BAB 115. BABY BORN

395 20 6
                                    

Anton yang berada di rumah menemani Putri, tak bisa istirahat dengan tenang. Pikirannya melayang memikirkan Yuanita dan anak yang mau dilahirkannya.

'Bagaimana kondisi Nita saat ini? Apakah sudah melahirkan??' tanya Anton dalam hati.

Ia menatap langit-langit yang ada di ruang tengah, tempat ia tidur bersama Putri. Dalam posisi rebahan diatas kasur, kepala diatas bantal, tapi mata tak mau terpejam.

'Kalau anak yang dikandung sudah lahir, berarti aku akan mengasuh dua bayi sekaligus. Ooo... betapa repotnya hidup ku ini. Apalagi Nita sekarang nggak ada hormatnya sama sekali padaku. Aku nggak ada harganya di matanya. Apapun yang kulakukan selalu salah. Setiap hari kata-kata kasar yang aku dapatkan. Aku memang lelaki yang tak berguna seperti yang dikatakan Nita.' Bisik Anton sepanjang lamunannya malam itu sembari kedua matanya berkaca-kaca.

Perutnya sedari tadi ingin di isi. Akhirnya dengan berjalan tertatih dengan satu kaki, ia melangkah perlahan menuju dapur untuk mencari makanan yang bisa mengganjal perutnya.

Dibukanya tudung saji di atas meja makan, ternyata ada beberapa potong tahu goreng yang sudah kering. Anton terduduk di kursi sambil menikmati makanan seadanya yang ia dapatkan di meja itu.

Kondisi ini sangat berbeda jauh dengan dahulu, saat ia masih tinggal serumah dengan bu Halimah dan Amel. Setiap hari ia makan makanan yang sesuai dengan permintaannya. Karena ibu kandungnya selalu berusaha menuruti kemauannya.

'Ibu, aku rindu kasih sayang mu. Andai engkau tahu kondisi ku saat ini, pasti ibu akan menangis dan nggak tega, Bu. Tapi aku nggak akan cerita apapun tentang kondisi ku saat ini pada mu. Sudah lama aku membuat mu repot. Aku tak bisa memberi mu apa-apa, Bu. Yang bisa ku lakukan hanyalah berusaha menerima keadaan dan selalu tersenyum di depan mu. Agar kamu  merasakan kebahagiaan ku yang sebenarnya tidak terjadi.' Ucap Anton sambil menghabiskan segelas air putih yang ada si genggamannya.

Tiba-tiba terdengar nada panggilan dari ponselnya yang ia letakkan di meja dekat TV. Dengan berjalan satu kaki, Anton mencari sumber suara dan mengambil ponselnya.

(Halo, iya Yah.) Sapa Anton

(Ini Yuanita lagi di operasi caesar. Kamu do'akan biar berjalan lancar ya, Ton!) Titah pak Zaini mertua sekaligus ayah kandungnya.

(Ooo... iya. Aku pasti doakan agar anak dan isteri ku sehat semua, Yah.) Jawab Anton.

(Sudah dulu ya. Nanti kalo sudah lahiran aku kabari lagi.) Pak Zaini mengakhiri sambungan teleponnya.

'Apa ada masalah dengan bayi dalam kandungan Nita? Kenapa harus operasi caesar?? Selama ini Nita nggak mau aku antar ke dokter untuk memeriksa kehamilannya. Ia lebih memilih berangkat sendiri, karena malu didampingi suami seperti aku yang cacat ini.' Anton bicara dalam hati dengan keluh kesahnya akhir-akhir ini selama menjadi suami Yuanita.

'Untung saja, Ayah dan Erik bersikap baik pada ku. Jadi aku masih bisa bertahan hidup di rumah ini. Entah sampai kapan kamu seperti ini, Nita??? Padahal aku sangat mencintai mu. Tapi, kamu sudah menganggap ku seperti sampah, tak ada harganya sama sekali.' Gerutu Anton melanjutkan ratapannya.

Beberapa menit telah berlalu. Anton memilih duduk di sofa sambil menunggu kabar dari ayahnya. Tak lama kemudian, panggilan masuk telah muncul di ponselnya.

(Iya, Yah. Bagaimana? Apa anak ku sudah lahir??) tanya Anton antusias.

(Sudah, Ton. Tapi...) Jawab pak Zaini terhenti sejenak.

(Kenapa, Yah. Ada apa dengan anak ku???) tanya Anton makin penasaran.

(Anak mu mengalami kelainan pada jantungnya dan wajahnya juga aneh) Jawab pak Zaini dengan sedih.

(Maksud Ayah, anakku aneh gimana???) Anton makin tak mengerti.

(Entahlah, Ton. Wajahnya nggak seperti bayi pada umumnya. Sekarang ia masih di rawat secara intensif karena detak jantungnya nggak normal) Jawab pak Zaini lebih mendetail.

(Ooo... kasihan anak ku) ucap Anton mengiba.

(Sudah ya, Ton. Aku mau lihat Yuanita dulu) Pamit pak Zaini sembari menutup panggilan teleponnya lagi.

"Ayah, aku nggak mau punya anak seperti itu. Aku malu, Ayah!" Ucap Yuanita ketika pak Zaini sudah menemani di dekatnya.

Pak Zaini tak menanggapi ucapan anaknya itu. Ia juga kaget dengan melihat sekilas wajah cucunya yang berjenis kelamin perempuan itu.

"Titipkan ke panti asihan aja, Ayah. Aku jijik melihatnya. Aku nggak mau menggendongnya. Lebih baik anak itu mati, daripada bikin malu keluarga kita." Yuanita tergugu-gugu mengucapkan kalimat demi kalimat kekecewaan dari mulutnya.

"Nita, tenangkan dirimu dulu. Jangan menangis seperti itu. Nanti kita cari solusi yang terbaik ya!" Jawab pak Zaini mencoba menenangkan putrinya yang sudah frustasi melihat bayi yang baru dilahirkannya.

"Ini semua gara-gara Anton!!! Andai aku nggak hamil duluan, aku nggak akan mau menjadi istrinya. Dasar laki-laki pembawa sial. Aku benci dia! Aku juga benci anak Anton!!!" Tangisan istri Anton itu semakin menjadi sambil mengumpat sana-sini sepuasnya.

Pak Zaini memegang pundak Yuanita dengan lembut, mencoba mengendalikan emosinya yang meledak-ledak. "Sabar Nita... kamu boleh marah sepuas mu, tapi ini di rumah sakit. Jadi tahan dulu, biar nggak jadi pusat perhatian paramedis dan pasien di sini. Apa kamu nggak malu, Nita." Nasehat pak Zaini berusaha bijak.

"Aku pengen cepet pulang tanpa bawa anak sialan itu. Tinggalin saja dia di sini, biar di rawat sama orang yang mau. Aku nggak bisa bayangkan harus menggendong, menyusui dan merawat anak menjijikkan itu setiap hari. Aku nggak mau, aku nggak mau, Ayah!!!" Sekali lagi Yuanita meronta dan menangis tersedu-sedu sambil sesekali meremas bantal yang ada di bawah kepalanya, untuk melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya.

Tiba-tiba ada seorang perawat menghampiri Yuanita dan berkata, "Bu Yuanita, sebentar lagi anak ibu akan di bawa kemari untuk mendapat ASI eksklusif. Selain sebagai nutrisi utama bagi bayi juga merupakan Kolostrum atau ASI yang pertama kali keluar mengandung immunoglobulin A yang berfungsi melindungi bayi dari serangan kuman. Immunoglobulin A memberikan perlindungan terhadap organ tubuh bayi yang rentan terhadap kuman, seperti usus, hidung, dan tenggorokan."

Yuanita terdiam mendengar penjelasan perawat itu. Ia mau menolaknya, tapi dengan alasan? Apa harus mengatakan yang sebenarnya, kalau ia malu punya anak seperti monster itu?? Jelas nggak mungkin.

"Ibu Yuanita sudah siap kan?? Saya akan segera membawa anak ibu kemari." Ucap perawat dengan ramah.

Yuanita meringis mendengar pernyataan terakhir perawat itu. Andai ia bisa lari, pasti ia memilihnya. Tapi, tubuhnya masih lemah dan jahitan pada perutnya masih terasa sakitnya.

"Nita, kamu harus terima kenyataan ini dengan lapang dada. Semua ini sudah takdir darinya, Nak. Kamu ingatkan kata-kata ayah sebelum kamu nikah sama Anton. Resiko terbesarnya adalah punya anak cacat. Apa kamu masih ingat, Nita?? Jadi kamu harus bisa ikhlas." Titah pak Zaini dengan hati-hati, agar Yuanita tak bertambah berontak dengan keadaannya saat ini.

***

BERSAMBUNG

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang