BAB 93. MALAM YANG RUMIT

590 34 4
                                    

Malam itu milik Zaini dan Halimah saja, yang lain pada ngontrak. Ibarat sinetron Indosiar wajah keduanya di zoom satu-persatu, trus di kasih efek musik romantis... jeng jeng jeng... Ya, pokoknya gitu deh, othor nggak bisa nulisnya. Heheheee...

Mendengar pertanyaan lelaki yang membuat dadanya berdegup kencang seperti genderang mau perang, Halimah tak langsung bisa menjawab. Wanita yang tak nampak beruban karena sedang mengenakan hijab warna coklat susu itu masih salah tingkah, apalagi genggaman tangan Zaini masih erat meremas jari-jemarinya yang sama-sama mulai keriput.

Tapi usia tak menghalangi rasa di hati masing-masing. Kerinduan yang puluhan tahun terpendam tanpa kabar berita apalagi tatap muka, kini terbayar sudah. Othor bisa merasakan betapa indahnya pertemuan yang tak di sangka-sangka, hingga percikan cinta yang lama padam, kini mulai tersulut kembali.

Apalah dikata, jam dinding pun sepertinya berhenti berdetak. Cicak-cicak di dinding juga ikut tersenyum menyaksikan pertemuan dua insan yang masih menyimpan rasa. Maaf kali ini othor lumayan lebay, hehehee...

Lalu sang pria segera bertanya kembali, "Ha... limah, kamu masih mengingatku???" kedua matanya berbinar menatap wajah sang kekasih yang tak mau membalas tatapannya untuk kali ini.

"Hmm... " Halimah cuma bisa tersenyum manis sambil tertunduk malu, tanda mengiyakan pertanyaannya.

'Kamu masih seperti yang dulu, Halimah. Kecantikanmu tetap sama tak berubah, Sayang.' bisik Zaini dalam hati sambil menelan salivanya.

Akhirnya Halimah tersadar akan posisi dirinya saat ini, ia berusaha melepas genggaman tangan Zaini dengan halus. "Ma... maaf, ya." Ucap Halimah sembari menarik tangannya secara perlahan.

Dan dengan terpaksa Zaini membiarkan tangan mantan terindahnya itu terlepas dari genggamannya. Padahal dalam hati, ia tak ingin membiarkan Halimah lepas lagi seperti dulu.

Lalu Halimah beralih menyapa kedua tamunya yang lain, "Apa kabar, Yuanita?" sapanya dengan senyum yang berusaha ia sematkan di sudut bibirnya.

"Baik, Bu." Jawab Yuanita dengan wajah berseri-seri dan segera menyalami, tak lupa mencium telapak tangan kanan calon mertuanya itu dengan penuh takzim.

"Nah, yang ini pasti adiknya Yuanita." Sapa bu Halimah selanjutnya sambil memandang kagum wajah Erik yang tampan, mirip sekali dengan Zaini saat masih muda.

"Iya, Tante. Saya Erik adik kak Yuanita." Ucap Erik memperkenalkan diri. Ia juga menyalami dan mencium telapak tangan bu Halimah dengan takzim, seperti yang dilakukan kakaknya.

"Putri dan putra pak Zaini cakep-cakep ya." Bu Halimah mencoba mengakrabkan diri dan mencairkan suasana. Padahal dalam hatinya sedang berkecamuk dengan pikirannya sendiri, atas kesalahan terbesar di masa silam.

"Tentu dong, siapa dulu ayahnya, hehehee..." Jawab pak Zaini dengan bangganya sambil tersenyum ke arah bu Halimah.

Beberapa percakapan telah di lalui dengan di selingi canda dan tawa, karena pak Zaini sangat jago beradaptasi dan membawa suasana penuh keakraban diantara mereka.

Akhirnya sampailah pada tujuan kedatangan pak Zaini ke rumah Anton. "Oh ya, gimana nih, jadi kapan kira-kira pernikahan Anton dan Yuanita akan dilaksanakan. Saran ku sih, jangan terlalu lama di tunda, karena mereka sudah saling mencintai, nanti malah jadi bahan gunjingan dan fitnah. Benar kan, Halimah??" Ucap pak Zaini panjang lebar.

Mendengar pernyataan lelaki di depannya, bu Halimah nampak panik dan gelisah. Keringat dingin mulai membasahi keningnya, tatap matanya tak lagi bisa fokus. Mukanya menjadi pucat seketika, tangannya gemetaran tak bisa ia sembunyikan lagi kemelut di hati dan pikirannya.

"Halimah, apa kamu baik-baik saja???" tanya pak Zaini setelah melihat perubahan sikap ibu kandung Anton itu.

Menyadari akan hal itu, Amel yang duduk di sebelah ibunya juga bertanya. "Bu, apa ibu sakit??? Kenapa ibu mendadak gemetaran???" Amel sangat mengkhawatirkan kondisi ibunya saat itu.

Anton yang duduk di sebelah Amel juga menjadi gusar atas perubahan sikap dan keadaan ibunya yang hanya diam seribu bahasa. Lalu Anton beralih duduknya mendekati ibunya dan menggenggam tangan bu Halimah yang berkeringat dingin.

"Ibu... ibu perlu istirahat ya? Sepertinya ibu lagi sakit, mungkin ibu kecapekan?? Aku papah ke dalam ya, Bu??" Pinta Anton yang tak tega menatap wajah ibunya yang nampak makin pucat.

Bu Halimah hanya menganggukkan kepala tanda setuju. Ia mengikuti saran putra kesayangannya itu, karena tak ada pilihan lain.

"Maaf, saya permisi dulu." Pamit Anton sambil memapah ibunya berjalan masuk ke ruang tengah. Bu Halimah nampak lemah, napasnya juga tersengal dan airmatanya tak terasa meleleh di pelupuk kedua matanya.

"Anton, ibu mau duduk di sofa itu saja." Pinta bu Halimah dengan suara lirih.

"Kenapa nggak di kamar saja, Bu. Biar ibu bisa istirahat dengan baik." Jawab Anton nampak heran.

"Di sini saja, Ton." Jawab bu Halimah sambil duduk berselonjor di sofa bernuansa abutua di ruang tengah.

"Aku tinggal dulu ya, Bu. Nggak enak sama pak Zaini dan Yuanita." Ucap Anton sembari membalikkan badan.

"Tunggu, Ton. Tolong panggilkan pak Zaini ke sini. Ibu mau bicara empat mata dengannya." Kata bu Halimah dengan suara bergetar dan lemah dengan mata berkaca-kaca.

"Pak Zaini???" tanya Anton karena tak percaya.

"Iya, Ton." Jawab bu Halimah mempertegas permintaannya.

"Iya, Bu. Aku akan sampaikan pada pak Zaini." Jawab Anton sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Wajah Anton nampak heran dan bertanya-tanya, 'Ada apa sebenarnya antara ibu dan pak Zaini???' bisik Anton dalam hati.

Setelah sampai di ruang tamu, Anton menyampaikan pesan ibunya, "Maaf Pak Zaini, ibu meminta bapak masuk ke ruang tengah. Ibu mau bicara empat mata dengan bapak." Ucap Anton yang nampak gugup, dan ia sudah tak memanggilnya dengan sebutan ayah lagi. Kali ini Anton punya firasat yang kurang baik, dengan melihat gelagat ibu kandungnya dan ayah Yuanita malam ini.

"Hmmm... apa, Ton?? Ada apa???" tanya pak Zaini masih bingung dengan permintaan calon menantunya barusan.

"Bapak di minta ibu ke dalam. Ada sesuatu yang ingin disampaikan ibu, katanya." Anton mengulang lagi permintaannya pada ayah Yuanita.

"Iya... ya, kalo gitu aku permisi mau menemui ibumu dulu, Ton." Jawab pak Zaini sambil berdiri dari duduknya dan melangkah masuk ke ruang tengah.

'Ada apa ini? Kenapa Halimah bersikap aneh?? Ada hal penting apa, sampai aku dimintanya bicara empat mata???' Bisik pak Zaini sembari melanjutkan langkahnya mendekati wanita yang sudah menunggunya di ruang tengah.

Sesampainya di depan sofa, ia menatap bu Halimah dengan heran, "Ada apa Halimah??"

"Duduklah, Zaini. Ada hal penting yang harus kamu ketahui. Sudah saatnya rahasia besar ini aku sampaikan padamu." Ucap bu Halimah dengan suara yang masih lemah dan bergetar.

Kemudian pak Zaini memilih duduk di sofa bersebelahan dengan bu Halimah, yang hanya berjarak semeter saja. Sebenarnya ayah Yuanita itu ingin duduk lebih dekat dengan wanita yang ada di sebelahnya, tapi ia menjaga perasaan anak-anaknya dan anak-anak bu Halimah. Ia tak ingin hubungan spesial di masa lalunya diketahui oleh anak-anaknya, karena waktunya kurang tepat, logikanya seperti itu.

***

BERSAMBUNG

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang