BAB 2. PERMINTAAN MAAF

4.9K 174 6
                                    

Bismillah... kupejamkan mataku sesaat, terus melangkah menuju rumah peninggalan orang tuaku, yang kini tempatku berteduh bersama suami dan anakku.

Aku harus kuat, aku tak boleh gentar menghadapi ujian hidup ini, aku harus buktikan pada diriku sendiri, bahwa aku bisa menghadapi masalah ini dengan kekuatan-Mu Tuhan. Apapun yang terjadi, itulah yang terbaik untukku.

"Alma, bisa kita bicara", suara mas Anton memecah kesunyian di ruang tengah, tempat aku mendampingi Tiara putriku satu-satunya yang lagi belajar sambil berbincang-bincang denganku.

Aku hanya diam membisu, bibirku terasa kelu mendengar suara mas Anton yang sudah mengkhianatiku. Suara seseorang yang telah resmi menjadi suamiku sejak 16 tahun lalu, kuserahkan hidupku padanya, karena aku percaya mas Anton adalah laki-laki terbaik diantara laki-laki yang pernah mendekatiku kala itu.

Saat Tiara sudah selesai dengan tugasnya, ia lantas meninggalkan kami berdua di ruang tengah. Sepertinya anakku mengerti bahwa orang tuanya sedang ada masalah, kepekaan Tiara sebagai seorang anak memang sudah bisa terasah sejak kecil. Apalagi sekarang Tiara sudah beranjak remaja, pasti ia lebih bisa membaca gerak gerik mama papanya saat kami berdua tidak saling bertegur sapa.

Mas Anton melangkah dan berdiri mendekatiku, "kita bicara di kamar saja Alma, biar tidak di dengar Tiara". Dengan percaya diri mas Anton mengajakku pindah ke kamar, seolah ia tidak pernah melakukan kesalahan.

"Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, semuanya sudah jelas", tepisku menolak ajakan mas Anton tanpa memandang ia sedikitpun. Aku tidak meluapkan amarahku, tapi lebih memilih diam dan nggak banyak bicara. Karena bagiku marah tidak menyelesaikan masalah, dengan diamku harusnya mas Anton mengerti, kalau aku sudah muak dengan kelakuannya.

"Alma...kita harus bicara, karena...", belum selesai mas Anton melanjutkan kalimatnya, aku segera berdiri dari duduk ku.

"Nggak perlu dijelaskan, semua sudah selesai", dengan ketus aku meninggalkan mas Anton tanpa menghiraukan keberadaannya. Ku melangkah ke kamar tidurku, baru tiga langkah, tangan mas Anang menahanku. Kutepiskan tangannya tanpa menatap wajahnya, ku tarik napas panjang sambil terus melangkah menuju kamarku.

"Alma... Al... Alma", teriakan mas Anang terus berusaha memanggilku, agar aku menoleh padanya. Tapi tindakannya tak membawa hasil, aku terus masuk kamar dan menutup rapat-rapat dengan menguncinya kamarku.

Dari tadi aku menahan tangis di depan suami dan anakku, kini kepedihan yang kupendam tak bisa terbendung lagi, kala aku sedang sendiri di kamar seperti ini.

Kurebahkan tubuhku yang lelah, lelah raga juga lelah jiwa. Air mata ini begitu deras keluar tak bisa ku kendalikan, aku sesenggukan meluapkan kekecewaan, terpampang nyata diingatanku, pagi tadi suamiku dan sahabatku sudah bermesraan di atas ranjang yang kini ku tempati.

Aku tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menangis, menangis dan menangis. "Tuhan, kuatkan hambaMu ini, berikanlah petunjuk pada diriku, untuk memutuskan yang terbaik untuk semuanya. Aku nggak bisa memaafkan suamiku dan sahabatku yang mengkhianatiku demikian kejamnya.

Terlebih Heni yang sudah banyak kutolong ketika ia memerlukan pinjaman uang dan pekerjaan. Aku selalu berusaha membantunya dengan tulus, karena ia hidup di kota ini tanpa ada sanak saudara.

Dua bulan ini, Heni kupercaya menjadi admin di olshopku yang kukelola dirumah, dengan stok yang makin banyak, hingga aku kuwalahan jika kutinggal dengan pekerjaan utama ku sebagai kepala sekolah.

Sejak itu, Heni setiap hari ke rumah setiap jam delapan pagi hingga jam empat sore. Hanya hari Minggu saja, Heni tidak kerumah karena memang kukasih libur sehari, agar ia bisa istirahat.

Heni seumuran denganku, ia dulu teman sebangku ku saat kami masih duduk di SMA, kebetulan juga rumahnya tak jauh dari rumahku. Tapi setelah ia bercerai dengan suaminya setahun yang lalu, Heni sering mampir kerumah dan minta bantuan saat kesusahan.

Aku nggak tega ketika Heni yang menjadi janda dengan satu anak, tapi ia tidak mendapat hak asuh anak dari pengadilan, karena tak punya penghasilan tetap. Kubayangkan jika aku berada dalam posisinya, betapa pedihnya hidup ini. Tak punya saudara dan juga yatim piatu, begitulah keadaan Heni saat itu.

Hari demi hari Heni semakin akrab dengan anak dan suamiku, karena setiap hari berinteraksi dengan mereka. Sedang aku sering sibuk dengan tugasku sebagai kepala sekolah hingga kadang pulang sampai sore hari.

*****

Tok tok tok

Pintu kamar diketuk dari luar.

"Alma, tolong buka pintunya!", suara mas Anton memohon dibukakan pintu. Tapi tak ku gubris sedikitpun, hatiku sudah tertutup untuk lelaki yang tau diri.

Aku selimuti tubuhku, pikiranku menerawang ketika mas Anang masih pengangguran sedang aku sudah bekerja sebelum kami menikah. Karena rasa cintaku pada mas Anton sehingga aku dibutakan oleh keadaan dan peringatan ibuku.

Ibuku sudah mencium niat kurang baik mas Anton menikahi ku saat itu. Ibuku selalu mengingatkan kalau aku hanya dimanfaatkan olehnya, tapi aku membantah peringatan ibu dengan berbagai dalih, demi mempertahankan cintaku pada mas Anton.

Setelah menikah aku baru sadar dan merasakan kalau memang benar, aku hanya dimanfaatkan oleh mas Anton yang sudah menjadi suamiku. Setelah menikah, ia masih pengangguran, kerjanya hanya bermalas-malasan, makan, tidur. Padahal setelah menikah, kami hidup serumah dengan ibu, karena aku tidak tega meninggalkan ibuku hidup sendiri.

Tapi tak pernah ada rasa sungkan sedikitpun, saat aku berangkat mengajar, mas Anang belum bangun sampai siang. Hingga ibu kasihan melihatku pontang-panting mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga, sedang mas Anang hanya numpang hidup tanpa ada usaha.

Walau demikian, aku tetap bertahan dan selalu membela suamiku. Hingga setahun kemudian Tiara anak pertamaku lahir dan membuat suasana rumah lebih berwarna. Harapanku setelah punya anak, pasti mas Anton ada usaha untuk mencari pekerjaan. Ternyata dugaanku salah, tetap saja kebiasaannya tidak berubah.

Bersamaan dengan itu, ibuku sakit-sakitan dan butuh perawatan, hingga aku harus pandai-pandai mencari penghasilan tambahan. Setelah pulang mengajar, aku menerima les privat dari beberapa murid-muridku untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Tak ada lagi yang ku harapkan bantuannya, berharap pada suami hanya membuatku sakit hati dan menambah masalah.

Sejak awal akulah yang kerja keras menghidupi keluarga dan mempertahankan pernikahan, karena aku tak mau menjadi single parent seperti ibuku.

Pengalaman pahit masa remajaku membuatmu trauma dan lebih mandiri, saking mandirinya hingga dihadapkan pada suami yang hanya bisa numpang makan selama bertahun-tahun. Kenyataan ini tak membuatku putus asa, karena mas Anton tak pernah KDRT dan bermain wanita.

Baru lima tahun terakhir, mas Anton mau bekerja di perusahaan atas desakan anakku yang beranjak remaja. Kemungkinan besar, mas Anton malu dengan putrinya yang selalu menyindirnya setiap hari.

Dari penghasilan yang diperoleh mas Anton, tak pernah sepeserpun diberikan padaku dan putriku. Dan aku juga nggak pernah menanyakan berapa penghasilannya selama ini, karena bagiku mas Anton mau bekerja saja, aku sudah sangat senang.

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang