Pada suatu hari terjadi kesalahan yang sangat fatal pada penghitungan rekapitulasi perusahaan. Ini adalah hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Apalagi Revan biasanya sangat teliti dengan angka-angka yang tertulis pada layar laptopnya, tapi setelah di print out hasilnya banyak perubahan, tidak sesuai dengan yang ia buat sebelumnya.
"Revan! Kenapa sampai ada selisih angka begitu besar? Ada masalah apa dengan kamu??" Ucap Yunan agak murka.
"Maaf, Pak Yunan. Setahu saya, tidak seperti ini hasilnya. Saya ada buktinya di laptop sebelum di print out. Saya akan kirimkan ke laptop pak Yunan." Revan kaget atas angka yang tertera dalam selembar kertas yang di pegang oleh Yunan.
Sebentar kemudian, Yunan memeriksa data keuangan yang dikirim pada laptopnya. Kepalanya manggut-manggut tanda sudah sesuai dengan yang ia mau.
'Hmm... kenapa laporan yang ada di kertas ini, jadi berubah? Andai aku kurang teliti, jadi masalah besar ini. Pasti ada tangan-tangan jahil yang mengubah dan membuat kekacauan ini. Sepertinya Revan sengaja di jebak, untuk menjatuhkan nama baiknya. Siapa di balik pemalsuan dokumen ini? Aku harus bertindak cepat, tapi dengan cara diam-diam dan pura-pura nggak tahu.' Pikir Yunan sambil memprediksi siapa yang harus dicurigai.
"Sudah Revan, kamu boleh melanjutkan pekerjaan kamu. Laporan ini akan aku periksa ulang." Yunan tegas dengan keputusannya.
"Iya, Pak. Permisi." Pamit Revan.
Setelah duduk di tempat kerjanya, Revan merenung sambil berpikir berulang-ulang atas peristiwa pagi ini.
'Kok bisa ya, apa yang ku save di laptop dan apa yang di print out jadi beda? Aneh!?! Aku jadi curiga, pasti ada yang mau menjelekkan aku di mata Pak Yunan. Untung tadi, Pak Yunan segera tahu keganjilan pada laporan yang ku berikan. Kalau tidak? Aku yang akan menghadapi masalah besar dan pasti akan dikeluarkan dari perusahaan ini.'
Di ruang divisi administrasi masih dengan pegawai lama. Ada Kamila, Dahlia, Darwis dan si gendut Bondan. Mereka kurang suka dengan keberadaan Yuanita di sana. Wanita yang baru dipindahkan di kantor Pak Ruben itu, selalu tebar pesona dan mencari perhatian. Yuanita selalu bersikap baik, bahkan terlalu baik pada pegawai laki-laki. Tapi berbeda lagi sikapnya pada pegawai perempuan, terutama terhadap Kamila dan Dahlia.
Ada sikap tak mau kalah dan merasa paling cantik dalam diri sekretaris pak Ruben itu. Hingga membuat Kamila dan Dahlia geram dan menghadapinya.
"Tuh, lihat! Jalan biasa aja kan bisa kenapa di genit-genitin kayak gitu. Langkahnya dibuat seperti peragawati saja. Sambil pinggulnya di ayun kiri kanan sok cantik. Sebel aku lihatnya!" Ucap Kamila saat Yuanita lewat di depannya beberapa saat lalu.
"Namanya juga janda muda. Kegatelan gitu? Awas aja kalo macem-macem sama Darwis. Bakal tak jadiin tempe mendoan nanti!" Jawab Dahlia yang juga tak suka dengan wanita itu. Apalagi Darwis masih menjadi kekasihnya, bahkan sekarang sudah bertunangan dan beberapa bulan lagi akan menikah.
"Eee... jangan bilang janda muda dong, Lia. Apa kamu lupa, aku juga janda, masih muda lagi. Tapi nggak kayak gitu juga. Kamu jangan gitu, Lia. Pernyataan mu barusan sudah mencoreng nama baik IJM seantero dunia. Aku nggak terima lho." Sahut Kamila dengan muka masam.
"Sorry, Mil. Bukan maksud ku menjelekkan kaum janda muda. Sekali lagi aku minta maaf. Eee... kamu tadi bilang IJM. Apaan tuh??" tanya Dahlia penasaran
"Hmm... IJM itu, Ikatan Janda Muda. Hati-hati lho sama organisasi ini." Jawab Kamila.
