Tiga hari sudah Anton dirawat di rumah sakit. Sekarang sudah saatnya ia diperbolehkan pulang dan melanjutkan pengobatan dan pemulihan di rumah. Selama tiga hari itu pula Yuanita ditemani pak Zaini menemani Anton untuk melewati masa-masa pengobatan dan latihan mengendalikan diri dengan satu kaki.
Pak Zaini merasa sangat bertanggung jawab atas keadaan Anton saat ini. Sepertinya lelaki tua ini merasa berdosa besar dan ingin menebus kesalahannya dengan memberi waktu sebanyak-banyaknya untuk Anton.
"Ayah... mas Anton sudah diperbolehkan pulang sore nanti." Ucap Yuanita bahagia.
"Syukurlah... kurang beberapa jam lagi kita akan keluar dari ruangan ini. Bereskan administrasinya, Nita. Biar nanti kita tinggal pulang saja." Titah pak Zaini.
"Iya, Yah. Aku tinggal dulu." Pamit Yuanita menuju ruang administrasi.
*
Jam sudah menunjukkan 15.00 WIB, saatnya Anton pulang ke rumah. Dengan mobil ertiga silver miliknya, Yuanita dan pak Zaini mengantar Anton sampai ke rumah, sesuai janjinya pada bu Halimah.
"Itu mobil pak Zaini, Bu. Mas Anton sudah pulang." Teriak Amel di teras rumah.
"Oh iya, Mel. Syukurlah..." Sahut bu Halimah dengan senyumnya yang merekah.
Akhirnya penumpang dari mobil itu turun satu persatu. Dan nampaklah Anton dengan
membawa tongkat jalan atau istilahnya elbow yang membantunya berjalan tegak dengan satu kaki.
"An... ton...???" Bu Halimah terpaku menatap seluruh tubuh Anton terutama fokus pada bagian kaki kanannya yang sudah tak utuh lagi.
Matanya menahan tangis, tapi ia berusaha menyambut kedatangan putra kesayangannya itu dengan senang. Walau sebenarnya hatinya pilu dan tercabik-cabik.
"Assalamualaikum." Ucap pak Zaini menyapa bu Halimah dan Amel yang berdiri di teras.
"Waalaikum salam." Jawab kedua wanita itu hampir bersamaan.
"Bu... aku sudah nggak seperti dulu lagi. Aku sekarang sudah cacat. Maafkan aku ya, Bu. Sering membuat mu sedih selama ini." Ucap Anton sambil menatap wajah bu Halimah dengan mata sayu.
Dengan tersenyum getir, bu Halimah memandang wajah putra kesayangannya dari atas ke bawah. Lalu bu Halimah berkata, "Sabar ya, Anton. Ibu nggak pernah marah padamu. Dibalik ini semua pasti ada hikmahnya." Titah ibu kandung Anton menyambut kedatangannya.
**
Seperti biasa keseharian Yuanita di kantor diantaranya memilah berkas yang perlu dikoreksi dan ditandatangani oleh Yunan sang direktur. Pagi ini pun, sekitar jam sembilan pagi, sekretaris cantik ini sudah memasuki ruangan Yunan untuk menyerahkan beberapa berkas dan mengingatkan akan ada meeting siang nanti.
Di sela-sela kesibukan mereka, Yunan bertanya pada Yuanita. "Dengar-dengar Anton habis kecelakaan ya? Gimana Keadaannya sekarang?"
"Hmm... iya. Mas Anton sekarang sudah ada di rumah. Tapi sepertinya sudah nggak bisa kerja di sini lagi." Jawab Yuanita sedih.
"Kenapa? Apa sudah dapat pekerjaan baru?? Atau rencana mau buka usaha sendiri??" tanya Yunan ingin tahu.
"Bukan gitu, Pak Yunan. Mas Anton sekarang sudah nggak seperti dulu. Kaki kanannya susah di amputasi karena terlindas mobil waktu jatuh kecelakaan kemarin." Ucap Yuanita dengan muka masam.
"Ooo... Ya... Allah... Saya ikut sedih mendengar kabar ini. Lalu, rencana pernikahannya gimana, Nita??" tanya Yunan prihatin mendengarnya.
"Kalau itu sih, nunggu Mas Anton sembuh dulu. Dan lagi... saya masih sangsi dengan pernikahan kami nanti." Ucap Yuanita mulai terbuka.
"Maksudnya gimana. Kenapa jadi sangsi. Apa kamu sudah nggak mau nikah sama Anton, gara-gara kakinya seperti itu??" tanya Yunan penasaran.
"Bukan begitu, tapi... sebenarnya saya dan Mas Anton adalah saudara seayah. Yang pernah saya baca sih, ini nggak boleh dilanjutkan dalam jenjang pernikahan, karena pada dasarnya kami adalah kakak adik. Tapi kata ayah sih, ini bisa dilaksanakan karena Mas Anton, maaf... anak di luar nikah." Yuanita menjelaskan dengan mendetail, dengan maksud ingin mendapat pencerahan dari Yunan. Karena sebenarnya dalam hatinya, ia belum bisa menerima pernyataan ayahnya waktu itu.
"Hah... Jadi kamu dan Anton saudara?? Jelas nggak boleh menikah, Nita. Ada perbedaan pendapat, tapi kebanyakan tidak memperbolehkan, karena pengaruh negatif nanti pada anak yang dilahirkan. Bisa dipastikan akan mengalami cacat fisik maupun mental. Untung kamu tahu sebelum nikah, Nita. Lebih baik kamu batalkan saja, daripada melanggar aturan agama. Nanti rumah tangga kamu jadi nggak berkah." Nasehat Yunan panjang lebar agar wanita di depannya paham atas maksudnya.
"I... iya, Pak Yunan. Nanti saya pertimbangkan lagi. Makasih atas sarannya." Ucap Yuanita sambil membalikkan badan dan melangkah meninggalkan ruangan itu.
**
"Ternyata mimpi Tiara itu benar, Sayang." Ucap Yunan pada Alma.
"Mimpi yang mana, Mas. Tentang Papanya maksudnya??" tanya Alma sambil mengernyitkan dahinya.
"Iya... pas malam waktu Tiara mimpi itu, Anton mengalami kecelakaan, trus kaki kanannya remuk karena di lindas mobil. Dan sekarang kaki kanan Anton di amputasi." Kata Yunan dengan wajah serius.
"Ya... Allah... sampai di amputasi??? Jadi sekarang Anton sudah nggak bisa jalan normal kayak dulu lagi???" tanya Alma dengan kaget.
"Hmm... begitulah. Makanya mumpung ini masih sore, ayo kita jenguk Anton. Karena sekarang dia sudah pulang dari rumah sakit. Kita ajak Tiara dan Angga." Titah Yunan.
"Iya, Mas. Aku akan kasih tahu Tiara dan Angga." Jawab Alma.
**
"Mbak Alma?? Sapa Amel yang mengetahui kedatangan Alma beserta keluarga.
"Iya, Mel. Aku dan Mas Yunan mau jenguk Mas Anton." Ucap Alma menjelaskan maksud kedatangannya.
"Silahkan duduk dulu, saya akan panggilkan Mas Anton dan ibu." Kata Amel dengan ramah.
Sesaat kemudian, Anton dan bu Halimah muncul di ruang tamu.
"Alma, Pak Yunan, ooo... Tiara sekarang sudah besar ya?" Sapa bu Halimah berusaha memasang muka ramah dan senyum, apalagi melihat cucunya yang sudah lama tak dianggap.
"Ini Angga, anak ku juga." Alma memperkenalkan Angga yang hampir diabaikan bu Halimah.
"Iya... iya... Ganteng sekali mirip pak Yunan." Ucapan basa-basi bu Halimah.
Di sela-sela perbincangan mereka, tiba-tiba Tiara ikut bersuara, "Berarti mimpi ku tentang Papa benar. Kenapa aku mimpiin Papa?? Padahal Papa nggak pernah mikirin aku???"
Seluruh orang yang ada di ruang tamu kaget dengan ucapan Tiara, terutama Alma dan Anton.
'Tiara??? Kamu mulai berani sekarang, Nak. Mungkin karena sudah lama ia memendam kekecewaan pada papanya. Hingga akhirnya ia tak bisa membendung lagi ucapannya.' Bisik Alma dalam hati, sambil melirik ke arah Tiara.
'Tiara?!?! Kamu pasti diajari mama mu sampai berani ngomong seperti itu. Aku memang salah padamu, anakku. Karena nggak pernah kasih apa-apa ke kamu. Apakah karena itu, aku di beri hukuman seperti ini???' suara hati Anton.
"Hmm... maafkan Papa, Tiara. Papa memang banyak salah sama kamu. Papa janji nggak akan lagi mengabaikan kamu." Ucap Anton sambil menatap putri pertamanya yang sudah mulai remaja dan makin cantik jelita.
***
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
RomanceSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...