BAB 96. TERKADANG KEJUJURAN ITU PAHIT

509 39 3
                                    

Kita kembali ke kediaman Anton. Amel yang sedang di kamar menemani keponakannya, tak sengaja mendengar percakapan antara bu Halimah dan pak Zaini. Kebetulan letak kamar Amel tepat di depan ruang tengah.

Namun karena terhalang pintu yang tertutup rapat, suara kedua orang tua itu terdengar sayup-sayup, tapi sesekali sangat jelas. 'Apa aku nggak salah dengar? Mas Anton bukan anak ayah?? Kok bisa seperti itu??? Lalu siapa ayah Mas Anton???' Amel memikirkan kalimat yang sempat di dengarnya dengan jelas.

Sedang Anton dan Yuanita tak bisa duduk dengan tenang di ruang tamu. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing yang tak menentu.

'Kenapa lama sekali ibu dan pak Zaini di ruang tengah? Dan kenapa ibu menangis tersedu-sedu hingga terdengar sampai sini??' Anton mengernyitkan dahinya sembari mulai berpikir dan memprediksi dengan beberapa pertanyaan.

'Apa sih yang mereka bicarakan? Aku jadi curiga, sepertinya ayahku ada hubungan spesial dengan bu Halimah. Dari tatapan mata keduanya, tak bisa dipungkiri ada rasa rindu yang tersimpan. Ini malah bicara empat mata lama sekali. Huuuh... perasaan ku jadi nggak enak, sepertinya ada masalah yang akan menghalangi pernikahan ku dengan Mas Anton.' Lagi-lagi Yuanita punya feeling yang negatif atas prilaku kedua orang tua yang makin mencurigakan.

"Halimah, apa kamu sudah siap untuk menjelaskan pada anak-anak kita tentang kenyataan yang ada? Kenyataan pahit bagi pernikahan Anton dan Yuanita." Ucap pak Zaini setelah bu Halimah menceritakan kebenaran masa lalunya.

"Entahlah... aku nggak bisa bayangkan, bagaimana reaksi Anton dan Yuanita setelah mendengar semuanya?? Pasti Anton akan membenci ku seumur hidupnya. Apakah aku bisa menjalani sisa umur ku dalam keadaan seperti ini???" Jawab bu Halimah sambil mengusap lelehan air mata yang kembali mengalir dan membasahi kedua pipinya.

Mendengar keluhan wanita yang duduk di sebelahnya, pak Zaini berkali-kali mendengus kasar untuk mengurangi ketegangan dalam pikirannya.

"Apapun yang terjadi, kita harus sama-sama hadapi kenyataan ini, Halimah. Kuatkan hatimu! Bagaimanapun juga kebohongan yang sudah puluhan tahun yang kau simpan itu, tak baik untuk masa depan Anton." Tekad pak Zaini untuk berterus terang dengan segera.

"Maafkan ibumu ini Anton. Aku siap dengan segala resikonya." Akhirnya bu Halimah meneguhkan hatinya dan segera mengusap air mata dengan mengambil beberapa lembar tissue yang tergolek di meja depannya.

Sesaat kemudian, bu Halimah bangkit dari duduknya. Kini tubuhnya nampak lemah, tapi niatan untuk mengutarakan kejujuran malam ini, membuatnya sedikit kuat.

Demikian juga pak Zaini, tanpa ragu lelaki tua itu pun berdiri dan menegakkan tubuhnya, siap melangkah menuju ruang tamu. Sebelum melangkah, ia mengusap kening yang sedikit berkeringat karena ketegangan yang terjadi barusan.

"Aku sudah siap, Zaini." Ucap bu Halimah sambil merapikan penampilannya dan menghela napas panjang.

"Iya, Halimah. Semoga Anton dan Yuanita bisa tegar menerima kenyataan ini." Harap pak Zaini.

Keduanya melangkah menuju ruang tamu saling beriringan dan memasang wajah seramah mungkin, dengan memaksakan sedikit senyum di sudut bibir masing-masing. Tak bisa dipungkiri, detak jantung bu Halimah dan pak Zaini berdegup lebih cepat. Bicara memang mudah, tapi menjalaninya sungguh membutuhkan nyali yang sangat besar.

"Ehhem... maaf kalian jadi menunggu." Pak Zaini mengawali pembicaraan sembari gegas menempatkan bokongnya di sofa, bersebelahan dengan Yuanita.

Melihat kedua orang tua itu sudah berada di ruang tamu kembali, Anton dan Yuanita menatap lega sambil menarik napas. Sedang Erik tak begitu terpengaruh dengan keadaan di sekitarnya.

