percakapan keduanya selesai. Luna mengangkat piring dan gelasnya ke wastafel untuk dicuci. Setelah selesai, dia pergi ke ruang keluarga untuk nonton tv sebelum bersiap pergi menuju kantor Paman Agung.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Sisters 2
Fiction généralePertemuan yang terjadi karena permintaan Paman Agung, membuat Karin, Luna, Reynata dan Miki harus menerima kenyataan kalau mereka adalah saudara dari satu Ayah yang sama. Hari demi hari mereka lalui dengan tenang dalam rumah yang diwariskan ole...