"Ehhemm... Pagi-pagi udah bengong. Awas kesambet lho, Lia!" Kamila ngeledek Dahlia yang sedari tadi kelihatan melamun sembari pandangannya tertuju pada meja dan kursi tempat kerja Anton.
"Tuh... Masih bengong aja temanmu, Mil. Jangan-jangan lagi kesemsem sama si Anton." Tegur Bondan pada Mila yang ada di sebelahnya.
Kamila dan Bondan diam-diam memperhatikan sikap Dahlia yang duduk di depannya. Tapi yang diperhatikan tak tahu akan hal itu. Dahlia tak menyadari dua pasang mata telah mengintai gerak-geriknya sedari tadi.
"Lia, kamu kangen Anton, ya? Kasihan yang lagi jatuh cinta???" Ledek Kamila sambil menoel hidung Dahlia yang masih bengong.
"Eh... Apain sih, Mila? Jadi kaget nih." Dahlia tersentak oleh ulah Kamila. Lamunannya menjadi buyar seketika.
"Sabar dulu, Lia! Pujaan hatimu masih punya dunia sendiri. Dalam memorinya udah nggak ada kamu. Kalau menurut ku sih, mending nyari gebetan baru, daripada nunggu yang nggak jelas gitu. Betul nggak, Ndan?" Kamila mengernyitkan alisnya pada Bondan. Wanita yang sudah menjanda ini suka sekali menggoda Dahlia, sampai teman sejawatnya ini jengkel, baru ia berhenti dan ada kepuasaan tersendiri.
"Mil, Ndan. Siapa juga yang suka Anton. Aku cuma kasihan aja, lihat nasibnya Anton saat ini. Baru aja kerja di sini, eeeh... udah kena amnesia. Bisa-bisa di pecat nanti, kan lama untuk pemulihannya." Jawab Dahlia dengan cukup alasan. Ia berusaha mengelak dikatakan naksir Anton, padahal dalam hatinya sangat berharap.
"Oh... kirain lagi kangen berat. Ternyata malah simpati atas nasib Anton. Yang aku heran, masak sih... seumuran Anton belum punya istri? Jangan-jangan istrinya di sembunyiin atau udah duda kali? Kalo duda cocoknya sama janda. Betul nggak, Bondan???" Ledek Kamila yang sudah setahun menjadi janda. Ia terus-terusan menggoda wanita di sebelahnya hingga mulut Dahlia makin manyun dan mukanya memerah.
"Lia... kamu tuh cantik, masih muda, punya karir bagus. Ngapain sih ngarep sama Anton? Masih banyak lelaki yang naksir sama kamu. Ada Afgan dari staf marketing, Rafi Ahmad dari staf administrasi, trus sapa tuh... yang suka antar makanan ke sini buat kamu, si Rizki Billar itu juga ganteng dan oke. Coba, kamu pertimbangkan tiga cowok single yang udah jelas suka sama kamu, Lia!?" Bondan yang hafal betul cowok-cowok yang mendekati rekan kerjanya itu mencoba mempengaruhi.
"Suka-suka aku dong. Kalo aku cuma suka Mas Anton gimana? Urusan hati kan nggak bisa di paksa." Jawab Lia tegas, kedua matanya kembali berbinar-binar saat mengucapkan nama lelaki pujaannya.
"Ciyeee... akhirnya ngaku juga, Lia. Ha ha ha... kena deh," kembali Kamila menoel hidung teman wanitanya itu dengan rasa puas.
"Mmmm... Maksudku bukan suka, tapi...???" Gegas Lia mencoba beralibi untuk menutupi rasa malunya, yang tak sadar telah keceplosan mengungkapkan perasaannya tentang Anton.
"Tapi... sayang dan cinta, ha ha ha...?!" Sahut Kamila sambil tertawa terbahak-bahak. Ia makin berhasil menjebak Dahlia yang mati kutu.
"Ha ha ha..." Bondan ikutan tertawa mendengar kepolosan Dahlia yang mudah sekali mengungkapkan perasaan yang sebenarnya pada Anton.
Muka Dahlia tak bisa bohong lagi. Memerah karena malu campur rasa cinta yang mulai tumbuh di hatinya.
***
Sementara di rumah Anton, telah diadakan syukuran pupak puser untuk anaknya, sekaligus pemberian nama.
Tradisi pupak puser adalah tradisi dimana si bayi mengalami pelepasan tali pusarnya dan akan diadakan sepasaran pupak puser. Sepasaran menjadi salah satu upacara adat Jawa yang dilakukan setelah lima hari sejak kelahiran bayi.
Ada tumpeng dan jajan pasar sudah disiapkan dalam syukuran sederhana itu. Semuanya telah siap dan Heni juga sudah menyiapkan nama untuk anaknya tercinta, walau tanpa persetujuan Anton. Karena lelaki yang masih amnesia itu, tak mengakui anak Heni sebagai darah dagingnya.
"Di kasih nama siapa cucuku ini, Hen? Kalo nunggu Anton pulih, ya... kelamaan. Jadi kamu harus menyiapkan nama yang baik untuknya. Karena nama bukan sekedar panggilan saja, tapi nama merupakan doa untuk kebaikan sang anak." Tutur bu Halimah memberi wejangan pada menantunya.
"Iya, Bu. Aku sudah siapkan nama yang sangat baik. Namanya Putri Maharani, yang bermakna anak perempuan yang memperjuangkan keadilan. Dengan harapan anakku akan selalu mendapat keadilan dimanapun ia berada." Jawab Heni dengan senyum penuh harap.
"Sebuah nama yang indah. Semoga harapan mu tercapai. Dan kelak cucu ku tumbuh menjadi anak yang bisa membanggakan orang tuanya." Harap bu Halimah sambil menimang bayi yang ada di pangkuannya dengan rasa kasih dan sayang.
Sesaat kemudian... datanglah Adel dengan tergopoh-gopoh menghampiri bu Halimah dan Heni.
"Bu, semua tetangga yang di undang udah datang. Apa acaranya bisa di mulai? Kalau sudah, Heni dan bayinya segera ke ruang tamu. Karena sudah di tunggu." Ulas Adel pada dua wanita yang ada di depannya.
Mereka bertiga gegas melangkah ke ruang tamu, tak lupa Heni menggantikan menggendong bayinya dari tangan bu Halimah.
Lalu segera duduk bersama para undangan yang semuanya terdiri dari ibu-ibu tetangga terdekat, ada 20 orang sesuai rencana. Diantaranya ada bu Joko dan bu Nana si tukang gosip.
"Mari kita mulai acara syukuran ini dengan bacaan Fatihah" Bu Muslimah memimpin acara, yang di pandang paling fasih dalam memimpin doa.
Semua yang hadir khusuk melantunkan bacaan Fatihah. Selanjutnya acara dilanjutkan dengan pemberian nama pada bayi.
"Anak dari Pak Anton dan Bu Heni ini di beri nama Putri Maharani, nama panggilannya Putri." Terang bu Muslimah pada para undangan.
Semua yang hadir mendengarkan dengan baik, kecuali dua wanita si tukang gosip.
"Bu Nana, benar kan... dugaanku?" Bisik bu Joko di telinga bu Nana, yang duduk bersebelahan.
"Apa Bu Joko, aku nggak ngerti maksudnya?" Bu Nana menimpali dengan pertanyaan yang ia tak mengerti.
"Itu lho Bu, soal hitungan hamilnya istrinya pak Anton. Kan belum genap sembilan bulan dari pernikahannya, cuma selisih enam bulan, bayi itu sudah lahir. Gimana tuh, Bu Nana??? Apa nggak ajaib tuh, namanya???" Si biang keladi, bu Joko mulai menyulut apinya. Api gosip. Di gosok makin sip.
"Bener juga, Bu Joko. Aku jadi ingat sekarang. Pas kita ngelayat meninggalnya suami bu Halimah, ayahnya Anton. Bu Joko pernah punya pikiran gitu ya? Berarti bener, sebelum nikah, si Anton udah kasih DP dulu." Sahut bu Nana masih dengan bisik-bisik.
"DP??? Apaan, Bu? Dewi Persik???" Tanya bu Joko mulai mancing perkara.
"Aduh, Bu Joko ini. DP... Down Payment, uang muka, Bu." Kata bu Nana dengan muka kecut.
"Hmm... Kayak kredit sepeda motor aja ya, Bu Nana. Dan denger-denger juga, Pak Anton sampek sekarang nggak mengakui bayi itu sebagai anaknya. Kasihan ya... nasibnya?" Semakin melebar bisik-bisik antara bu Joko dan Bu Nana. Karena dua emak-emak ini seperti tumbu dan tutupnya, klop.
"Aku sih nggak kasihan, Bu Joko. Itu mah... karma namanya. Masak sih, nggak denger, Bu. Kalo Anton tuh, selingkuh dengan Heni, trus Alma mergoki. Jadinya cerai deh. Padahal Heni itu sahabatnya Alma. Dan Alma sudah banyak menolong Heni. Tapi malah dibalas dengan penghianatan. Dasar wanita nggak tau diri." Cibir bu Nana menjelaskan dengan gamblang.
"Ooh... jadi bener kabar yang itu ya, Bu Nana. Kalo gitu, aku nggak jadi simpati lagi, Bu. Biar tau rasa tuh, Heni. Emang enak ngerebut suami orang???" Jawab bu Joko dengan ketus dan memonyongkan mulutnya.
***
BERSAMBUNG...
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
RomanceSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...