"Ooo... Hehehee... Kamu nih ada-ada Mila." Dahlia terkekeh mendengar jawaban sahabatnya itu.
***
"Mas Anton, bangun! Bangun, Mas!!" Teriak Amel sambil menggedor pintu kamar kakaknya.
Tak berselang lama pintu kamar pun terbuka dan Anton berdiri di sana. "Ada apa, Mel. Kamu nih ganggu aku istirahat saja."
"Itu, Mas. Tania susah napas dan detak jantungnya lemah. Kita harus secepatnya bawa ke rumah sakit malam ini. Kalau tidak bisa-bisa terlambat dan tak bisa di tolong lagi." Ucap Amel dengan napas tersengal karena panik.
Tania adalah nama yang diberikan untuk anak Anton dengan Yuanita. Akhir-akhir ini memang sering mengalami gangguan pada detak jantungnya, tapi malam ini keadaannya makin parah.
"I... iya Mel. Aku segera membawanya ke rumah sakit. Ayo temani aku ya Mel. Kalo aku sendiri pasti kerepotan." Ucap Anton setelah mengambil tongkat untuk menopang kakinya biar bisa berjalan dengan lebih baik.
"Tentu Mas. Kita naik sepeda motor saja, biar cepat sampai. Nggak usah pinjam mobil tetangga, ntar bisa terlambat. Aku nggak tega lihat Tania tersengal-sengal dan susah menangis." Mata Amel berkaca-kaca sambil berlalu meninggalkan kamar kakaknya.
Ia melangkah masuk ke dalam kamar ibunya. Disanalah Tania dalam dekapan bu Halimah dengan wajah pucat pasih dan tak bisa menangis lagi.
"Mel... lihat sini, cepat! Tania kejang, Mel... dan... Ooo... Cucu ku!?!" Bu Halimah menjerit histeris sambil memeluk erat tubuh bayi mungil yang tak bernapas lagi.
Amel berlari mendekat dan melihat keponakannya itu sudah tak bernyawa lagi. Ia tepuk-tepuk pipi Tania yang makin pucat. Tapi tak ada reaksi dari bayi itu.
"Mas Antoooon... kita sudah terlambat Mas. Maafkan aku Tania, kamu telah pergi secepat ini. Bahkan aku dan papa mu belum sempat membawa mu ke rumah sakit. Hik... hik... hik..." Tangis kesedihan Amel pun pecah.
Mendengar suara Amel yang lantang di tengah malam, Anton dengan berjalan terseok-seok gegas masuk ke kamar ibunya.
"Apa yang terjadi Mel. Kenapa kamu berteriak seperti itu?? Ayo cepat kita bawa Tania sekarang." Anton belum menyadari atas kematian anaknya.
"Maaas... hik hik... Lihatlah, Tania sudah tak bernyawa. Anak mu sudah meninggal, Mas. Hik... hik... " Amel makin menjadi tangisnya sambil memegangi tubuh kecil Tania dan menggantikan bu Halimah dalam pangkuannya.
"Anton, ibu lebih senang dan ikhlas Tania meninggal seperti ini. Dalam usia yang belum mengerti apa-apa. Walaupun ada kesedihan, karena ditinggal cucu ku. Tapi nasibnya sangat tragis. Lebih kasihan lagi, jika Tania makin besar dan selalu mendapat hinaan dan cibiran dari tetangga dan teman-temannya. Tuhan memberinya umur sampai hari ini saja, itu sudah takdir terbaik baginya. Kamu harus ikhlas, Anton." Wejangan bu Halimah pada putranya yang nampak sedih mengelus kepala Tania yang tak berdosa.
"Iya, Bu. Aku ikhlas melepasnya. Daripada ia menderita dengan penyakit jantung yang di deritanya. Semoga anak ku lebih mendapat kebahagiaan di surga. Selamat jalan anak ku, Sayang." Anton mencium pipi Tania sampai beberapa detik untuk terakhir kalinya.
Tangisan bu Halimah, Amel dan Anton tak bisa dibendung lagi. Mengingat perjuangan mereka dan penderitaan anak yang tak punya dosa ini, jadi korban keegoisan ibu kandungnya sendiri.
***
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
Lãng mạnSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...