"Anton, Yuanita. Ada sesuatu yang akan ibu sampaikan kepada kalian. Sebelumnya ibu minta maaf atas apa yang akan ibu sampaikan ini.

Anton dan Yuanita memandang ke arah bu Halimah dengan tatapan tajam, harap-harap cemas. Sesekali keduanya menelan saliva untuk mengurangi kerisauannnya.

"Anton anak ku, kamu... kamu nggak bisa menikah dengan... Yuanita." Suara bu Halimah kembali bergetar dan terbata-bata. Kedua matanya menatap sayu ke wajah anak kesayangannya Anton.

"Ibu??? Apa yang ibu katakan barusan??? Kenapa ibu nggak setuju dengan pernikahan kami, Bu??? Kenapa??? Padahal ibu sudah katakan sebelumnya padaku, kalo ibu sangat mendukung pernikahan ini. Kenapa ibu cepat sekali berubah??? Apa salah ku pada mu, Bu???" Mendengar penolakan dari ibunya, Anton langsung naik pitam. Betapa pun juga ia sudah sangat optimis akan mendapat restu dari ibunya. Apalagi sebelum datangnya pak Zaini, ibunya sudah mempersiapkan semua acara malam ini dengan sebaik-baiknya.

Anton menggenggam kedua tangannya untuk melampiaskan kemarahan yang sudah di ubun-ubun. Mukanya merah padam, kedua matanya melotot menatap wajah ibu kandungnya yang duduk tak jauh darinya.

Apalagi Yuanita, ia sangat terpukul dengan keputusan bu Halimah. Kedua matanya berkaca-kaca menahan kesedihan yang teramat dalam. Ia tak lagi menatap wajah bu Halimah, Yuanita lebih memilih memandangi lantai ruang tamu dengan pikiran tak menentu.

"Anton... dengarkan penjelasan ibu, Nak!!" Pinta bu Halimah memohon pada putranya yang sedang dilanda amarah yang memuncak.

"Aku nggak nyangka, Bu. Ibu tega berkata seperti itu. Kenapa nggak kemarin-kemarin ibu berterus terang kalo Ibu nggak setuju dengan pernikahan kami?? Kenapa nunggu kumpul semua, hah??? Atau memang ibu sengaja, biar aku malu di depan keluarga Yuanita???" Hardik Anton menuntaskan kekecewaannya pada keputusan ibunya yang sangat mendadak.

"Bukan begitu, Anton. Dengarkan penjelasan ibu dulu, Nak!! Setelah kamu dengar penjelasan ibu, kau boleh melakukan apapun yang kamu mau. Karena ini memang kesalahan ibu." Bu Halimah mulai meneteskan air mata yang sedati tadi sudah ia tahan, namun pertahanannya akhirnya runtuh juga.

Sementara pak Zaini belum mengeluarkan suaranya. Lelaki tua ini memilih diam dan menanti penjelasan bu Halimah yang duduk di hadapannya.

"Apa yang ingin ibu jelaskan pada kami?? Cepat, Bu. Aku ingin tahu kenapa ibu tega pada ku." Ucap Anton masih dengan emosi yang belum juga reda.

"Maafkan ibu, karena baru tahu kalo Yuanita ini, ternyata anak dari pak Zaini. Itulah sebabnya ibu mendadak berubah pikiran, Anton. Karena... karena... kamu dan Yuanita sesungguhnya adalah... saudara satu ayah." Bu Halimah mengucapkan kebenaran ini dengan bibir bergetar dan dadanya kembang kempis menahan beratnya beban dalam pikirannya.

DUAAAARRRRR

Kedua mata Anton melotot menatap bu Halimah, kedua tangannya bergetar, seperti petir yang tiba-tiba menyambar dan mengenai sekujur tubuhnya.

Demikian juga dengan Yuanita, wanita ini yang dari tadi menundukkan wajahnya, kini mendongakkan raut muka sedihnya dengan terpaksa. Tangan kanannya menutup mulut dengan segera karena kaget yang teramat sangat, kedua matanya tak berkedip menatap bu Halimah dengan penuh tanda tanya.

Erik yang sedari tadi cuek dan tak begitu perhatian, mulutnya menganga terbuka mendengar kalimat yang meluncur dari bibir bu Halimah itu. Ia pun tak menyangka atas apa yang di dengar barusan.

Sedang pak Zaini hanya bisa memejamkan kedua matanya dan memegangi kepalanya yang mendadak merasa pusing dan berat. Namun lelaki tua itu berusaha memenangkan diri dan mengikuti kelanjutan penjelasan bu Halimah yang masih terhenti.

***

BERSAMBUNG

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang