BAB 35. PULANG

998 38 2
                                    

Sudah 5 hari Anton di rawat di rumah sakit. Kata dokter, hari ini ia sudah boleh pulang. Masa penyembuhan bisa dilanjutkan di rumah, karena lukanya sudah membaik, tinggal amnesianya yang butuh pendampingan dan kesabaran ekstra.

"Pagi pak Anton. Gimana kondisinya sekarang? Sudah makin baik ya?" sapa dokter Syarif yang sedang memeriksa kondisi kesehatan Anton dengan senyum ramahnya.

"Iya, Dok. Sudah nggak pusing lagi. Tapi kadang tiba-tiba ingat suatu peristiwa tapi samar, ini yang bikin sayang bingung." Kata Anton menjelaskan pada dokter perihal keadaanya sekarang.

"Sabar ya, Pak Anton. Itu akibat dari benturan keras di kepala. Nanti ketika sudah di rumah, pasti banyak memori yang sedikit demi sedikit kembali pulih seperti sedia kala. Hari ini Pak Anton sudah boleh pulang. Tolong di jaga baik-baik kesehatannya! Jangan mengerjakan pekerjaan berat dulu! Juga jangan lupa minum obat dengan teratur! Sudah dulu ya, Pak Anton. Saya akan memeriksa pasien yang lain. Permisi, Pak Anton." Pamit dokter Syarif dengan sederet wejangannya demi kesembuhan pasiennya.

"Sama-sama, Dokter" Jawab Anton hampir bersamaan dengan bu Halimah yang menemani putranya dengan sabar.

*

Sesampainya di rumah, Anton di sambung dengan gembira oleh istrinya. Heni sudah sangat merindukan kehadiran suaminya yang sudah 5 hari tak ia jumpai.

"Mas Anton, syukurlah sekarang sudah boleh pulang." Suara Heni terdengar sangat renyah menyapa Anton yang mulai memasuki rumahnya.

"Maaf, siapa kamu?" jawab Anton dengan muka datar.

"Mas Anton??? Kenapa kamu nggak mengenalku???" Heni terkejut atas tanggapan lelaki yang disayanginya itu. Wajah Anton dingin tanpa ekspresi.

"Aku mau istirahat dulu. Kepalaku agak pusing." kata Anton sambil melangkahkan kakinya menuju kamar yang biasanya ia tempai dengan Heni.

Setelah sampai di depan pintu kamar yang sengaja di buka oleh Heni, Anton terkejut.

"Lho... Kenapa ada bayi di kamarku? Ini anak siapa?? Bu, tolong pindahkan anak ini, aku ingin istirahat! Kepala ku makin berat." Teriak Anton sambil membelakkan mata, karena tak mengira ada seorang bayi di kamarnya.

"Mas... ini anak kita. Anak kita sudah lahir 5 hari lalu. Aku menunggu kedatangan mu untuk memberi nama yang terbaik untuk anak kita." Sahut Heni yang makin bingung dengan gelagat yang tak wajar dari suaminya.

"Anak kita??? Apa maksudmu??? Aku nggak kenal kamu??? Jangan mengada-ada ya!!! Kamu ngaku-ngaku jadi istriku. Denger ya!!! Istriku itu cuma Alma. Almaila Khumaira. Dan aku sudah punya anak dengannya. Tiara Permata Sari adalah anakku satu-satunya. Buah cintaku dengan Alma." Dengus Anton mulai terbakar emosinya.

"Ibu!!! Apa yang terjadi dengan Mas Anton??? Kenapa jadi seperti ini??? Tolong jelaskan, Bu!!!" rengek Heni dengan mata berkaca-kaca. Karena keberadaan dirinya sudah tak berarti bagi Anton. Apalagi anak yang sudah dilahirkan dengan taruhan nyawa, tak di anggap sama sekali oleh lelaki yang sudah menikahinya 9 bulan yang lalu.

"Del, tolong pindahkan keponakan mu ke kamar mu untuk sementara! Biar Mas mu bisa istidahat di kamarnya. Dan kamu Heni, tenangkan dirimu! Duduk dulu, ya!" Bu Halimah mencoba bertindak sebijak mungkin, agar masalah tak semakin runyam.

Adel segera masuk kamar Anton, ia menggendong bayi mungil keponakannya itu dengan sangat hati-hati. Ia tak mau bayi yang belum di beri nama itu terbangun dan menangis karena tidur nyenyaknya terusik.

"Sini, Sayang. Tante gendong ya... Ayo pindah bobok ke kamar tante. Anak cantik." Suara halus Adel menimang bayi itu dan segera membawanya ke kamar miliknya dengan hati-hati pula.

Setelah di rasa aman, Adel gegas melangkah keluar kamar lalu berjalan menuju ruang tengah menemui Bu Halimah dan Heni yang sedang duduk di sofa.

"Heni... Kamu tenang dulu. Jangan punya pikiran macam-macam setelah melihat Anton seperti itu. Kata dokter Anton mengalami amnesia, akibat benturan di kepalanya waktu kecelakaan. Jadi ibu, kamu dan Adel harus sabar menghadapi sikap Anton yang kadang tak seperti biasanya." Bu Halimah menjelaskan pada menantunya itu dengan sabar, ia sudah mengganggap Heni seperti anaknya sendiri.

"Tapi, Bu. Kenapa Mas Anton sama sekali nggak ingat tentang aku? Apalagi sama anaknya? Lalu bagaimana aku harus menghadapi Mas Anton dengan sikapnya???" tanya Heni yang nampak gusar. Kedua matanya berkaca-kaca menahan kesedihan yang teramat sangat.

"Untuk sementara, kamu ikuti saja kemauan Anton. Pelan-pelan kita harus mencoba merangsang ingatannya kembali. Pasti suatu saat Anton akan kembali pulih seperti sedia kala." Jelas bu Halimah.

"Iya, Bu. Lalu aku tidur dimana untuk sementara? Aku jadi takut di tolak lagi sama Mas Anton kayak tadi." Heni mulai mengerti akan keadaannya.

"Untuk sementara, kamu tidur sama Adel. Kamar Adel cukup buat kamu dan bayimu. Dan Adel biar tidur sama ibu. Ya, Del?" jawab ibu.

"Iya, Bu. Biar Heni dan keponakanku istirahat dan tidur di kamarku, sampai Mas Anton mengingat semuanya dengan baik." Ucap Adel sambil menatap wajah Heni.

***

(Halo, Bu Alma) kata bu Ratna tetangga Alma dari sambungan telpon.

(Iya, Bu Ratna. Ada apa ya?) jawab Alma.

(Maaf, Bu. Lelaki tua itu masih duduk di depan pagar siang dan malam. Saya nggak tega, Bu) kata bu Ratna lagi.

'Ya Tuhan... Kenapa sih harus melakukan hal konyol seperti itu. Apa ayah nggak mikir, kalo sikapnya seperti itu, malah bikin aku malu. 

Alma berkata dalam hati. Mendengar berita dari bu Ratna, wanita yang mencoba bersabar menghadapi sikap ayahnya ini, kadang merasa kesal.

(Iya, Bu. Nanti setelah mengajar saya mau ke rumah lagi. Maaf, Bu. Jadi merepotkan Bu Ratna) jawab Alma.

(Nggak apa-apa, Bu) balas bu Ratna.

Setelah menutup sambungan telpon dari bu Ratna, Alma segera mengirim pesan untuk Yunan suaminya.

(Maaf, Mas. Apa sedang sibuk? Aku mau ke rumah habis ngajar nanti. Apa bisa Mas Yunan nemenin aku?)

Beberapa saat kemudian, Yunan membaca pesan dari istrinya dan segera membalasnya.

(Nanti aku temani, Sayang. Kamu plng dulu, kita brangkat sama-sama aja ya) balas Yunan.

(Ok sayang) Alma menjawab.

***

"Alma dimana, Bu? Tiara juga? Dari tadi aku nggak lihat." Tanya Anton pada ibunya.

"Mas... A... ku is... trimu" sahut Heni dengan muka masam. Nafasnya dihembuskan dengan kasar. Dadanya serasa sesak mendengar nama Alma di sebut oleh Anton.

"Kamu lagi, kamu lagi?! Dasar wanita nggak tahu malu! Aku nggak kenal kamu. Kalo kamu memaksaku terus, keluar saja dari rumah ini!!! Menyebalkan!!!" Dengus Anton sambil membuang muka.

"Ibu... bantu aku, biar Mas Anton mengingat semuanya, Bu." Harap Heni sambil menangis mendekati bu Halimah dan bersimpuh di kaki ibu mertuanya itu dengan sungguh-sungguh.

"Heni... sabar ya, ini ujian rumah tangga. Kamu jangan memaksa ingatan suami mu, nanti akibatnya bisa lebih fatal." Wejangan bu Halimah pada menantunya.

"Iya Bu. Tapi ini begitu berat untuk dijalani. Kenapa aku alami hal buruk ini??? Harusnya hari ini aku senang, karena bisa kerkumpul kembali dengan Mas Anton. Tapi ada kenyataannya??? Yang di ingat hanya Alma... Alma... Alma... Apakah memang Alma masih mendominasi hatinya Mas Anton??? Curhatan Heni pada mertuanya.

"Apa yang dilakukan Anton itu bukan sengaja menyakitimu, Hen. Tapi ia berucap dan bertindak sesuai dengan ingatannya.

Bu Halimah mengelus punggung Heni dengan penuh kasih sayang. Dan Heni masih menangis sambil sungkem pada bu Halimah.

***

BERSAMBUNG... 

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang