BAB 75. SEMUA MAKIN JELAS

807 44 8
                                    

(Halo... mbak Ambar)

(Ya, Alma. Ada yang bisa saya bantu?)

(Maaf mbak, saya menanyakan harga kue di sana. Kue donat dan lemper harganya sekarang berapa ya mbak?)

(Kue di sini semua masih dengan harga lama, Alma. Seperti terakhir kamu ke sini, semua serba dua ribu lima ratus)

(Makasih mbak Ambar. Kapan-kapan kalo mau ngadain acara di sekolah, mau pesen di situ ya)

(O... ya Alma. Sama-sama)

Lalu Alma segera menutup sambungan teleponnya dengan menghela napas panjang dan menatap wajah Heni yang mulai berkeringat.

"Semua sudah mendengar suara pemilik toko kue Ambar, kan?? Saya rasa semuanya sudah sangat jelas! Ada pemalsuan nota sekaligus laporan pengeluaran Agustusan yang sepenuhnya di atur oleh bu Heni." Ucap Alma yang tak berkedip menatap tajam ke wajah istri Anton itu.

"Sa... saya bisa jelaskan. Bukan begitu maksudnya." Dengan tangan gemetar Heni masih saja berusaha membela diri.

"Maaf, bu Heni. Benar kata bu Alma, dengan melihat nota, lembaran laporan dan percakapan di telepon tadi. Itu sudah membuktikan kalau bu Heni sengaja memanipulasi keuangan Agustusan untuk kepentingan pribadi." Niken akhirnya tak tahan lagi dengan argumentasinya yang sedari tadi ia tahan.

"Ya, Bu Heni. Dari awal saya juga merasa, kalau banyak kejanggalan yang memang ibu buat untuk mengelabuhi kami. Dan ini nggak bisa dibiarkan. Ibu harus bertanggung jawab sepenuhnya dalam masalah ini.

"Kenapa semua memojokkan aku??? Dengarkan dulu penjelasan ku!!!" Heni kekeh membela diri, ia bangkit dari duduknya. Wajahnya memerah menahan marah dan kesal, tapi kekhawatirannya tak bisa ia sembunyikan. Tubuhnya gemetaran, keringatnya pun bercucuran membasahi wajahnya yang tampak panik.

"Kalau bu Heni masih nggak ngaku atas kebohongan yang sengaja di buat. Maka saya sebagai penanggungjawab di sekolah ini, akan segera melaporkan kecurangan bu Heni. Sekian rapat siang ini. Terima kasih atas perhatian para dewan guru. Selanjutnya kita tunggu tindak lanjut dari pengurus yayasan. Assalamualaikum." Alma dengan tegas menutup rapat dan tak memberi waktu percuma untuk Heni.

Heni tak bisa berkata apa-apa, ia melangkah duduk di bangku dengan lesu. Sementara yang lain meninggalkan ruangan itu menuju ruang guru.

"Sudah jelas bohong, tetep aja ngeyel. Bikin sebel!" Bisik Ida sambil menempatkan pantatnya di sofa panjang ruang guru.

"Iya ya... Bu Alma jangan kasih ampun model orang seperti ini. Nanti jadi sumber penyakit di sekolah." Sahut Niken sambil menatap wajah Alma yang berdiri di depannya.

"Pasti aku akan laporkan secepatnya, agar tak mengganjal perjalanan pendidikan di sekolah ini."

***

Malam berikutnya, Anton masih menginap di apartemen Yuanita. Hubungan mereka sudah tak bisa dipisahkan lagi. Anton makin nyaman dengan wanita muda ini, sedang Yuanita makin sayang dengan lelaki yang selalu menemaninya di tempat itu, apalagi apapun permintaan Yuanita selalu dituruti Anton.

"Aku sudah menelepon ayah ku, Mas. Kapan rencananya mau menemui ayah ku?" tanya Yuanita sambil tersenyum manis penuh harap.

"Minggu depan aku akan menemui ayahmu, Sayang. Aku akan mengajak ibu dan adikku. Segera saja aku menikahimu ya, aku nggak mau ditunda-tunda lagi. Karena aku ingin segera memilikimu seutuhnya, Sayang ku." Untuk kali ini, Anton benar-benar jatuh cinta pada seorang wanita yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tak mau jauh dari belahan jiwanya itu, tak seperti wanita-wanita sebelumnya.

