BAB 60. SEMAKIN PARAH

917 49 22
                                    

Tiga hari ini Alma berada di kota Malang untuk mengikuti diklat kepala sekolah sebagai perwakilan dari kotanya. Urusan TK. Kuncup Melati diserahkan sepenuhnya pada Niken sebagai penanggung jawab utama dan dibantu lima guru termasuk Ida dan Heni.

Dan hari ini saatnya pembentukan panitia peringatan HUT RI di sekolah itu. Akhirnya setelah diadakan rapat guru dan wali murid atau lebih di kenal dengan istilah paguyuban, terpilihlah Heni menjadi ketua panitianya.

'Aku puas hari ini, guru-guru dan wali murid percaya dengan kemampuanku memimpin acara penting ini. Kebetulan Alma sedang nggak ada tiga hari ini. Aku akan berusaha keras mencari simpati dan pujian dari semua pihak. Pasti dengan begitu, aku akan dipertimbangkan jadi kepala sekolah menggantikan Alma. Lalu langkah selanjutnya, nasib Alma ada di tangan ku, he he...' Heni berbinar-binar dan tersenyum puas setelah ia dipercaya oleh semua pihak.

Langkahnya makin tegak dan percaya diri, seolah ia sudah bisa menguasai semuanya. Apalagi Niken, Ida dan guru-guru yang lain sudah mulai bersandiwara. Seakan-akan mereka sangat mendukung langkah yang diambil Heni dalam menjalankan tugasnya. Padahal di balik itu semua, mereka ingin menjebak dan menyingkirkan Heni dengan perbuatannya sendiri.

"Bu Niken, kita harus segera mempersiapkan beberapa lomba untuk anak-anak. Jangan lupa juga kita libatkan wali murid dalam perlombaan biar makin seru." Titah Heni membuka pembicaraan di kantor setelah rapat usai.

"Aku setuju, Bu Heni. Apapun yang Bu Heni lakukan pasti kami dukung. Semua setuju, kan?" Sahut Niken sambil tersenyum memandang Ida dan guru yang lain.

"Setuju," jawab Ida dan lainnya hampir bersamaan dengan senyum kepalsuan.

"Karena ini sudah siang, persiapan lomba kita lanjutkan besok pagi. Saya harap bu Niken,bu Ida dan semuanya bisa bekerja sama dengan baik, agar acara ini bisa berjalan dengan sukses." Heni melanjutkan memberi panduan lagi.

"Oke," Dengan serempak mereka setuju dan segera berkemas meninggalkan sekolah karena pelajaran dan rapat telah selesai.

'Ternyata mudah menguasai mereka. Ku pikir perlu usaha lebih, tanpa adanya Alma, guru-guru di sekolah ini mudah terpengaruh dan nurut padaku.' Gumam Heni sambil melangkah menuju parkiran. Dan segera meninggalkan sekolah ditemani sepeda motor baru yang masih kredit. Demi menjaga penampilan dan gengsi, ia tak mau mengendarai sepeda motor butut, walau kredit sekalipun akan dilakukan. Padahal ini akan menambah pengeluarannya tiap bulan.

Hidup adalah pilihan. Dan setiap pilihan pasti ada resikonya. Kadang kita sebagai manusia tak banyak berpikir atas apa yang kita pilih. Hanya memikirkan kepuasan sesaat, hingga salah langkah dan berakibat menyusahkan diri sendiri.

Sesampainya di rumah, Heni mulai pasang senyum bangga bahkan terlalu bangga dan nampak lebih sombong.

"Bu, aku mau istirahat dulu ya. Tadi banyak yang harus aku urus. Maklumlah Bu, aku sekarang dipercaya jadi ketua panitia di sekolah. Putri biar sama ibu dulu ya! Kalo aku sudah nggak capek, pasti Putri ku asuh sendiri." Ucap Heni dengan enteng tanpa beban.

Istri Anton itu tak menyempatkan  waktunya menengok anaknya sebentar saja. Ia tak sungkan-sungkan menuju meja makan dan mengambil sepiring nasi beserta lauk, lantas melahapnya sampai habis.

Seperti tuan putri saja sikapnya. Ia nggak mau tahu, betapa repotnya ibu mertua yang sudah tua itu memasak semua makanan yang ada di depannya sekarang. Datang, duduk, makan, tidur. Amboi enaknya hidup Heni.

Melihat kelakuan menantunya yang tak tahu diri itu, bu Halimah hanya bisa diam dan menghela napas dalam-dalam. Mertua Heni ini tipikal wanita yang lebih memilih mengalah daripada mengutarakan isi hati yang sebenarnya. Semua ia lakukan demi kebahagiaan anak-anaknya terutama putra kesayangannya, Anton.

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang