Hari semakin siang, matahari dengan gagahnya sudah menyinari pas di atas kepala. Pertanda siang hari telah di mulai dengan berbagai aktifitas penghuni alam semesta ini.
Kita fokus lagi pada keadaan Anton. Tubuhnya masih terbujur di atas brangkar dengan infus yang masih menanjap sempurna di tangan kanannya.
Tiba-tiba tangan Anton bergerak dan ia menggeliat setelah hampir satu jam menikmati tidur lelapnya akibat pengaruh suntikan obat penenang.
"Aaauuuh... sakit sekali kaki ku. Teriak Anton tiba-tiba mengejutkan seisi ruangan. Semua mata memandang ke arahnya, terutama pak Zaini. Ayah kandung Anton itu, dengan sigap berdiri dari duduknya, lalu mendekati Anton yang masih setengah ngantuk.
"Anton... kamu sudah bangun??" tanya pak Zaini dengan tenang.
Menyadari sosok lelaki yang semalam mengaku sebagai ayah kandungnya, Anton terdiam dan menatap pak Zaini dengan tatapan tajam.
"Apa yang kamu lakukan disini?" tanya Anton dengan sinis.
"Anton... aku ingin menemani mu dan aku merasa prihatin atas keadaanmu sekarang. Kamu yang sabar ya, Ton!" Jawab lelaki beruban itu dengan wajah sayu.
"Apa benar kamu prihatin dengan nasib ku?? Aku sekarang seperti manusia yang tak berguna. Seperti sampah. Lebih baik aku mati saja." Ucap Anton dengan suara bergetar.
"Kamu jangan seperti itu, Anton. Semua ini sudah takdir. Kamu harus bisa menerima dengan lapang dada. Ada banyak hal yang bisa dilakukan walau kamu tak seutuh dulu. Ayah janji akan membantu semampu ku untuk menjadikan kamu berguna dan melanjutkan kehidupanmu yang lebih baik." Ungkap pak Zaini yang membuat Anton tak mengerti.
"Apa maksud mu?? Setelah aku tahu kalau Nita adalah adikku sendiri. Lalu sekarang kaki kanan ku buntung. Apa masih ada yang perlu kubanggakan, hah???" tanya Anton dengan melotot ke arah ayah kandungnya.
"Dengar baik-baik Anton. Kamu bisa menikah dengan Nita. Walau kamu sebenarnya saudara seayah. Tapi... karena... maaf, kamu anak di luar nikah antara aku dan ibu mu, jadi kamu boleh menikahi Nita. Aku sudah tanyakan pada ustad yang paham atas hal ini. Dengan begitu nasab kamu ikut ibu mu, bukan ikut aku. Dan Nita nasabnya ikut aku. Jadi pernikahan yang kamu impikan bersama Nita bisa dilakukan, Ton." Pak Zaini menjelaskan dengan segamblang mungkin, agar Anton punya semangat hidup kembali.
"Tapi... semua sudah terlambat. Apa yang bisa kulakukan dengan satu kaki ku, hah??? Pekerjaan apa yang pantas bagi orang cacat seperti ku saat ini??? Semua perusahaan nggak akan mau menerima orang buntung seperti aku. Lalu... apa Nita mau menikah dengan lelaki cacat tak berguna ini, hah???" Suara Anton semakin keras, karena ia kesal dengan keadaannya sekarang.
Tiba-tiba, Yuanita bangkit dari duduknya dan mendekati ayahnya. "Benarkah apa yang ayah katakan barusan?? Aku dan mas Anton boleh menikah dan sah menurut agama???" tanya Yuanita antusias.
"Benar, Nita. Ayah sudah menanyakan semuanya pada pemuka agama. Tapi...???" Jawab pak Zaini.
"Tapi apa ayah???" tanya Yuanita dengan ekspresi penasaran dan menatap tajam ke arah ayah kandungnya. Begitu pula dengan Anton. Ia menunggu jawaban dari pak Zaini dengan cemas.
"Tapi ada resikonya. Karena jika kalian menikah dan sampai punya anak, kemungkinan besar anak ini mengalami cacat, karena hubungan sedarah." Jawab pak Zaini dengan tegas.
"Ooo... aku akan menerimanya apapun resikonya. Asal aku bisa menikah dengan Mas Anton, Ayah." Ucap Yuanita dengan wajah sunringah. Ia tak peduli dengan akibat yang sudah diutarakan oleh pak Zaini.
Tiba-tiba, Anton tersenyum dan menatap Yuanita tak berkedip. "Nita... Apakah kamu mau menikah dengan ku dengan menerima segala resikonya??? Aku sudah tak sempurna, Nita." Suara Anton membuat hati Yuanita terenyuh.
Lalu wanita yang sedari tadi nampak lemah itu, kini bisa tersenyum kembali dan mulai bersemangat. "A... aku akan selalu menemani mu mas Anton. Walau kamu sekarang seperti ini, aku akan tetap menyayangimu seperti dulu." Jawab Yuanita dengan mata berbinar menatap wajah Anton yang masih nampak kelelahan.
"Benarkah, Nita???" tanya Anton dengan senyuman di sudut bibirnya.
"Iya, Mas. Aku janji. Aku akan selalu menemani mu." Yuanita meyakinkan pernyataannya sambil menggenggam jari-jemari tangan kiri Anton dengan erat.
"Makasih, Sayang. Kini aku punya semangat hidup lagi." Ucap Anton dengan mata berkaca-kaca.
Tok tok tok...
Tiba-tiba terdengar pintu diketok. Amel gegas membukanya dengan perlahan.
"Selamat siang. Apa kabar pak Anton?" terdengar sapaan lelaki berseragam putih dengan tersenyum ramah. Dokter Roni datang mengontrol keadaan pasiennya.
"Ba... baik, pak dokter." Jawab Anton terbata-bata.
"Alhamdulillah... Pak Anton sekarang bisa tenang. Semua keluarga sudah berkumpul di sini, ya? Pasti pak Anton cepat sembuh. Jangan lupa obatnya di minum teratur. Kalau ada keluhan, jangan segan-segan sampaikan ke saya atau perawat yang jaga." Titah dokter Roni dengan gayanya yang penuh kharisma.
"Iya, Dok." Jawab Anton.
"Sebentar ya pak Anton. Saya akan memeriksa keadaan pak Anton." Lalu dokter Roni mengecek detak jantung dan tekanan darah Anton.
"Hmm... syukurlah. Semuanya stabil. Ini fantastik. Semoga semangat pak Anton bisa menyembuhkan lukanya secepat mungkin, ya pak Anton??" Ucap dokter Roni takjub dengan keadaan pasiennya yang secepat itu bisa stabil.
"I... iya dokter, terima kasih." Jawab Anton dengan senyumnya yang mulai merekah.
"Saya permisi dulu." Pamit sang dokter, sembari membalikkan badan dan meninggalkan ruangan itu.
"Mas... kamu kelihatan semangat sekali sekarang. Aku jadi lega." Ucap Amel mendekati kakaknya dengan ikutan sumringah, tak lagi gelisah seperti sebelumnya.
"Iya, Mel. Makasih ya... sudah sabar menemani aku sedari tadi. Kamu memang adikku yang paling baik." Ucap Anton dengan tulus.
"Tapi... kita juga sering ribut gara-gara urusan yang nggak penting, hehehee..." Kelakar Amel yang bikin suasana mencair dan semua yang mendengarnya ikut terhanyut hingga tertawa.
Erik si lelaki tercuek pun, ikut menyumbang senyumnya walau dari kejauhan saja. 'Nah... gini kan asyik. Nggak tegang aja dari tadi." Bisiknya dalam hati.
"Oh ya... apa ibu kalian sudah tau keadaan Anton saat ini??" tanya pak Zaini sambil menatap wajah Anton dan Amel.
"Saya tadi sudah kirim pesan ke ibu, tapi saya belum ceritakan semuanya. Takut ibu khawatir dan syok mendengarnya." Jawab Amel.
"Hmm... begitu ya. Nggak apa-apa, untuk sementara memang itu lebih baik. Nanti kalau sudah pulang, ibu mu juga akan tahu. Tapi... aku usul, nanti biar aku dan Erik mampir ke rumah kalian dan menceritakan semua yang terjadi pada Anton. Lalu rencana pernikahan Anton dan Nita yang sudah mendapat titik terang. Setidaknya ibu mu bisa bernapas dengan lega, tak terlalu memikirkan masalah anaknya. Ya kan???" Kata pak Zaini berusaha bijak.
"Iya, pak." Jawab Amel.
"Iya, Yah." Jawab Anton.
***
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
RomanceSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...