Apa yang dicari Anton selama ini, telah ada di diri Yuanita, itu kata hatinya. Makanya laki-laki yang masih menjadi suami Heni itu tak ingin berlama-lama menunda menikahi wanita idamannya.

"Aku makin sayang kamu, Mas Anton." Ucap Yuanita manja sambil menyandarkan tubuhnya di dada bidang milik lelaki yang duduk di sebelahnya dengan senyum merekah.

"Sini, Sayang. Aku juga makin menyayangimu." Anton memeluk tubuh sexy wanita itu dengan mesra.

Kehangatan dan kemesraan membawanya terbuai dalam hubungan yang melampaui batas seperti sebelum-sebelumnya. Baik Anton dan Yuanita sudah tak ada rasa malu di antara keduanya. Bak gayung bersambut, mereka saling menikmati belaian, sentuhan dan kecupan lembut hingga malam menjelang.

Dan sekali lagi Anton tak pulang, ia semakin jauh melupakan istri dan anaknya yang telah menunggu kepulangannya setiap hari.

***

"Apa mas mu nggak pulang lagi malam ini, Del?" tanya bu Halimah yang sudah semakin sehat badannya, namun banyak pikiran di pikirannya terutama tentang putra satu-satunya Anton.

"Biarin, Bu. Pulang apa nggak, aku sudah nggak peduli. Di telepon juga nggak pernah di angkat, apalagi pesan ku, tak satupun nggak ada yang di balas. Kalo sudah capek dan butuh pertolongan, pasti pulang-pulang sendiri." Jawab Adel jengkel.

"Kemana sebenarnya mas mu itu? Kalo di tanya selalu jawabnya nginep di rumah teman. Mas mu lupa kalo sudah punya istri dan anak. Kalo di tanya lagi, malah nyelonong nggak di gubris. Ibu juga capek, Del." Ucap bu Halimah dengan suara lemah karena putus asa.

"Makanya, Bu. Nggak usah mikirin mas Anton. Kalo ibu mikirin dia, yang ada ibu jadi sakit. Yang repot siapa? Ibu sendiri kan??" Adel berkata dengan muka masam.

"Gimana nggak mikir, Del? Wong mas mu itu anak ibu."

"Iya, Bu. Tapi nggak usah di pikirin terus. Lha mas Anton aja nggak pernah mikir tentang kesehatan ibu. Yang ada di otaknya cuma kesenangannya sendiri. Ya kan, Bu?? Ya sudah, aku sudah ngantuk banget, mau tidur dulu ya, Bu." Pamit Adel sambil membalikkan badan dan meninggalkan kamar ibunya, lalu masuk ke kamarnya sendiri.

'Anton... Anton... Kamu ini sekarang sudah kerja di tempat yang bagus. Punya penghasilan yang lumayan. Tapi masih saja nggak bisa jadi orang bener. Kapan kamu bisa bertanggung jawab pada anak dan istrimu, Ton?? Ibu sudah makin tua, kalo kamu seperti ini terus, siapa yang akan memperhatikanmu, Nak???' bu Halimah bermonolog memikirkan kelakuan putranya yang tak jelas keberadaannya.

*

Heni menatap langit-langit kamar sambil merenungi nasibnya yang semakin terpuruk oleh ulahnya sendiri. Pikirannya fokus pada masalah yang makin pelik di sekolah tempat ia bekerja.

Bukan uang yang ia dapatkan, justru dirinya terancam di keluarkan dari sekolah itu dengan dua alasan. Pertama karena ia bertindak seenaknya sendiri dan melebihi batas ketika menghadapi anak didiknya. Sedang kedua karena memanipulasi keuangan sekolah.

'Apa yang harus ku lakukan untuk lepas dari tuduhan mereka, terutama Alma? Pada siapa aku mengadu masalah ku ini?? Aku sudah tak punya sahabat lagi, aku benar-benar sendiri. Apa aku harus menghilang saja dari sekolah itu, agar aku tidak semakin malu? Kalau besok aku masuk kerja, pasti aku akan dihadapkan pada pengurus yayasan. Lalu aku harus bilang apa?? Karena tuduhan Alma terhadapku itu benar semua. Pikiranku kacau sekarang!!!'

***

BERSAMBUNG... 

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang