BAB 128. BUAH BIBIR

331 23 3
                                    

Setelah bu Halimah menyerahkan selembar kertas berwarna merah, lalu bu Kokom memberinya uang kembalian tujuh puluh ribu padanya.

"Ini kembaliannya, bu Halimah." Ucap bu Kokom ramah.

"Makasih ya. Monggo ibu-ibu semua, saya duluan." Pamit bu Halimah dengan senyum yang sangat kelihatan kalau dibuat-buat. Bagaimana mungkin ibu kandung Anton itu bisa tersenyum tulus, sedang hatinya sedang hancur setelah mendengar dan melihat sendiri beberapa ibu-ibu yang juga tetangga dekatnya sedang asyik membicarakan perihal cucunya. Bukan itu saja, nyaris apa yang diungkapkan oleh bu Nana adalah sebuah kebenaran yang selama ini ia tutupi dengan begitu rapi.

Selama perjalanan pulang dengan berjalan kaki, bu Halimah kepikiran terus akan omongan ibu-ibu di warung bu Kokom barusan. Hingga kepalanya mendadak pusing dan matanya berkunang-kunang. Tapi dengan sekuat tenaga, ia melanjutkan langkahnya yang tinggal beberapa langkah saja sudah sampai di rumahnya kembali.

Sambil menenteng belanjaan di kanan kirinya, bu Halimah memicingkan kedua matanya untuk menahan rasa sakit di kepalanya. Untunglah, akhirnya ia bisa menyandarkan pundak dan kepalanya di atas sofa ruang tengah.

'Kenapa kepala ku terasa berat begini dan kedua mata ku menjadi buram. Aduuuh... Kata-kata bu Nana dan bu Joko tadi, terngiang-ngiang di telinga ku. Kalau mereka tahu kalau Anton dan Nita adalah saudara kandung, bagaimana penilaian para tetangga pada diri ku?? Hancur sudah nama baik ku!!' Gemuruh suara hati bu Halimah berkecamuk memenuhi isi kepalanya.

"Bu, kok sudah pulang. Cepat sekali belanjanya. Nggak lagi ngantre ya?" Sapa Amel yang kebetulan lewat di sampingnya.

"Iya, Mel. Kebetulan lagi sepi warung bu Kokom. Jadi ibu cepet belanjanya, nggak usah nunggu ibu-ibu yang lain." Bu Halimah mencoba beralibi dan mengiyakan begitu saja dugaan putrinya.

"Ooo... gitu, Bu. Tapi, kenapa ibu pegang kepala kayak gitu? Apa ibu sakit??" tanya Amel yang heran melihat ibunya yang sedang memijit keningnya sendiri sambil mengernyitkan alis.

"Agak pusing, Mel. Ibu mau duduk sebentar dulu ya. Nanti kalau sudah enakan, ibu bantu kamu masak." Jawab bu Halimah sambil menyerahkan tas kresek isi belanjaan.

"Iya, Bu. Sini aku masak dulu, mumpung bocil-bocil belum ada yang bangun." Ucap Amel sembari menerima belanjaan yang ada di tangan kanan ibunya.

***

Tok tok tok...

"Nita, apa kamu nggak makan? Dari semalam kamu belum makan lho?? Ini ada nasi pecel kesukaan mu." Kata pak Zaini sambil mengetuk pintu kamar putrinya.

Tapi tak ada tanda-tanda pintu akan di buka, bahkan suara si empunya kamar pun tak terdengar.

"Apa kamu nggak lapar? Mumpung nasinya masih anget, Nita??" Pak Zaini kembali mengingatkan pada Yuanita.

Sekali lagi, tak ada jawaban dari dalam kamar. Pak Zaini pun jadi khawatir akan keadaan putrinya yang sejak mendapat tamparan darinya semalam, Yuanita tak pernah keluar kamar lagi hingga pagi ini.

"Nita, apa kamu sakit?? Buka pintunya ya!! Nita!!!" Teriak pak Zaini yang sedang sendirian di rumah, karena Erik sedang keluar rumah setelah sarapan bareng pak Zaini barusan.

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya pintu kamar di buka pelan-pelan.

CEKLEK

"Ada apa sih, Yah? Bentar, aku mau ke kamar mandi dulu." Ucapa Yuanita sambil sedikit berlari, kayaknya ia sedang kebelet dan sudah nggak tahan.

Pak Zaini terdiam melihat anak pertamanya itu akhirnya membuka pintu dan mau menunjukkan dirinya. Apa yang dikhawatirkan ternyata tidak terjadi.

'Syukurlah, Nita baik-baik saja. Ku pikir, kamu sakit, Nita.' bisik pak Zaini dalam hati.

Karena tak tahan menahan lapar setelah insiden tadi malam, Yuanita melangkah ke meja makan dan mencari makanan yang digaungkan oleh ayahnya tadi.

Setelah menemukan yang di cari, ia buka cepat-cepat pembungkus nasi itu dengan cepat, lalu dengan lahapnya ia masukkan suap demi suap nasi pecel kesukaannya.

Kali ini pak Zaini sengaja nggak masak, karena pikirannya kalut memikirkan nasib pernikahan anak juga nasib cucunya yang belum menemukan pemecahannya.

Beda lagi dengan istri Anton, ia nampak baik-baik saja, padahal semalam sedang ngamuk seperti orang gila. Begitulah karakter Yuanita, mudah marah dan mudah kembali ke setelan awal.

Setelah selesai makan seporsi nasi pecel, Yuanita masuk lagi ke kamarnya dengan santai. Tak ada beban apalagi rasa bersalah.

"Nita, kamu mau kemana?" tanya pak Zaini yang masih duduk di ruang tengah.

"Aku ngantuk, Yah. Capek, apalagi semalam aku kurang tidur. Aku tinggal dulu ya!" Ucap Yuanita sejenak ia berhenti melangkahkan kakinya.

"Hmm," Jawab pak Zaini singkat.

***

"Tiara, jadi nggak. Kamu mau main ke rumah sepulang sekolah nanti?" tanya Amora.

"Hmm... kayaknya nggak jadi deh. Di tunda dulu ya, lain kali aja." Jawab Tiara sambil tersenyum.

"Huhh... kenapa nggak jadi sih? Padahal aku udah siapin makanan kesukaan mu lho. Mama yang buatin. Katanya, ini buat Tiara ya, jangan ada yang makan! Nunggu Tiara main ke sini, kita makan bareng-bareng." Ucap Amora kecewa dengan muka masamnya.

"Maaf, Mora. Nanti ada acara dadakan, jadi bukan aku ingkar janji ya. Kemarin, papa Yunan ngajak aku sama Angga mau jenguk anaknya papa Anton. Kalau aku main dulu ke rumah kamu, bisa-bisa aku lupa dengan rencana itu. Kalo main ke rumah mu, nggak mungkin butuh waktu sebentar kan? Pasti mama mu tanya, kok cuma bentar mainnya? Kayak sebelumnya itu kan?" Penjelasan Tiara sambil sedikit terkekeh mengingat mamanya Amora yang selalu melarang Tiara pulang cepat.

"Iya juga ya. Tapi, mama pasti kecewa banget kalo tau kamu nggak jadi main ke rumah hari ini. Apalagi yang satunya, pasti banget banget banget kecewanya." Ucap Amora sambil menghabiskan minuman yang ia pesan di kantin sekolah.

"Siapa??" tanya Tiara berlagak polos.

"Uhuk uhuk..." Amora terbatuk-batuk karena tersedak minumannya sendiri setelah mendengar kata Tiara barusan.

"Eee... kenapa, Mora. Hati-hati kalo minum, sampek keselek gitu!" Ucap Tiara sambil memegangi pundak sahabatnya itu.

"Aduuuh... jangan pura-pura deh. Masak sih kamu nggak merasa, kalau ada sepasang mata yang selalu memperhatikan kamu kalo maen ke rumah ku??" Tanya Amora dengan muka sewot.

"Hmm... aku tau sih, si Boy kan??" Kelakar Tiara mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Heheheee... becanda deh kamu. Itu sih kucing ku, Tiara. Masak Boy ngincer kamu sih? Tikus kali jadi incaran kucing?" Kelakar Amora yang memang asyik menjadi teman ngobrol.

"Untung Gladys nggak masuk hari ini. Kalo dia ikutan bahas masalah ini, jadi gempar nanti. Aku tau sih, sebenarnya kak Arka suka nyuri-nyuri pandang pada ku. Tapi, masak iya kakak mu kecewa kalo aku nggak jadi maen ke rumah?" tanya Tiara penasaran.

"Hmm... kamu nih ya, justru yang paling antusias tuh mas Arka. Setelah aku cerita ke mama, kalau kamu hari ini mau ke rumah, mas Arka langsung tersenyum dan mukanya cerah, secerah mentari pagi." Ucap Amora dengan mata berbinar-binar saking semangatnya.

"Kalo gini, aku jadi nggak enak maen ke rumah mu lagi, Mora." Jawab Tiara menundukkan pandangannya.

"Lho... kenapa???" tanya Amora heran sambil mengernyitkan alisnya.

"Ya... karena aku jadi salah tingkah nih, setelah tau mas Arka ternyata ada-ada sama aku. Sedangkan, aku nggak dibolehin dekat sama cowok, kata Mama." Jawab Tiara dengan kepolosannya.

***

BERSAMBUNG

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang