BAB 107. DEPRESI

361 17 2
                                    

Suasana ruang rawat inap yang ditempati Anton mendadak hening, setelah mendengar pernyataan dari sang pasien barusan.

Dua wanita yang setia menemaninya di ruangan itu memancarkan wajah tegang dan bingung. Tegang karena nggak bisa dibayangkan reaksi Anton setelah tahu yang sebenarnya. Bingung karena nggak tahu harus mengawali dari mana untuk menjelaskan dan sedapat mungkin tidak menghancurkan mental Anton.

"Sakit sekali kaki kanan ku." Ucap Anton dengan meringis dan kening yang mengkerut menahan nyeri di kaki kanannya.

Sejurus kemudian, ia menatap selimut berpola garis-garis biru yang menutupi sebagian tubuhnya. Lalu sedikit demi sedikit ia tarik ke atas dengan perlahan.

Jantung Amel dan Yuanita berdegup kencang, makin kencang dan... kedua bola matanya menatap tegang ke arah selimut yang sebagian masih menutupi tubuh kakaknya.

Lalu Anton ingin di bantu untuk duduk di sandaran brangkar. "Mel, tolong bantu aku duduk, biar punggung ku nggak kaku." Ucap Anton.

"Ooo... i... iya, Mas." Jawab Amel terbata-bata sambil menghela napas panjang untuk mengurangi kepanikannya. Lalu adik Anton itu memindahkan bantal dengan posisi berdiri di sandaran dan memegangi pundak kakaknya agar bisa duduk dengan tegak dan nyaman.

"Nah... gini kan lebih enak. Hmm... Nita, bisa tolong sibakkan selimut yang menutupi kaki ku. Ini sudah siang, biar nggak terlalu gerah." Pinta Anton dengan senyum manisnya. Berharap mendapat perhatian dari wanita yang masih menempati relung hatinya.

DEG.

Seketika jantung Yuanita serasa berhenti berdetak. 'Apaaa??? Aku yang di minta membuka selimut di kaki Mas Anton. Oooh... Tuhaaan, gimana ini??? Aku nggak sanggup. Kenapa harus aku yang kau minta, Maaas...???"

"Nita, apa kamu mau menolong ku??" Pinta Anton sekali lagi, karena tak ada reaksi dari wanita yang dimintai tolong.

"Aaa... eee... i... iya, Mas." Jawab Yuanita dengan muka sangat tegang.

Amel bisa merasakan kepanikan yang dirasakan Yuanita, ia sampai memejamkan kedua matanya dan sedikit memalingkan wajah, nggak tega melihat kondisi kaki kanan kakaknya yang sebentar lagi akan di buka oleh Yuanita.

'Kuatkan tangan ku, Tuhaaan...' jerit Yuanita dalam hati. Ia pun mendekat ke selimut yang menutupi kaki sang kekasih. Berkali-kali ia menarik napas panjang dan menatap wajah Anton dengan sedikit senyum yang dipaksakan.

Lalu dengan hati-hati jari-jemari Yuanita meraih tepi selimut dan siap untuk di sibakkan. Pelan... pelan... akhirnya ia berhasil membuka selimut itu dengan hati yang teriris-iris. Ingin rasanya ia menangis, tapi sedapat mungkin ia tahan agar Anton tak makin sedih melihatnya.

DUAAARRRR

Kedua bola mata Anton membulat sempurna, menatap pemandangan yang tak pernah ia sangka sepanjang hidupnya. Dunia serasa runtuh seketika, mulutnya menganga dan napasnya tersengal-sengal, tak percaya dengan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya saat ini.

Kepalanya semakin pusing, kedua tangannya bergetar hebat. Beberapa detik ia tak bisa mengucapkan kata-kata. Lidahnya serasa kelu, tenggorokan mendadak kering, ingin rasanya ia mati saja.

Beberapa detik kemudian, Anton meneriakkan kalimat yang mengiris hati. "Ke... napa dengan ka... ki... ku????" suaranya bergetar hebat, menyiratkan kepiluan yang teramat dalam.

Amel hanya bisa diam seribu bahasa, Kata-kata yang sudah disusun sebelumnya untuk menghadapi pertanyaan kakaknya ini, mendadak buyar seketika. Air mata di kedua matanya mengalir begitu saja, mewakili kesedihan dalam hatinya.

Sedang Yuanita mendekati tangan Anton dan berusaha menguatkannya dengan sisa tenaganya. Matanya berkaca-kaca menatap wajah Anton yang nampak syok berat.

"Mas... sabar ya...!" Ucap Yuanita menggenggam jari-jemari tangan kanan Anton.

"Tidaaaaaaaaaakkkkk," teriak Anton dengan suara keras, wajahnya memerah dan kedua tangannya bergetar.

"Mas... Antooon... tenangkan dirimu, Maaas...!" ucap Amel dengan tangisnya yang sesenggukan sambil mengelus pundak kakaknya berkali-kali.

"Kenapa ini bisa terjadi pada diri ku????? Kalau Tuhan menghukum ku. Kenapa harus seperti ini????? Buat mati saja aku, Tuhaaaan...!!!!!" teriak Anton sejadi-jadinya. Ia meronta dan berusaha melepas genggaman tangan Yuanita.

"Aaaaahhh..." Yuanita terpental ke belakang, mendapati hempasan tangan Anton yang sangat kuat.

"Tenangkan dirimu, Maaaas...!!!" Ucap Amel sambil menangis dan memeluk erat tubuh Anton yang berusaha meronta di atas brangkar.

Melihat keadaan yang tidak kondusif, Yuanita buru-buru menghubungi perawat lewat telepon sesuai petunjuk dengan napas tersengal-sengal. "Halo... tolong bantu kami, Mas Anton nggak bisa dikendalikan, Sus...!"

"Iya... saya akan segera ke sana." Jawab perawat jaga dengan tegas.

Beberapa saat kemudian datanglah dua orang perawat dengan membawa alat injeksi yang siap diberikan pada pasien. Keduanya dengan cekatan memegang tubuh Anton yang masih tak kendali dan meronta.

Lalu dengan hati-hati, seorang perawat menyuntikkan obat pada tubuh Anton agar bisa tenang kembali. Anton masih bernapas dengan kasar, wajahnya juga tegang dan memerah, syok yang sangat berat menerpanya kembali.

"Kami sudah selesai menyuntikkan obat penenang. Untuk sementara pak Anton bisa istirahat kembali. Memang semua pasien akan mengalami syok berat ketika sadar keadaannya sudah tak seperti sebelumnya. Mohon dengan sabar mendampingi dan menyenangkan hatinya, biar bisa mengurangi depresinya." Ucap salah satu perawat dengan senyum ramah.

"Iya, Sus. Terima kasih. Nanti kalau ada apa-apa, kami akan hubungi kembali." Jawab Amel dengan keringat dingin yang membasahi wajahnya.

"Sama-sama. Kami permisi dulu." Pamit kedua perawat sembari membalikkan badan dan meninggalkan ruangan itu.

Kini ruangan bercat warna putih itu kembali hening. Amel dan Yuanita lalu menata bantal diatas kepala Anton senyaman mungkin, agar bisa istirahat dengan baik.

Beberapa menit kemudian, Yuanita mulai bersuara, "Mel, kenapa ini bisa terjadi pada Mas Anton, ya??? Kenapa Tuhan menghukumnya seperti ini???" tanya Yuanita dengan wajah sedih.

Mendengar pertanyaan seperti itu, Amel hanya bisa bernapas panjang lalu berkata, "Aku juga punya pikiran gitu, Nita. Apakah karena Mas Anton selama ini terlalu banyak menyakiti istri-istri sebelumnya?? Hingga Tuhan memberi peringatan seperti ini." Jawab Amel dengan sedikit berbisik, agar tidak mengganggu istirahat kakaknya.

Kini kedua wanita itu duduk bersebelahan di sofa ruangan itu. Sambil menunggu dan mengamati Anton yang masih tertidur pulas.

"Pasti ibu menunggu kabar tentang Mas Anton. Apa sebaiknya aku memberitahunya sekarang ya???" tanya Amel minta pertimbangan Yuanita.

"Sebaiknya kamu kabari secepatnya, biar ibu tidak kepikiran terus. Tapi tentang kaki kanan Mas Anton, sebaiknya jangan diberitahukan dulu. Khawatirnya, ibu akan sangat terpukul dan belum siap menerimanya." Jawab Yuanita dengan sesekali menatap langit-langit ruangan bernuansa putih itu.

"Lalu, kalau ibu tanya, kenapa Mas Anton mesti dirawat di rumah sakit? Aku harus bilang apa, Nita??" tanya Amel kembali.

"Hmm... jawab saja, ada beberapa luka yang harus di obati." Jawab Yuanita memberi solusi.

"Baiklah." Ucap Amel dengan menghela napas kasar.

Lalu Amel mencari ponsel yang ia simpan dalam tas coklat yang ia taruh di meja. Setelah itu ia duduk kembali dan mencari nomor ponsel bu Halimah.

***

BERSAMBUNG

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang