BAB 50. DILEMA

905 49 12
                                    

Alma berulang-ulang menghela napas panjang, untuk mengurangi ketegangan emosinya yang sudah memenuhi ubun-ubun. Ia melangkahkan kaki menuju kursi dan meja kerjanya.

Pantatnya ia dudukkan dengan kasar di atas kursi, hingga kursi itu sedikit oleng. Ia menengadahkan wajahnya, sembari kedua matanya di pejamkan dan kedua telapak tangannya berpegangan pada sisi-sisi kepalanya.

Ia menggigit bibirnya untuk melampiaskan amarah yang tak kunjung reda. Wanita yang terkenal dengan kesabarannya ini, tak mau mengeluarkan air mata di ruangan itu. Ia berusaha sekuat tenaga menahan perasaan marah dan sedih atas apa yang baru saja ia alami.

'Ujian apalagi ini, ya Allah? Kenapa manusia berhati busuk itu hadir lagi dalam hidup ku?? Aku capek menghadapinya! ' Alma tak bisa membendung pertahanan mengalirnya air mata dari kedua pelupuk matanya.

Semakin di tahan, semakin terisak suara tangisan yang tak sengaja ia keluarkan. Sudah lama ia melupakan kegagalan pernikahan pertamanya, tapi dengan munculnya lagi sosok wanita yang merusak kepercayaannya, luka yang sudah kering itu kembali terkoyak dan menambah luka batin dalam dirinya.

Sesaat kemudian, tiba-tiba datanglah teman seprofesi dan guru paling dekat dengan Alma. Langkah kakinya tak di sadari oleh Alma, karena sangat fokus pada masalah yang dihadapinya.

"Apa Bu Alma sakit? Kenapa bu Alma menangis??" tanya bu Niken yang kebetulan masuk ke ruang guru untuk mengambil beberapa alat peraga.

"Hmm... iya bu Niken. Aku nggak apa-apa, cuma sedikit pusing. Sebentar lagi pasti akan sembuh." Jawab Alma sambil tergagap, karena tak disadari kalau ada bu Niken yang tiba-tiba masuk ke ruangan itu.

"Istirahat dulu aja, Bu Alma. Atau kalau sangat pusing, mungkin bu Alma bisa istirahat di rumah. Karena waktu pulang tinggal tiga puluh menit saja." Nasehat bu Niken pada wanita yang masih duduk dengan memegang kelapanya.

"Biar aku istirahat di sini aja, Bu. Nanggung juga, bentar lagi waktunya pulang." Sahut Alma sambil tersenyum di sudut bibirnya yang nampak sangat dipaksakan.

"Saya tinggal ke kelas dulu, ya Bu?" pamit bu Niken, sembari melangkahkan kaki meninggalkan Alma sendirian di ruangan itu.

"Iya, Bu Niken," jawab Alma singkat.

Kini ruangan menjadi sunyi kembali. Sambil menunggu waktu yang tinggal beberapa menit untuk pulang, Alma mencoba membuka laptopnya untuk mengalihkan perhatian. Agar ia tak fokus pada permasalahannya saat ini.

Tapi pikirannya malah melambung jauh ke masa-masa remaja yang saat itu masih duduk di bangku SMA. Kemana pun ia pergi, selalu ada Heni yang selalu membuntutinya. Dan di kala Heni mengalami kesulitan, Alma tak pernah ragu untuk membantunya dengan ikhlas.

Pada suatu ketika, ibu kandung Heni jatuh sakit dan butuh perawatan secara intensif di rumah sakit. Karena ayah Heni sudah tak serumah dengan dia karena perceraian, maka Alma yang mengantarkannya ke tempat pengobatan terdekat. Alhasil biaya yang dibutuhkan juga tidak sedikit, tapi karena rasa iba melihat sahabatnya dalam kesusahan, Alma rela memberikan uang tabungannya pada Heni untuk mengurangi beban uang pembayaran pengobatan ibunya di rumah sakit.

Bukan itu saja, Alma juga telah banyak membantu menyelesaikan skripsi Heni yang tak kunjung selesai. Hingga Alma tak menghiraukan kondisi tubuhnya yang kelelahan, karena waktunya terbagi dengan kepeduliannya pada urusan Heni, sahabatnya waktu itu.

Masih banyak lagi pengorbanan Alma yang tak terhitung demi keberhasilan Heni sejak SMA sampai menjadi mahasiswa, hingga mereka berdua bisa lulus dari universitas yang sama.

Tapi lagi-lagi nilai Alma pasti lebih unggul di banding dengan nilai Heni. Itu sudah sewajarnya terjadi, karena Alma memang tak manja dan bisa menggunakan waktunya dengan semaksimal mungkin. Sedang Heni sebaliknya, dari dulu ia lebih suka mengulur waktu dan minta bantuan Alma.

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang