BAB 149

385 25 2
                                    

'Suara apa itu? Seperti ada yang pecah? Sebaiknya aku periksa dulu.' Bisik bik Yana sambil menyibakkan selimut tebalnya yang melingkar di tubuhnya.

Ia gegas keluar kamar dan mendengar suara teriakan tuannya yang penuh misteri di lantai atas.

"Ooo... ternyata tuan Bagas sedang bertengkar dengan tamu wanitanya tadi. Mati aku!! Bukannya tadi sudah ku peringatkan. Jangan sampai naik ke lantai dua karena resikonya terlalu besar. Kok malah menantang ke sana. Aduh biyung... piye to iki??" Suara lirih bik Yana menggerutu di depan kamarnya.

Ia tak berani naik ke lantai dua, walau sebenarnya ia ingin segera membersihkan pecahan benda pecah yang tadi ia dengar. Namun niatnya itu diurungkan, karena tak mau menanggung konsekuensi yang akan di terima, jika bos gantengnya itu marah besar dan tak terkendali.

Apalagi saat bik Yana mendengar teriakan dan bentakan dari bos Bagas yang memarahi tamu wanitanya di lantai dua. Suaranya lantang hingga terdengar jelas di lantai dasar.

"Duh Gusti... gimana ini? Kalau sampai kejadian sadis yang selalu terjadi akan terulang lagi. Aku sudah tak mau lagi melihat mayat dengan darah berceceran seperti beberapa bulan lalu. Gusti... paringi slamet buat tamu wanita Tuan Bagas. Aku ndak mau menjadi saksi kebiadaban ya lagi. Sudah berapa kali, aku dan kang Udin menjadi saksi bisu dan selalu tutup mulut atas kekejaman bos Bagas. Gusti... kulo nyuwun tulung, Gusti!"

Bisikan lirih keluar dari mulut kering bik Yana yang tak henti-hentinya mengelus dada untuk mengurangi rasa kekhawatiran atas apa yang akan terjadi pada villa mewah yang sedang ia tempati saat ini.

Ada rahasia besar yang ia tutup rapat-rapat untuk menjaga nama baik tuannya itu. Tapi hatinya merasa teriris dan bergetar karena ingat akan peristiwa yang terjadi di masa lalu. Apalagi kejadian itu tak terjadi satu kali di tempat yang sama. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa atas apa yang disaksikannya. Wanita lugu ini hanya bisa menangis dan bertahan bekerja di villa pribadi milik Bagas, karena tak ada lagi pekerjaan yang bisa ia lakukan untuk menghidupi keluarganya yang ada di desa asalnya.

Lalu terdengar pintu di tutup dengan keras dari lantai atas lagi.

Bik Yana tersentak dan menelan salivanya dengan kasar. Ia buru-buru masuk ke dalam kamarnya kembali. Dalam hati sebenarnya wanita ini merasa sangat khawatir, karena ia merasa terlibat dalam masalah ini. Bagaimana tidak? Bisa saja, tuannya akan menyalahkan dia, karena membiarkan tamu wanitanya naik ke lantai dua, padahal tuan Bagas sudah memperingatkannya.

"Aku juga akan dapat masalah. Pasti tuan Bagas menyalahkan aku, karena di kira belum memperingatkan pada tamunya. Aduh... Gusti, kulo nyuwun pangapunten. Kalo aku juga jadi korban kekejaman tuan Bagas, lalu siapa yang akan menghidupi keluarga ku di kampung. Hik... hik..." Bik Yana menangis sesenggukan meratapi nasib yang ia bayangkan dalam pikirannya.

***

"Sini, Nita! Cepatlah, sebelum hilang kesabaran ku!!"

'Ya Tuhan... lindungilah aku. Apa yang harus aku lakukan. Kalau aku nggak nurut sama perintahnya. Bakal makin kasar Pak Bagas pada ku. Aku akan turuti saja perintahnya, agar kemarahannya tak membabi buta.'

Lalu Yuanita mendekati ranjang mewah berukuran besar yang sudah ada Bagas menantinya dengan tatapan aneh.

"Buka baju mu, Sayang. Kita nikmati malam indah bersama ku ya, Nita. Kamu tentu sudah lama nggak merasakan belaian kasih sayang dari laki-laki, iya kan Sayang ku. Ha ha haaa..."

Tanpa membalas tatapannya lelaki yang sudah ada di depannya, Yuanita mulai melepas bajunya satu-persatu dengan tangan dan kaki gemeteran.

Setelah melihat mangsa di depannya telah siap di eksekusi. Bagas mengeluarkan tali tampar yang sedari tadi ia sembunyikan di bawah bantalnya.

Yuanita duduk di tepi ranjang dalam keadaan telanjang bulat dengan keringat yang mengucur deras dari seluruh tubuhnya.

Lalu tanpa berucap separah kata, Bagas langsung menarik kedua tangan Yuanita dan mengikatnya dengan sangat erat, hingga pergelangan wanita berkulit putih mulus itu terlihat merah terkena gesekan tali tampar.

"Apa yang kamu lakukan, Bagas?? Lepaskan aku! Lepaskan!! Aku nggak mau seperti ini. Lepaskan aku!!!" Teriak Yuanita sambil meronta berusaha melepas ikatan tali tampar di tangannya.

Namun usahanya sia-sia, Bagas tak memberi kesempatan lagi.

Sadar akan hal yang terjadi pada wanita di hadapannya, Bagas berdiri dan mengambil benda panjang warna hitam yang terselip di celananya. Ya... ikat pinggang kulit tebal sudah berada di genggaman tangan kanannya.

"Sudah siap, Sayang." Ucap Bagas lirih sambil mengayunkan benda hitam panjang yang sekarang telah menjadi ancaman bagi tubuh wanita di depannya.

"Apa yang kamu lakukan Bagas! Kamu sudah gila! Kamu laki-laki sakit jiwa!!" Yuanita menatap tajam pada benda yang di bawa bosnya itu dengan tatapan tajam.

Namun dengan hitungan detik, tangan Bagas sudah mengayun makin tinggi dan...

CETARRR CETARRR CETARRRRR... 

Punggung putih mulus Yuanita telah menjadi sasaran empuk atas hobi gilanya bos ganteng kebanggaannya.

"Aduuuh... aduuuh... ampuuun! Sudah Bagas!! Sudah!! Hentikan!!"

Namun teriakan Yuanita malah menjadi penyemangat lelaki gila itu. Ia mengayunkan  ikat pinggang lebih membabi buta pada bagian depan tubuh Yuanita yang nampak molek bagi lelaki normal.

Bagas berdiri lagi, lalu tertawa terbahak-bahak sambil mengayunkan lebih keras ke tubuh wanita yang sudah merintih kesakitan.

CETARRR CETARRR CETARRR CETARRR CETARRRRRR

Semakin bertubi-tubi lelaki yang sudah kesetanan itu menyiksa dengan sengaja tubuh mulus wanita di depannya tanpa ampun lagi.

"Aaaaah... sakiiit Bagas, sakiiiit... Ampuuun... ampuuuun." Tak henti-hentinya tangis kesakitan keluar dari mulut Yuanita yang meringkuk melindungi tubuhnya yang mulai memerah dan sebagian sudah sedikit terkelupas dan memar.

Anehnya, setiap mendengar jeritan dan tangisan, bukan malah menghentikan siksaannya, Bagas pasti tertawa puas.

"Ha ha haaa... Aku suka melihatmu sepeti ini, Nita. Kamu makin terlihat cantik, Sayang."

Dengan tatapan tak berkedip ia mendekati wajah Yuanita yang masih terlihat cantik dengan polesan make up tipis dan lipstik merah muda kesukaannya.

"Aku menyayangi mu, Nita. Kamu wanita genit yang membuat ku tergila-gila. Tapi aku lebih suka melihat mu merintih kesakitan dulu, Sayang."

"Apa yang kau lakukan lagi, lelaki gila! Aku sakit, lepaskan aku!!" Air mata mulai meleleh membasahi kedua pipi mulusnya.

Tanpa pikir panjang, Bagas mengecup bibir sexy Yuanita hingga beberapa detik. Namun setelah itu, ia duduk dengan di topang kedua lututnya. Lalu lelaki yang berperawakan tinggi semampai dengan dada bidang itu, mengayunkan tamparannya dengan sangat keras pada pipi kanan dan kiri beberapa kali hingga tubuh Yuanita terhuyung ke kiri dan ke kanan.

PLAKKK  PLAKKKK PLAKKK PLAKKKK

"Aaaah... aduuuh... sakit, hik hik hik" Suara tangis Yuanita tak terkendali lagi. Tangisannya yang tersedu-sedu tak juga meluluhkan hati Bagas yang berdarah dingin.

***

BERSAMBUNG

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang