BAB 71. SAMPAI PAGI

715 40 2
                                    

Heni tak bisa tidur nyenyak malam ini, ia miringkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan, pikirannya kalut tak karuan. Bagaimana seorang istri tak kan gelisah, menantikan suami yang pamitnya bekerja, tapi hingga pagi menjelang tak pulang-pulang.

Adzan subuh pun bertalu-talu, menandakan waktu malam sudah berlalu. Ayam berkokok bersahut-sahutan, membangunkan seluruh manusia untuk melanjutkan tugasnya di dunia dengan segala ujian.

Ujian kehidupan yang melatih pribadi menjadi lebih dewasa dan makin kuat menjalani hidup, mengurangi keluh kesah, senantiasa bersyukur atas apa yang dikaruniakan Tuhan pada setiap makhluknya.

'Kemana Mas Anton??? Sampai subuh nggak pulang juga??? Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu, Mas???' wajah Heni bermuram durja, merenungi nasib yang makin suram. Mau protes, salah. Mau nurut, juga salah. Yang bisa ia lakukan cuma merenungi nasib yang tak jelas ujungnya.

"Oek... oek... oek..." Lamunan Heni terhenti setelah mendengar tangisan Putri yang terbangun di sebelahnya.

"Iya, Sayang. Nggak boleh nakal ya, Sayang. Jadilah anak yang baik, bisa jadi kebanggaan mama dan papa."

Harapan dan do'a seorang ibu pada anaknya, pastilah yang terbaik. Walau latar belakang orang tuanya tak begitu baik, tapi untuk masa depan seorang anak yang dicintainya, seorang ibu akan rela berbuat apa saja demi kebaikan anaknya. Apakah berlaku juga untuk Heni pada anaknya???

Ini pula yang dirasakan oleh bu Halimah terhadap putra tersayangnya Anton. Semalaman bu Halimah terbangun beberapa kali menanyakan keberadaan kakak Adel. Hati seorang ibu akan tersiksa mendapati putranya yang tak ada kabar, apalagi sampai pagi belum juga ada kejelasan.

"Sampai subuh Mas mu belum pulang, Del? Coba kamu telpon lagi! Ibu kuatir terjadi apa-apa seperti dulu." Bu Halimah tak henti-hentinya memikirkan Anton. Dan Adellah yang akhirnya selalu mendapat tugas menghubungi kakaknya itu.

Baru saja Adel mau menelepon, tiba-tiba terdengar suara sepeda motor berhenti di halaman depan.

"Itu Mas Anton, Bu." Adel hafal betul suara sepeda motor milik kakaknya. Ia gegas beranjak dari duduknya, lalu melangkah cepat menuju pintu untuk menyambut kedatangan Anton dengan beberapa pertanyaan.

Ceklek

Adel membuka pintu depan, ia menatap sosok kakaknya yang masih berjaket kulit hitam dan kepalanya tertutup helm teropong.

Adel tak secepatnya menyapa, ia geram melihat kelakuan kakaknya yang makin hari makin keterlaluan. Kemarin pulang malam, sekarang malah pulang pagi.

Adik Anton itu cuma memandangi kakaknya sambil menyandarkan dirinya di pojok pintu. Ia menunggu apa yang akan dikatakan lelaki yang mulai berjalan mendekati pintu.

"Aku semalam tidur di rumah temanku." Anton mulai membuka percakapan dengan tersenyum tipis.

"Besok nggak usah pulang sekalian!!!" Jawab Adel geregetan.

"Kamu nih. Nggak tau urusan ku." Ucap Anton sambil berlalu.

"Ibu tuh nyariin kamu. Temui ibu dulu, biar nggak kepikiran! Kalo aku sih udah capek lihat kelakuanmu, Mas." Ucap Adel ketus.

"Bilang aja aku sudah pulang. Aku mau istirahat dulu." Anton tak mau ketemu ibunya, ia malah melanjutkan langkahnya menuju sofa panjang ruang tengah.

"Kamu tuh, nggak pernah kasihan sama ibu. Egois!!" Umpat Adel sambil masuk ke kamar ibunya.

Mendengar ucapan adiknya, Anton tak menghiraukannya. Ia sibuk melepas jaket hitam, helm, dan sepatunya. Lalu merebahkan tubuhnya dibatas sofa panjang dan mulai memejamkan kedua matanya.

"Mas mu sekarang dimana, Del?" tanya bu Halimah.

"Lagi tiduran di ruang tengah, Bu. Aku udah capek sama Mas Anton. Sudah, Bu. Aku mau masak dulu. Hari ini aku juga mau masuk kerja lagi. Ibu sudah enakan kan? Tapi nggak boleh kerja berat dulu. Biar nanti aku yang kerjakan setelah pulang kerja." Ucap Adel panjang lebar tapi tegas.

"Iya... ibu akan banyak istirahat, Del." Jawab bu Halimah.

Adel berlalu dari pandangan ibunya, ia melangkah menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.

'Aku tadi dengar suara sepeda motor Mas Anton. Tapi kenapa nggak nyamperin ke kamar? Kemana sekarang?' Heni bertanya dalam hati.

Lalu istri Anton ini mencari tahu dengan keluar dari kamarnya, dan berjalan mencari sosok suaminya. Setelah beberapa langkah, ia berhenti setelah tahu ada Anton yang membaringkan tubuhnya di atas sofa.

'Hmm... ternyata Mas Anton tiduran di sini. Sebenarnya ada beberapa pertanyaan yang harus ku tanyakan padanya. Tapi... aku nggak berani membangunkannya. Bisa-bisa aku di usir dari rumah ini.' Gerutu Heni sambil menatap tajam ke tubuh Anton yang telentang di sofa.

Lalu Heni melangkah menuju dapur, ia ingin membantu pekerjaan Adel di sana. Agar terkesan tidak tinggal makan saja.

"Del, aku yang bersihin piring dan gelas ya?" Heni mencoba memulai percakapan dengan senyum palsunya.

"Tumben!" jawab Adel dengan muka masam.

Setelah itu tak ada lagi percakapan diantara mereka. Hingga acara masak-masak selesai, dan Heni bersiap-siap mau berangkat ke tempat mengajar.

Bu Halimah berjalan tertatih-tatih menuju dapur, tapi langkahnya terhenti sejenak melihat sosok putranya yang tertidur pulas di atas sofa.

'Anton... kamu terlihat sangat capek. Kemana saja kamu semalaman?' Bu Halimah berkata dalam hati, ia hanya bisa bertanya dalam hati.

Lalu ibu kandung Anton ini melanjutkan langkahnya menuju dapur.

"Bu, kita sarapan sama-sama yuk! Kebetulan semua sudah siap." Ucap Adel sambil tersenyum.

"Iya, Del. Hmm... kamu pinter masak juga. Aromanya sedap dari kamar ibu. Jadi lapar pengen sarapan." Jawab bu Halimah sambil menempatkan pantatnya di atas kursi makan.

"Iya, dong. Siapa dulu ibunya??" Adel tampak sumringah mendengar pujian dari ibunya.

Lalu Adel dan bu Halimah mulai menikmati makanan yang ada di piring masing-masing dengan lahap. Tiba-tiba Heni datang dan mendekati meja makan.

"Bolehkah, aku ikut sarapan, Bu?" tanya Heni pasang wajah memelas.

Bu Halimah menoleh sebentar sambil menghela napas panjang. Tapi wanita yang sudah beruban ini tak menjawab pertanyaan menantunya. Ia melanjutkan menghabiskan  sarapannya.

"Kamu lapar juga? Makan aja, tapi besok gantian kamu yang belanja ya! Jadi nggak cuma ikutan makan aja." Jawab Adel sambil melirik ke arah Heni dengan nada ketus.

"Hmm" Cuma itu yang keluar dari bibir Heni. Lalu ia mengambil piring dan mengisinya dengan nasi serta lauk tanpa malu-malu.

Bu Halimah dan Adel mempercepat sarapannya, keduanya nampak jengah dekat-dekat dengan istri Anton itu.

Tapi dasar Heni si muka tembok, ia tak peka dengan situasi di sekitarnya. Menantu bu Halimah itu sangat menikmati sarapannya dengan tanpa merasa terganggu.

Bu Halimah mulai berdiri dari duduknya setelah menghabiskan sarapannya. Adel cepat-cepat berdiri dan memapah ibunya yang masih kesulitan berjalan.

"Ibu minum obat dulu, ya! Obatnya ku taruh di laci kamar, nanti aku ambilkan." Ucap Adel sambil berjalan di sisi ibunya.

Lalu Adel menoleh ke arah Heni sebentar sambil berkata, "Jangan lupa bereskan meja setelah sarapan! Cuci bersih piring dan gelas!" Kata Adel pada iparnya dengan memasang muka masam.

"Iya, Del" Jawab Heni sambil menghabiskan sarapannya.

Setelah bu Halimah dan Adel berlalu, Heni menggerutu dengan muka bersungut-sungut, 'Awas aja kalo aku sudah punya uang. Kamu nggak bisa perintah-perintah aku lagi, Del!!'

Demikian tabiat Heni, tak bisa di kasih kesempatan sedikit saja. Ia akan mencari celah untuk menguasai semuanya dengan segala cara.

***

BERSAMBUNG... 

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang