BAB 92. CINTA LAMA BELUM KELAR

604 36 10
                                    

Tok tok tok...

"Bu... tamunya sudah datang, Bu." Anton mengetuk pintu sambil memberitahu bu Halimah, kalau tamu yang di nanti sudah sampai. Dengan penuh harap Anton sabar menunggu beberapa saat di depan pintu kamar ibunya sambil tersenyum riang. Tapi bu Halimah tak kunjung menjawab apalagi membuka pintu kamarnya.

Tok tok tok...

"Ibuuu... Kenapa Bu??? Apa ibu sakit???" tanya Anton sedikit panik, karena tak biasanya ibu kandungnya itu tak bereaksi saat di ketuk pintu kamarnya.

'Ya Tuhan... apa yang harus aku lakukan sekarang??? Kenapa aku Kau pertemukan dengan lelaki itu lagi, Tuhan??? Lalu apa yang harus aku katakan pada Zaini, tentang siapa Anton yang sebenarnya??? Kalau aku memilih menyembunyikan rahasia yang telah ku kubur puluhan tahun ini, berarti Anton akan beristrikan adiknya sendiri??? Tapi... Kalau aku ceritakan semuanya... bagaimana terpukulnya Anton nanti??? Dan pasti Anton akan malu dan benci punya ibu kandung seperti aku??? Tolong aku Tuhan, aku memang banyak dosa, aku harus bagaimana???' Bu Halimah menangis dalam bilik kamarnya, meratapi nasib yang ada di ujung tanduk. Semua yang akan dilakukannya pasti beresiko, bagai makan buah simalakama. Serba salah, serba susah, serba membingungkan pikirannya saat ini.

"Bu... ibu?!? Kenapa ibu nggak buka pintu??? Apa yang terjadi, Bu???" Suara Anton makin keras, hingga sampai di telinga Amel dan para tamu.

Mendengar teriakan kakaknya itu, Amel segera beranjak dari duduknya, "Maaf, saya permisi dulu." Pamit adik Anton terburu-buru, lalu melangkah masuk menuju kamar ibunya.

Di sana dilihatnya kakak kandungnya nampak gelisah yang sedang berdiri di depan pintu sambil sesekali mengetuk pintu kamar.

"Ada apa, Mas Anton. Kenapa kamu teriak-teriak sekeras itu??? Suaramu sampai kedengeran di ruang tamu." Ucap Amel ingin tahu.

Sambil menggaruk-garuk kepala yang tak gatal, Anton menghela napas panjang. Wajahnya tak bisa menyembunyikan kegelisahan yang menyelimutinya saat ini. "Ibu nggak mau jawab dan nggak mau buka pintu kamar, Mel. Aku takut, terjadi sesuatu sama ibu. Tak biasanya ibu seperti ini." Jawab Anton dengan muka masam.

"Biar aku coba mengetuk pintu, mungkin ibu ketiduran karena capek. Seharian sibuk menyiapkan acara ini, Mas." Jawab Amel memberi solusi.

Tok tok tok...

"Ibu... tamunya sudah sampai, Bu." Ucap Amel menggantikan kakaknya yang berusaha mengingatkan pada bu Halimah.

Sekali lagi pintu yang di ketoknya tak juga dibuka. Suara jawaban dari pemilik kamar pun tak kunjung terdengar.

'Ya Tuhan... kuatkan aku. Bagaimana pun juga aku harus bisa menerima kenyataan ini. Apapun resikonya harus aku hadapi.' tekad bu Halimah dalam hati sambil beberapa kali menghela napas panjang untuk menenangkan diri. Sisa air mata yang ada di kedua pipinya segera dikeringkan dengan lengan baju yang dikenakannya. Ia ingin menyembunyikan kegelisahan dan kebingungannya saat ini.

Kini ibu kandung Anton itu mulai mengangkat pantatnya yang sedari tadi ia dudukkan di atas kasur. Setelah dirasa cukup menata hati dan pikirannya, bu Halimah mulai melangkahkan kakinya menuju pintu kamar.

Ia raih gagang pintu dan dibukanya secara perlahan.

Ceklek.

"Ibu... tamunya sudah datang, Bu. Kenapa ibu lama sekali membuka pintu?? Apa ibu sakit???" tanya Amel mengkhawatirkan keadaan ibunya.

"Ibu nggak sakit, Mel. Ibu capek, jadi ketiduran." Jawab bu Halimah mencoba beralibi dan memasang sedikit senyum yang sangat dipaksakan.

"Cepat, Bu. Ayah Yuanita sudah menunggu lama. Nanti segera ke depan ya, Bu." Kata Anton memohon pada ibunya.

"Iya, Ton. Ibu mau rapi-rapi dulu bentar." Jawab bu Halimah berlagak santai.

"Aku juga mau ke depan dulu ya, Bu. Nggak enak ngebiarin tamunya." Pamit Amel sambil membalikkan badan.

Anton dan Amel berjalan beriringan menuju ruang tamu kembali. Kini Anton merasa lega dan bisa tersenyum sumringah seperti sebelumnya.

Lalu keduanya duduk di sofa, berusaha menyambut para tamu dengan seramah mungkin. "Maaf kelamaan nunggu, ibu tadi ketiduran. Jadi kami harus membangunkan dulu, mungkin karena kecapekan." Ucap Anton untuk mencairkan suasana.

"Nggak apa-apa, Ton. Sebentar lagi ibumu akan keluar kan??" tanya ayah Yuanita dengan wajah cerah dan optimis.

"Iya, Yah. Sebentar lagi ibu akan ke sini. Silahkan di cicipi dulu, maaf cuma ini yang ada." Jawab Anton sembari mempersilahkan para tamunya menikmati beberapa hidangan di meja berukuran sedang itu.

Erik yang sedari tadi menunggu kalimat itu, tak menunggu waktu lama langsung menyomot kue coklat kesukaannya. Adik Yuanita ini memang sifatnya apa adanya, tak seperti kakaknya yang hidupnya penuh drama.

"Enak sekali kuenya, aku suka. Boleh ambil lagi kan??" tanya Erik sambil menatap wajah Anton yang duduk di depannya.

"Ooo... Silahkan, Erik." Jawab Anton sambil tersenyum bangga.

"Kamu ini suka, apa doyan??" Ledek Yuanita pada adiknya yang saat ini sedang duduk bersebelahan.

"Hmm..." Jawab Erik sambil mengernyitkan alisnya yang lebat.

Semua tertawa melihat kelakuan adik laki-laki Yuanita ini. Akhirnya suasana menjadi makin akrab dan tak canggung lagi.

Tiba-tiba datanglah wanita yang ditunggu-tunggu oleh ayah Yuanita. "Selamat malam semuanya. Maaf lama menunggu." Sapa bu Halimah sambil menyematkan senyum di sudut bibirnya.

Melihat sosok wanita masa lalunya itu, ayah Yuanita menghentikan mengunyah kue yang ada dimulutnya. Pria beruban namun masih nampak tampan itu, secepatnya menelan sisa kue yang ada di mulutnya sembari menatap wajah sang mantan terindahnya yang sedang berdiri tak jauh dari hadapannya.

"Ha... Haa... limah," Sapa ayah Yuanita spontan berdiri dari duduknya. Tak jemu-jemu sorotan matanya menyiratkan kerinduan yang teramat dalam. Seolah ia terhipnotis dan tak mau berkedip. Detak jantungnya berdegup tak menentu, ia tak menghiraukan lagi orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Ayah Yuanita dengan tatapan teduh karena rindu, berjalan mendekati bu Halimah yang masih bertahan berdiri di tempat yang sama. Bu Halimah juga merasakan hal yang sama, desiran lembut nan sepoi menyelinap dalam relung kalbunya. Dag dig dug, degupan jantung berdetak keras membuatnya tak bisa berkutik, apalagi setelah ia beranikan diri menatap mata lelaki yang sebenarnya masih ia cintai begitu dalam.

"Halimah, apa kabar?" Sapa ayah Yuanita sambil mengulurkan tangannya agar segera dijabat oleh sang mantan terindahnya. Kini jarak keduanya hanya sejengkal, tubuh ayah Yuanita tak sadar nyaris bersentuhan dengan bu Halimah. Menyadari akan hal itu, wanita yang tangannya mulai dingin karena salting, mundur selangkah agar tak terlalu dekat.

"Ba...ik, Za... Zaini." Jawab bu Halimah menerima jabatan tangan lelaki yang berdiri di depannya itu. Bu Halimah tak berani menatap mata Zaini terlalu lama, ia segera menundukkan pandangannya agar tak nampak kepanikannya yang campur aduk dengan rasa gembira.

"Kamu masih ingat pada ku, Halimah???" tanya Zaini yang masih menggenggam erat tangan Halimah tanpa ia sadari.

Seperti dua kutub magnet yang sedang bertemu. Keduanya otomatis nempel tanpa aba-aba, hingga tak menghiraukan keberadaan Anton, Amel, Yuanita dan Erik di ruangan itu.

***

BERSAMBUNG

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang