Malam nampak lengang. Kediaman Yunan terlihat mulai temaram. Lampu ruang tamu sudah dipadamkan, tinggallah beberapa penerangan yang masih tetap menyala di tiap-tiap ruangan.
'Kenapa aku kepikiran dengan sikap Tiara akhir-akhir ini ya? Ia sering terlihat murung dan tak banyak bicara. Mudah emosi dan sering mengurung diri di kamar. Ada apa dengan mu, Tiara?? Aku akan datangi dia ke kamarnya saja. Ini masih belum terlalu malam, pasti Tiara belum tidur.' Kata Alma dalam hati, sembari minta ijin pada Yunan untuk bicara pada Tiara malam ini.
"Mas, aku mau ke kamar Tiara bentar ya? Ada yang ingin aku bicarakan padanya. Mumpung masih jam 9." Pamit Alma.
"Iya, Sayang. Kamu harus tahu tentang masalah Tiara saat ini. Jangan sampai dibiarkan saja! Apalagi Tiara sudah beranjak remaja. Jadi perlu bicara pada orang yang disayangi sekaligus dipercaya." Saran Yunan dengan bijak.
Alma tersenyum mendengar petuah suaminya itu. Ia sangat bersyukur telah diberikan pendamping hidup yang pengertian dan menyayanginya, sayang sama dirinya, juga pada putri satu-satunya Tiara.
Lalu ia melangkah menuju pintu keluar dan selanjutnya berjalan menuju kamar Tiara yang letaknya paling depan, di sebelah ruang tamu.
Tok tok tok...
"Tiara... kamu belum tidur, Nak?" Alma mengetuk pintu sambil memanggil Tiara, untuk memastikan putrinya itu.
Sesaat kemudian, perempuan muda yang tumbuh menjadi remaja mendekati pintu kamar dan membukanya dengan perlahan.
Ceklek.
"Iya, Ma. Ada apa ya?" tanya Tiara.
"Apa Mama mengganggu mu? Mama ingin bicara sebentar." Pinta Alma sambil tersenyum manis pada putrinya itu.
"Masuk aja, Ma! Aku nggak merasa terganggu kok." Jawab Tiara menyetujui permintaan mamanya.
Lalu Alma melangkah masuk ke kamar Tiara, diikuti dengan si empunya, tak lupa pintu kamar di tutup kembali. Anak perempuan biasanya lebih hati-hati dalam menjaga privasi. Itulah sebabnya, kamarnya sering terlihat tertutup, beda dengan anak laki-laki.
Alma mendudukkan bokongnya di atas kasur yang di tutup kain sprei berwarna biru laut, warna kesukaan Tiara. Sedang Tiara memilih duduk di kursi kecil yang ada di sebelah ranjang.
Melihat hal itu, Alma menegur dan meminta Tiara agar duduk di kasur sebelahan dengan dia. "Sini, Tiara. Kamu duduk di sini, dong. Mama kangen ingin bicara dan dekat sama kamu, Sayang."
"Apakah benar, Mama tetap sayang sama Tiara seperti dulu??" tanya Tiara dengan muka masam.
Mendengar pertanyaan putri satu-satunya yang sudah tumbuh menjadi remaja itu, Alma terkejut dan nampak heran. "Kenapa kamu tanya seperti itu, Tiara? Apa mama selama ini kurang sayang sama kamu, Nak? Apakah itu salah satu sebab sikap kamu berubah akhir-akhir ini, Sayang?" Deretan pertanyaan Alma membuka percakapan antara ibu dan anak malam itu.
Tiara hanya diam dan mendengus kasar, tatapan matanya tak lagi melihat ke arah Alma. Ia memilih memandang lantai kamar yang berwarna putih bersih.
"Sini, Tiara. Mama ingin duduk dekat kamu, Sayang. Maafkan Mama, kalau Mama punya salah sama kamu ya?" Pintar Alma sambil menatap lembut putri cantiknya itu.
Dengan agak malas, akhirnya Tiara mengangkat bokongnya, lalu berdiri dan melangkah mendekati kasur yang diduduki Alma.
Setelah remaja berhidung mancung dan berkulit putih itu duduk di sebelah mamanya, ia memilih diam. Ada sesuatu yang masih disembunyikan dari pikirannya.
Tapi naluri seorang ibu kandung sangatlah kuat. Dengan melihat tatapan mata dan raut muka anaknya, Alma bisa menebak masalah yang berusaha disembunyikan.
"Tiara, apa yang kamu pikirkan, Nak? Apa kamu nggak suka mama menemanimu di kamar ini? Sedari tadi kamu cemberut saja?" Tanya Alma sambil menatap lekat-lekat raut muka anak gadisnya yang duduk di sebelahnya nyaris tak berjarak.
"Nggak mikirin apa-apa, Ma. Itu cuma prasangka Mama aja. Aku juga seneng kalo Mama sekali-kali menemani ku seperti ini." Jawab gadis belia itu tanpa ekspresi.
"Hmm... maafkan Mama ya, Tiara. Akhir-akhir ini Mama lama nggak ngobrol kayak gini sama kamu. Karena Mama sering pusing dan mudah lelah. Mungkin bawaan dari kehamilan Mama ini, adik kamu." Ucap Alma sambil merangkul pundak Tiara sebagai tanda sayang.
Mendengar penjelasan Alma, Tiara mendengus membuang napasnya dengan kasar, lalu berkata, "Apalagi nanti kalo udah lahiran, Ma. Pasti Mama makin repot. Mana sempat ngobrol sama aku lagi??" Dengan muka masam, Tiara menunjukkan rasa kecewa dan kurang suka dengan kehamilan mamanya itu.
"Kok kamu ngomong gitu, Sayang. Mama janji akan selalu membagi waktu dengan baik, walaupun nanti sudah lahir adikmu ini. Kenapa kamu berpikiran seperti itu, Tiara?" tanya Alma merangkul Tiara lebih erat dan mengusap rambutnya yang hitam sebahu.
"Hmm... sepertinya nanti Mama lebih sayang ke adik yang dalam perut Mama. Aku kan bukan anak kandung papa Yunan. Pasti Papa Yunan juga akan mengabaikan aku." Jawab Tiara dengan suara lirih sambil menundukkan kepalanya. Raut mukanya yang nampak sedih dan khawatir, tak bisa disembunyikan.
"Astaghfirullah, Naaak... Jadi ini yang membuat kamu suka menyendiri di kamar? Kenapa kamu belum juga percaya kalo kasih sayang Mama dan Papa masih seperti biasanya. Nggak baik lho... terus-terusan berprasangka buruk gitu, Tiara!! Apalagi nuduh Mama dan Papa sejahat itu.
"Tapi Mama bisa pegang janji? Kalo nanti adik ku ini sudah lahir, aku nggak akan diabaikan kan, Ma? Karena aku punya teman, setelah ia punya adik tiri, ia jadi sering dibentak, dimarahin, diperintah ini itu, akhirnya di suruh pulang ke rumah neneknya. Mama dan Papa nggak akan gitu kan???" Tiara masih saja sangsi atas pernyataan ibu kandungnya itu.
Alma tersenyum mendengar ucapan Tiara itu. Sambil membelai rambut panjang gadis disebelahnya ia berkata, "Mama janji, Sayang. Mama nggak akan membeda-bedakan antara Kamu, Angga, juga adik yang masih dalam perut mama ini.
Kini Tiara bisa sedikit menyematkan senyum manis di bibir merah mudanya yang mulai merekah. " Makasih, Ma. Aku nggak mau pisah sama Mama. Karena aku nggak bisa hidup jauh dari Mama.
"Sudah lega sekarang, Tiara? Nggak ada beban lagi, kan??" tanya Alma kemudian.
"Hmm... Sebenarnya ada yang kupikirkan lagi, Ma." kata Tiara agak malu-malu dan mukanya mendadak masam kembali.
"Ada apa, Sayang? Katakan saja, jangan ragu, ya!! Mama akan selalu jaga rahasia kita berdua, hehee..." Jawab Alma meyakinkan.
"Hmm... apakah aku boleh mengenal cinta, Ma? Tapi aku masih ragu dengan kesungguhan cowok itu. Aku juga takut dipermainkan saja sama dia. Seperti... seperti perlakuan Papa Anton ke Mama." Tanya Tiara sambil menundukkan kepalanya lagi.
"Ooo... anak Mama ternyata udah gede. Udah mulai jatuh cinta sekarang? Tiara, tidak semua laki-laki seenaknya sendiri seperti Papa Anton. Masih banyak laki-laki yang baik. Lihat aja Papa Yunan, apa menurut kamu, Papa Yunan kurang baik juga??" Jawab Alma sambil tersenyum gembira. Akhirnya kekhawatirannya selama ini terjawab sudah.
'Syukurlah, Tiara hanya salah paham dan butuh bimbingan. Sepertinya aku harus sering meluangkan waktu bersamanya. Aku tak mau Tiara yang sudah makin gede ini, menjadi trauma karena disakiti oleh cowok yang suka dengannya.
***
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
RomanceSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...