BAB 127. BIANG GOSIP

298 16 1
                                    

KUKURUYUUUUK...

Suara merdu ayam jantan membangunkan para manusia untuk melanjutkan perjuangan di dunia ini. Tak boleh bermalas-malasan, selagi ada kesempatan jangan tunggu hingga jadi kesempitan.

Selagi cucunya belum pada bangun, bu Halimah gegas bangun pagi dan menjalankan aktifitasnya seperti biasa. Persiapan masak di dapur menjadi prioritasnya. Langkahnya terhenti mengecek isi dompet yang mulai menipis. Tapi masih cukup sampai akhir bulan ini, jadi ia masih nampak tenang kembali.

'Mumpung masih pagi dan cucu-cucu nyenyak tidurnya, aku mau belanja dulu ke warung bu Kokom. Persediaan bahan lauk-pauk dan sayur, kebetulan habis semua.' Bisik bu Halimah sambil melihat pantulannya di cermin untuk membetulkan hijabnya biar tampak rapi.

"Bu, mau kemana? Masih gelap sudah rapi?" tanya Amel yang baru saja keluar dari kamar akan melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi.

"Ibu mau ke warung bu Kokom sebentar. Bahan-bahan di kulkas pada habis semua, Mel. Oh ya... nitip Putri dan adiknya ya, barangkali bangun selagi ibu belum pulang belanja." Jawab bu Halimah sambil tersenyum lega, melihat Adel ternyata sudah bangun. Jadi bu Halimah tak lagi tergesa-gesa meninggalkan kedua cucunya saat belanja.

"Iya, Bu." Jawab Amel singkat.

Hawa dingin masih mendominasi pagi yang agak gelap itu, hingga bu Halimah merasa kedinginan dan menyilangkan kedua tangannya di dadanya. Sedikit pusing di kelapanya sejak semalam tak dirasakannya, demi terpenuhinya kebutuhan makan hari ini di keluarganya.

Tak berapa lama, sampailah ia di warung bu Kokom yang sudah mulai ramai. Di sana sudah ada ibu-ibu pelanggan yang datangnya lebih awal. Mereka sedang asyik pilih ikan, daging, telur, tahu, tempe atau banyak pilihan lainnya. Tak lupa sayur mayur yang masih segar, warnanya yang hijau bisa menggiurkan yang belanja di sana. Ada kangkung, bayam, sawi, selada, brokoli, wortel dan lain sebagainya.

Di sela-sela keasyikan mereka berbelanja, bergosip menjadi bumbu yang membuat betah mengakibatkan acara belanja makin lama dan nggak pulang-pulang. Seperti yang tengah hangat dibicarakan berikut ini.

"Eee... aku kemarin tanya ke temanku yang bekerja sebagai dokter di salah satu rumah sakit, kalau ada bayi yang lahir dengan wajah aneh itu bisa disebabkan karena apa sih? Jawabannya membuat aku kaget, Bu Nana." Ucap bu Joko dengan muka khas julidnya.

"Emang apa jawabannya? Jangan bikin penasaran dong, bu Joko?" tanya bu Nana balik.

"Dengar nih semuanya ya, ternyata salah satu penyebab bayi berwajah aneh nggak seperti bayi pada umumnya, itu karena orangtuanya sedarah alias masih saudara dekat, bisa jadi terlalu dekat atau adik kakak." Ucap bu Joko yang didengarkan seluruh ibu-ibu di warung bu Kokom yang memang tak begitu luas tempatnya. Otomatis suara lantang bu Joko bisa jelas si dengar oleh mereka.

"Hah... Apa??? Adik kakak??? Apa Anton dan istrinya masih saudara dekat ya???" Sahut bu Kokom ikutan nimbrung.

"Bisa jadi, Bu. Kita semua kan nggak tahu. Tapi, aku tahu dengan jelas malam itu, kalau anaknya Anton wajahnya aneh dan menyeramkan, hiiii..." Bu Sri menimpali dengan bergidik membayangkan.

Saking asyiknya mereka bergosip, hingga tak menyadari ada bu Halimah yang sedari tadi mendengarkan dengan jelas pembicaraan mereka. Bu Halimah tak bisa berkata apa-apa, ia memilih diam dan bersikap seolah tak mendengar saja.

"Eee... bu... Ha... limah. Mau belanja apa Bu, silahkan!" Sapa bu Kokom gugup, melihat bu Halimah sudah berdiri masuk ke warungnya dengan muka masam.

Serentak ibu-ibu yang sedang bergosip mengerem mulut ember mereka. Melihat kedatangan bu Halimah yang tak di sangka, membuat suasana warung mendadak sunyi tak ada suara hingga beberapa menit.

"Ini bu Kokom, aku mau beli sayur sop, telur setengah kilo, tempe, dan bumbu-bumbu ini. Totalnya berapa ya?" Jawab bu Halimah yang nampak tergopoh-gopoh dalam memilih lauk-pauknya. Karena wanita tua itu merasa, semua mata yang ada di warung bu Kokom sedang memperhatikan gerak-geriknya.

"Total tiga puluh ribu, Bu. Mau nambah mana lagi, bu Halimah. Kenapa terburu-buru sih?" tanya bu Kokom dengan ramah.

"Iya, bu Kokom. Biar cepet pulang dan langsung masak. Ini saja, nggak ada tambahan lagi." Jawab bu Halimah dengan sedikit senyum yang dipaksakan.

***

"Tiara, Angga. Nanti sore habis maghrib ikut papa jenguk anaknya papa Anton ya! Nggak lagi sibuk, kan?" Tanya Yunan yang sedang duduk di ruang tengah menikmati secangkir kopi susu kesukaannya.

"Iya, Pa. Aku akan temani papa." Jawab Angga.

Sementara Tiara belum ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Nampak dari wajahnya ia tak tertarik dan cuek saja.

"Tiara, apa kamu nggak mau ikut?" tanya Yunan kembali sambil memperhatikan wajah murung gadis itu.

"Hmm... Apa mama juga ikut, Pa?" tanya Tiara balik.

"Kali ini mama nggak bisa ikut, karena mama baru saja melahirkan belum selapan, jadi pamali kalau keluar rumah. Gimana, apa kamu sibuk, Tiara?" tanya Yunan menegaskan.

"Hmm... aku... aku malas ketemu papa Anton. Maaf ya, Pa." Jawab Tiara sambil meminta maaf.

"Kenapa, Tiara. Apa kami nggak kangen sama papa Anton? Pasti papa Anton senang sekali kamu bisa datang ke rumahnya." Tanya Yunan ingin tahu alasannya.

Tiba-tiba Alma muncul sambil menggendong Devan yang baru saja di susui dan tertidur di gendongannya. Alma berjalan mendekat dan mendengar pembicaraan mereka.

"Ti, kamu ikut ya! Masak Angga ikut, kamu malah nggak ikut, Nak? Apa nggak kasihan sama papa Yunan, berdua saja sama Angga. Nggak lama kok, paling nggak sampek sejam sudah pulang." Titah Alma menasehati anak gadisnya yang nampak murung sedari tadi.

"Aku malas ketemu papa Anton." Jawab Tiara dengan suara lirih.

"Coba Tiara lihat dari sisi lain. Jangan lihatnya karena papa nikah lagi, trus timbul rasa benci kayak gini. Bagaimana pun juga papa Anton tetaplah papa kandung Tiara, tidak bisa digantikan oleh siapa pun. Papa Yunan baik, tapi bukan papa kandung mu, Nak. Kalau kamu ke sana dan melihat keadaan papa Anton yang sekarang, pasti kamu nggak benci lagi. Semoga dengan melihat kamu datang trus ketemu papa Anton, kamu makin kenal dan nggak benci lagi. Papa Anton juga makin mengenal anak gadisnya yang makin cantik ini." Nasehat Alma panjang lebar agar Tiara tak selamanya membenci papa kandungnya.

"Gimana, Tiara? Jadi ikut kan?" tanya Yunan sambil tersenyum dan nada suara bijak.

"Iya deh, Pa. Aku akan nemenin papa ke sana. Tapi, jangan lama-lama ya! Aku lagi ada tugas, biar nggak kemaleman waktu mengerjakan." Jawab Tiara sambil menatap teduh ke arah papa Yunan yang sudah ia anggap sebagai orang tuanya sendiri.

"Iya, Tiara. Papa janji, nggak akan lama kok." Jawab Yunan sambil menikmati tegukan terakhir kopi susunya.

***

BERSAMBUNG

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang