Siang semakin terik, panas matahari menyinari seluruh alam semesta. Terkadang sengatan panasnya mempengaruhi emosi insan penghuni bumi. Karena tak tahan dengan segala ujian dalam hidupnya.
Itulah terjadi pada Heni siang ini, serasa kepalanya hampir pecah memikirkan masalah yang bertubi-tubi menerpanya. Sebenarnya miris nasib wanita ini, sudah tak punya orang tua dan saudara, suami menceraikannya dengan satu anak yang masih sangat kecil, dapat tuntutan dari yayasan tempatnya bekerja, juga cicilan sepeda motor belum dibayarnya. Tapi, itulah buah dari perbuatannya sendiri. Apapun yang kita tabur, maka demikian lah yang akan kita tuai.
Mau berkeluh kesah ke mana? Ia sudah tak punya sahabat lagi seperti dulu. Dengan sifatnya yang selalu ingin menang sendiri, membuatnya terpuruk dan tak ada yang mau menjadi teman dekatnya.
'Apa yang harus kulalukan? Apakah aku sebaiknya menerima tawaran Mas Anton untuk menandatangani surat perceraian?? Kalau aku menyetujuinya, hidup ku akan terjamin. Semua hutang dan tanggungan ku akan di lunasi oleh Mas Anton, itu janjinya. Tapi aku masih mencintai suami ku. Lalu jika aku menolak permintaannya, bagaimana nasib ku nanti??? Pasti aku akan masuk penjara, nama baik ku akan rusak selamanya. Di dalam penjara pun pasti aku mendapat perlakukan yang nggak baik, seperti berita-berita yang pernah ku lihat di medsos. Aku harus bagaimana???'
Heni bergelut dengan pikirannya sendiri, pilihannya bagai makan buah simalakama. Raut mukanya nampak kusut tak secerah dulu, ia tak bisa tidur beberapa hari ini.
Tiba-tiba terdengar ketokan pintu di kamarnya.
Tok... tok... tok...
"Hen... Heni, " terdengar suara bu Halimah memanggil dari balik pintu.
Sambil berjalan lemah, Heni membuka pintu kamarnya dengan pelan. "Iya, Bu. Ada apa?" tanya Heni.
"Seharian ini, ibu lihat kamu nggak keluar kamar sama sekali. Apa kamu sakit, Hen?" Bu Halimah masih perhatian pada menantunya itu.
"Nggak apa-apa, Bu. Aku nggak sakit." Jawab Heni sambil menundukkan kepalanya. Dan tanpa ia sadari matanya mulai nanar menahan air mata karena ingat akan masalah yang menumpuk dalam pikirannya.
"Kamu belum makan kan, Hen. Makan dulu, gih! Kamu kan menyusui, kalo nggak makan, kasihan juga anakmu." Titah bu Halimah sambil menyusap lembut pundak wanita yang berdiri di depannya.
"I...iya, Bu." Heni mengucapkannya dengan terisak, tangisnya sudah tak bisa di bendung lagi. Lelehannya menetes di kedua pipinya.
"Ada apa, Hen. Kenapa kamu menangis? Apa ada masalah atau kamu sakit??" tanya Bu Halimah sembari menatap heran pada wajah menantunya.
"Apa ibu tahu, kalo Mas Anton mau menceraikan aku?"
Mendengar pertanyaan Heni, bu Halimah menghela napas panjang sambil menganggukkan kepalanya.
"Kamu makan dulu, Hen. Setelah makan, baru kamu bisa cerita lagi masalahmu." Kata bu Halimah sambil sedikit tersenyum.
Heni pun tanpa menjawab, tapi ia sudah keluar kamar dan melangkah lemah menuju meja makan. Memang tak bisa dipungkiri, perutnya sangat lapar, karena dari semalam ia tak mengisi perutnya sama sekali. Tapi rasa lapar itu tak dirasakannya, karena ia lebih fokus pada yang lain.
*
"Duduk sini dulu, Hen! Ibu ingin bicara sebentar." Ucap bu Halimah yang meminta Heni duduk di sofa tengah depan dirinya.
"Ada apa, Bu?" tanya Heni.
"Apa kamu mau diceraikan Anton seperti kemauannya?"
Mendengar pertanyaan bu Halimah, Heni tak segera menjawabnya, ia menundukkan kepala dan kembali meneteskan air mata.
Sesaat kemudian, Heni menjawab dengan suara bergetar, "aku masih mencintai Mas Anton, Bu. Tapi... sepertinya Mas Anton sudah nggak sayang lagi sama aku."
"Kalau kamu masih mencintai suamimu, perjuangkan pernikahanmu, Hen. Apalagi kamu sudah punya anak." Saran bu Halimah.
"Tapi....." Heni tak melanjutkan kalimatnya.
"Tapi kenapa, Hen," tanya bu Halimah.
"Lebih baik aku menerima keputusan Mas Anton saja, Bu. Biarlah aku mengalah, daripada aku masuk pen..." Jawab Heni yang masih saja tak mau melanjutkan kalimatnya.
"Masuk apa, Hen?" Bu Halimah makin penasaran.
"Hmm... nggak apa-apa, Bu. Aku mau cerai sama Mas Anton saja, daripada aku hidup dengan suami yang sudah nggak sayang lagi sama aku." Heni segera mengalihkan pembicaraan, hampir saja ia keceplosan tentang masalahnya dengan yayasan.
"Beberapa hari ini, kamu nggak pernah masuk kerja, Hen. Apa kamu sudah mengundurkan diri dari tempat kamu ngajar??" tanya Bu Halimah.
"Hmm... hmm... iya, Bu. Aku memilih mengundurkan diri saja, karena ku pikir-pikir lebih baik aku di rumah merawat Putri." Jawab Heni gugup. Ia tak mau wanita di depannya itu tau fakta yang sebenarnya.
"Kalau memang itu sudah menjadi keputusanmu, kamu harus siap dengan segala resikonya, Hen." Ucap bu Halimah.
"I... iya, Bu." Heni tak ingin memperpanjang perbincangan, karena kepala sudah sangat pusing.
"Aku mau nemenin Putri dulu, Bu" Pamit Heni sambil berdiri dari duduknya, berlalu menuju kamarnya lagi.
"Iya, Hen." Jawab bu Halimah sambil memandang wajah menantunya yang murung dan tak bersemangat.
Wanita yang dulu sangat percaya diri hingga cenderung jumawah di rumah itu, kini tak berdaya lagi. Tapi ada sesuatu yang tersirat dalam sorotan mata Heni.
'Kenapa perasaan ku nggak enak ya? Sepertinya Heni sudah tak punya semangat hidup lagi. Makan saja, cuma sedikit sekali, itupun karena aku paksa. Sorotan matanya, menunjukkan keputusasaan dalam hidupnya. Semoga nggak terjadi apa-apa, karena seperti yang dikatakan barusan. Heni lebih memilih berpisah dari Anton, daripada mempertahankan pernikahannya.' bu Halimah bermonolog sambil bersandar di sofa.
***
"Mas Anton, kapan aku kamu kenalkan dengan keluargamu?" tanya Yuanita sambil bermanja di dada Anton.
"Sabar dulu ya, Sayang. Aku masih menunggu waktu yang tepat. Dalam waktu dekat aku pasti mengajakmu ketemu ibu dan adikku." Jawab Anton sambil mencium kening kekasihnya itu.
"Aku udah nggak sabar, Mas. Tapi kamu sungguh-sungguh kan mau nikahin aku? Ayahku juga nanyain terus, Mas. Besok atau lusa ayah dan adikku mau ke sini. Ada keperluan dengan keluarga di sini, jadi sekalian saja." Kata Yuanita.
"Lho... ayah kamu asli orang sini juga ya? Masih punya keluarga di sini ternyata." Tanya Anton kaget.
"Iya, Mas. Ayah ku memang asli orang sini. Awalnya ke Jakarta ingin nyari kerja, ternyata udah nyaman di sana dan ketemu jodohnya di sana juga. Jadi akhirnya menetap di Jakarta." Ulas Yuanita.
"Jangan-jangan ayahmu masih keluarga ku juga??" kelakar Anton sambil tersenyum menatap kecantikan Yuanita.
"Hmm... bisa aja Mas Anton nih. Ayah nggak pernah cerita apa-apa tentang Mas Anton, ya nggak mungkin lah." Sanggah Yuanita sambil tertawa.
"Iya juga ya. Kalau ayahmu kesini, apa aku kamu kenalkan dengan ayahmu, Sayang." tanya Anton.
"Tentu dong, Mas. Mas Anton kan calon menantunya. Ayah juga pengen kenal dengan kamu, Mas." Jawab Yuanita masih bermanja di dekat Anton.
***
BERSAMBUNG...
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
RomanceSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...