BAB 125. BELUM BERHASIL

361 19 4
                                    

Kini hubungan Alma dan Tiara baik kembali. Bersenda gurau seperti biasa dan tak ada lagi prasangka di antara mereka berdua.

Seperti biasa Senin hingga Sabtu, hanya tinggal Alma dan bayinya serta di temani bik Ina yang berada di rumah. Sedang yang lain sedang berkutat pada aktifitas masing-masing sampai sore.

Dalam mengisi waktu cuti yang masih lama, istri Yunan ini memilih menjadi penulis novel online agar tak terlalu banyak waktu terbuang percuma. Karena dari dulu, Alma suka menulis di beberapa artikel dan majalah. Tapi karena kesibukannya, ia tak sempat mewujudkan keinginannya dalam berkarya tulis kembali.

Setelah memberi ASI dan menidurkan Devan, mulailah ia membuka laptopnya dan mengapresiasikan bakat terpendam dalam dirinya. Apalagi hobby menulis novel tidak butuh tempat khusus, dimana saja bisa dilakukan, asal suasana tenang dan badan sehat jasmani dan rohani.

'Aku akan menulis cerita fiksi romansa saja. Biasanya pembaca lebih suka tentang kehidupan yang harmonis dibumbui dengan keromantisan tokoh utamanya dan sedikit ada konflik biar lebih seru. Kali ini, aku nggak punya target apa-apa. Asal tulisannya bagus, diterima oleh plafform dan pembaca bisa menyukainya, ku rasa itu sudah cukup. Kalau dapat cuan, anggap aja itu bonus.' Bisik Alma mengawali visi dan misinya.

Di tengah-tengah Alma menulis, imajinasinya melayang sampai di titik masa lalunya yang kelam bersama Anton. Tak bisa dipungkiri, lelaki inilah cinta pertamanya dia. Walau ia sudah mengecap rasa bahagia berumah tangga dengan Yunan, tapi di saat ia sendiri dan suasana pun sunyi, bayangan Anton kadang masih menghantuinya.

Alma pun menghentikan jari-jemarinya sejenak dalam menekan tuts keyboard, ia pejamkan kedua matanya. Wajah Anton terus saja nggak bisa ia singkirkan, sampai kepalanya sedikit pusing dibuatnya.

Lalu istri Yunan ini tak membiarkan saja pikirannya di ombang-ambingkan dengan masa lalu yang kelam. Ia memilih mengambil ponsel dan mengirim pesan pada sang suami.

(Mas, lagi sibuk ya?)

Sesaat kemudian pesan itu dibaca, dan mendapat balasan.

(Sedikit. Ada apa sayang, tumben)

(Nggak apa-apa. Di rumah sepi, Devan udah bobok, Bik Ina masih bersih-bersih rumah. Jadi aku mau nulis novel saja, biar nggak gabut. Tapi kok malah pengen chat kamu ya??)

(Kok bisa, masak ditinggal bentar aja udah kangen sih)

(Nggak tau juga. Kalo udah di balas, aku jadi lega aja, Sayang)

(Kan selama ini aku selalu fast respon, kecuali pas aku lagi meeting. Nah, itu baru aku pending dulu)

(Iya, Mas. Semoga aku dan kamu selalu rukun dan bahagia ya)

(Amiin... iya, Sayang)

(Sudah ya, Mas. Aku mau lanjutin nulis lagi)

(Oke, Sayangku. Kalo udah capek istirahat saja, jangan terlalu di forsir tenaganya)

(Iya, Mas. Sampai jumpa nanti)

Yunan membalas dengan emoticon love dan perpesanan pun berakhir.

***

Tok tok tok...

"Mbak... Mbak Nita, buka pintu dong!" teriak Erik sambil mengetuk pintu kamar kakaknya.

Tak berapa lama, si empunya kamar pun membuka pintu dengan wajah kusut. "Ya, ada apa Rik?" tanya Yuanita.

"Dipanggil Ayah tuh, di ruang tamu! Ada yang ingin ketemu." Ucap Erik.

"Siapa??"

"Temui aja, ntar tau sendiri."

"Iya, bentar. Aku mau sisiran dulu." Jawab Yuanita kembali masuk kamar dan menyisir rambutnya agar rapi.

Setelah di rasa cukup, Yuanita keluar kamar menuju ruang tamu sesuai mandat ayahnya. "A... ada apa, Yah? Eee...?!?!" Tanya Yuanita kaget setelah melihat Anton juga sudah ada di sana.

Anton menatap wajah istrinya dengan rasa kangen, tapi tidak bagi Yuanita. Wajahnya mendadak cemberut dan tak bersemangat lagi.

"Nita, apa kabar?" tanya Anton sambil tersenyum di sudut bibirnya. Ia menatap kagum pada wanita yang sudah duduk bersebelahan dengan pak Zaini. Dengan memakai babydool warna dasar pink, Yuanita nampak segar dan lebih muda. Membuat Anton tak berkedip melihatnya.

"Aku baik. Lebih baik daripada sama kamu." Jawab Yuanita ketus. Ia sengaja bersikap seperti itu agar Anton semakin benci padanya dan secepat mungkin menceraikannya.

"Nita, Anton minta sama kamu, mau menyusui anak kalian lagi. Kasihan... ia nggak salah apa-apa kenapa kamu hukum bayi itu. Jantungnya perlu diselamatkan, salah satunya dengan cara mengkonsumsi ASI selama enam bulan pertama. Apa kamu mau, Nita??" Titah pak Zaini membuat muka Yuanita menjadi makin kemerahan menahan emosi.

Yuanita menghela napas panjang, mukanya bersungut-sungut, tatapan matanya tajam penuh kebencian pada lelaki di hadapannya yang masih berstatus suaminya.

"Dengar baik-baik, Anton! Aku sudah nggak ada urusan sama anak mu itu. Apa kamu kurang jelas?!? Jadi kamu ke sini dengan tujuan membujuk aku lagi demi anak pembawa sial itu?!? Sudahlah, percuma kamu datang, ngemis-ngemis, aku nggak akan peduli dengan nasib anak itu!!!"

"Nita!!! Kamu ini perempuan tapi nggak punya hati!!! Ayah malu punya anak kayak kamu!! Dimana naluri mu sebagai seorang ibu, hah??? Apa kamu nggak kasihan sedikit pun pada anak mu sendiri???" Pak Zaini naik pitam. Nada suaranya menggelegar membuat siapa saja yang ada di ruang tamu menjadi tersentak.

"Ayah, aku sudah capek dengan urusan anak itu. Kalau pun jantungnya ada kelainan dan berakibat fatal, itu lebih baik. Biar dia cepet mati, nggak bikin sial!!!" Jawab Yuanita lantang.

PLAKK

Tamparan tangan pak Zaini mendarat di pipi kanan Yuanita. "Tutup mulut mu!! Sekarang juga kamu ikut Anton, biar Erik yang antar kamu ke sana!! Urusin anakmu dengan baik, jangan cuma mikir diri sendiri saja, egois kamu!!!"

"Aduh, Ayaaaah. Seumur-umur nggak pernah nampar aku. Gara-gara ngebela anak pembawa sial itu, aku kau perlakukan seperti ini, Ayah." Lalu Yuanita bangkit dari duduknya, kemudian melangkah cepat menuju kamarnya, tak lupa pintu kamar di tutup dengan keras. BRAKK.

Anton dan Bara hanya bisa mematung, menyaksikan perlakuan pak Zaini yang begitu tegas pada anaknya. Namun dengan cara itu, bukan meluluhkan keras kepalanya Yuanita, malah semakin kekeh dengan pendiriannya.

"Maafkan, Nita ya. Dia masih belum berubah. Ayah akan berusaha lagi menasehatinya." Ucap pak Zaini malu atas tindakan anaknya.

"Iya, Yah. Kalau gitu, kami permisi dulu." Lalu Anton bersalaman dengan pak Zaini, di ikuti oleh Bara dibelakangnya.

Dengan berjalan tertatih, putra pertama pak Zaini ini meninggalkan tempat dengan tangan hampa. Harapan dan tujuan yang sebelumnya ada dibenaknya, kini tinggal angan-angan.

Melihat lantangnya jawaban Yuanita, Anton sekarang menjadi pesimis dan putus asa. Dalam perjalanan menuju rumahnya, raut muka kesedihan tak bisa ia sembunyikan.

Terbayang dalam ingatannya, bagaimana bayi mungil yang tergolek di ranjang, sering menangis tapi suaranya tak senyaring bayi pada umumnya. Kadang juga napasnya tersengal seperti menahan sakit yang tak bisa ia ungkapkan.

'Maafkan papa, Nak. Belum bisa membujuk mama mu untuk mendapat ASI dan kasih sayangnya.' Bisik Anton dalam hati sambil menahan kesedihan yang mendalam.

***

BERSAMBUNG

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang