Alma merasakan gemuruh dalam dadanya makin tak terkendali, ia segera beranjak dari kursi yang menyangga bobot tubuhnya. Alma gegas melangkah menuju pintu keluar, tak ada lagi rasa iba untuk suami yang sudah menghancurkan kepercayaannya.
Tapi tinggal selangkah lagi kaki Alma sudah mencapai gagang pintu untuk membukanya, Anton sudah terbangun dari istirahatnya.
"Alma...", suara Anton terdengar sayup.
Wanita yang tampak lelah itu menghentikan langkahnya, ia terdiam sejenak. Ada bimbang di hatinya, apakah ia akan membiarkan Anton dan meninggalkan ruangan, atau Alma akan menghampiri laki-laki penghianat itu???
"Alma...", seruan Anton kembali terdengar dengan lirih, karena keadaannya masih sangat lemah.
"Maafkan aku Alma", tatapan mata sendu Anton mengharap sang istri mau menghampiri sekaligus memaafkannya.
Nama yang dipanggil tak menoleh sedikitpun, ia mendengus napas panjang dengan tatapan kosong. Dadanya sesak menahan amarah yang sudah menggunung dari kemarin.
"Mohon maafkan aku Al...aku memang banyak salah, aku nggak pantas kau maafkan"
Istri Anton itu memejamkan mata sebentar, lalu ia meraih gagang pintu ruangan.
Ceklek
Ia membuka pintu, gegas keluar ruangan tanpa sepatah katapun. Alma memilih meninggalkan suaminya yang tergolek lemah, ia tak mau membohongi dirinya sendiri.
'Lebih baik aku pergi, kamu sudah keterlaluan mas', bisik Alma dalam hati.
Langkahnya terhenti setelah melihat perawat berjalan menuju kamar Anton bersama dengan seorang dokter di samping kirinya.
"Boleh kami periksa pasien dulu bu", permohonan ijin perawat pada Alma kemudian.
"Si...silahkan suster", Alma tampak bimbang dengan sikapnya. Ia berusaha tersenyum pada perawat dan dokter yang ada di depannya.
Dengan terpaksa Alma masuk ruang rawat Anton untuk mendampingi pemeriksaan. Kelihatan tak pantas saja, jika ia tak peduli dengan Anton, karena sudah terlanjur diketahui bahwa dirinya merupakan istri dari pasien.
"Setelah ini silahkan ibu ke ruangan dokter ya, ada yang harus dokter sampaikan pada ibu lebih lanjut mengenai keadaan pak Anton", demikian penjelasan perawat pada Alma, setelah pemeriksaan selesai.
Dengan tubuh gontai akibat lelah batin, Alma melangkah menuju ruang dokter Nafis Afandi yang menangani luka Anton suaminya. Ketidakpeduluan wanita tegar ini akhirnya pupus, ia tak bisa mengelak tuntutan keadaan yang mengharuskan Alma sedikit memberi perhatian pada kesehatan laki-laki yang sudah merusak kebahagiaannya.
***
POV ANTON
Gimana nih... Alma sudah nggak peduli, menoleh ke arahku saja nggak mau, memang sih yang kulakukan sangat keterlaluan, tapi mau gimana lagi aku merasa nyaman dengan Heni, janda ini punya banyak waktu berduaan denganku.
Tapi aku tau betul sifat Alma, pasti setelah ini dia nggak tega lihat aku sendirian di sini, apalagi dalam keadaan sakit tak berdaya. Saat ini mungkin Alma masih kaget, setelah nggak pulang semalam, paginya malah aku di rawat di rumah sakit.
Hmm... Bagaimana dengan Heni sekarang, apa dia juga dirawat di rumah sakit ini?
Derrrttt... Derrrttttt....
Ponsel di atas nakas sebelah bangkarku bergetar.
"Mas Anton, giman keadaanmu mas?"
"Heni, aku tadi mikirin kamu, aku masih dirawat di rumah sakit. Kamu dimana?
"Aku juga di rumah sakit mas, kakiku mengalami cedera tapi nggak begitu serius. Sepertinya besok sudah boleh pulang"
"Syukurlah, kalo aku ada benturan di kepala, jadi masih nunggu hasil radiologi diagnostik, semoga saja nggak ada luka yang serius, tapi kepalaku masih pusing"
"Istirahat saja mas, apapun yang terjadi aku akan selalu bersamamu"
"Makasih Hen, aku sayang kamu"
"Aku juga sayang kamu mas Anton"
'Kututup sambungan telpon dari Heni, lanjut kutekan nomer telpon istriku yang mudah kutaklukkan Alma'.
Tapi... tak ada jawaban, sekali lagi kucoba menghubungi Alma, tetap saja nggak ada respon. Sebaiknya ku tulis pesan saja padanya.
'Siang Alma, aku sendiri di sini, apa kamu nggak ingin nemenin'
Aku merasa lega pesan singkat ku segera dibacanya, tapi balasannya???
'Minta temenin Heni saja, aku sibuk'
'Aku sayang kamu Alma'
Aku mencoba merayunya, pasti hatinya akan luluh seperti biasanya, ternyata...pesanku nggak dibaca apalagi dibalas Alma. Sudahlah... aku memang sudah bosan dengannya. Selama ini memang yang kubutuhkan uangnya saja, dia kan pekerja keras, banyak penghasilan, lumayan bisa mencukupi kebutuhanku.
***
"Gimana keadaan papa, ma?", tanya Tiara yang penasaran dengan keadaan Anton papanya.
"Masih perlu rawat inap, biar saja sendirian, itu akibat dari perbuatannya"
"Maksudnya gimana maaa???"
"Maafkan mama ya nak... sebentar lagi mama akan menggugat cerai papamu, mama sudah nggak kuat melihat kelakuannya"
Alma mencoba menjelaskan pada Tiara rencana selanjutnya, sambil tangannya menggenggam tangan gadis yang mulai beranjak remaja di depannya.
Mendengar pernyataan Alma, gadis cantik itu hanya bisa diam dan tak terasa kedua matanya berkaca-kaca menahan tangis kesedihan.
"Iya maa... Aku sudah tau perbuatan papa terhadap mama. Sebenarnya aku sering memergoki papa sama tante Heni bermesraan di rumah ini, tapi aku nggak mau cerita ke mama, pasti mama akan sedih kalo tau seperti itu. Maafkan Tiara ya ma..."
Gadis berkulit putih itu menundukkan kepala, merasa menyesal atas tindakannya yang hanya bisa diam menyaksikan penghianatan papanya dan wanita yang sudah dianggap tantenya sendiri.
"Nggak papa sayang... Mama mengerti, kamu pasti menginginkan yang terbaik untuk mama, kamu nggak salah sayang"
Ibu dan anak itu saling berpelukan untuk saling menguatkan. Tak terasa air mata Alma mulai membasahi pipinya, tapi ia segera menahan dan mengusapnya agar tidak terlihat oleh Tiara.
Bagaimanapun juga, alma berusaha terlihat tegar di depan Tiara, walau batinnya sudah tercabik-cabik menyimpan kepedihan yang mendalam. Terluka tapi tak berdarah, inilah yang dialami ibu beranak satu ini. Di usianya yang semakin matang ujian rumah tangga semakin besar.
Setelah belasan tahun bertahan, banting tulang demi memenuhi kebutuhan keluarga, yang harusnya bukan tugas Alma sebagai istri. Tapi ia lakukan dengan ikhlas karena mendapat suami yang lebih memilih bermalas-malasan daripada mencari pekerjaan. Apalagi setelah tahu, istrinya mendapat gaji yang melebihi cukup, Anton malah ongkang-ongkang tinggal nunggu hasilnya saja.
Kini semua akan menjadi kenangan, Alma sudah bertekad ingin berpisah dan segera mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama dengan bukti-bukti yang kuat.
Sudah tak ada lagi yang perlu dipertahankan, bukan karena Alam tidak sabar. Tapi tidak ada i'tikad baik dari Anton sebagai suami untuk memperbaiki diri. Semakin bertambah usia, kelakuan Anton semakin nggak karuan, apalagi setelah terbongkar perselingkuhannya dengan Heni sahabatnya sendiri.
Alma sudah siap lahir dan batin. Apapun yang terjadi di depan, ia sudah siap melanjutkan kehidupannya tanpa Anton.
Sudah saatnya ia menghirup udara segar, setelah terkungkung masalah yang tak berujung. Berhadapan dengan dua manusia munafik selama ini sangat menguras energinya.
***
BERSAMBUNG...
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
RomansaSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...