BAB 145

371 25 3
                                    

Revan terdiam menunggu reaksi dari bosnya. Ia tak ingin gegabah dalam bertindak, apalagi menghadapi wanita gila seperti Yuanita.

"Kita langsung ke kantor saja. Ada pekerjaan yang harus kita siapkan untuk pertemuan dengan klien dua hari lagi." Ucap Yunan pada sopir pribadinya.

Revan mengikuti dari belakang. Ia sesekali menatap wajah Yunan yang nampak kesal dan kurang bersemangat. Itu wajar, karena tender yang selama ini sudah di gadang-gadang akan dimenangkan, ternyata tidak sesuai harapan. Dan sebabnya tak pernah di duga sama sekali.

"Revan, apa kamu ada masalah? Kenapa dari tadi diam saja?" Tanya Yunan yang duduk bersebelahan di bangku tengah dengan Revan.

"Nggak, Pak. Cuma kaget saja tadi ada Nita di sini dan sepertinya dia sengaja mengacaukan suasana ketika Pak Yunan melakukan presentasi.

"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Kita fokus pada pekerjaan saja. Anggap tadi itu kerikil tajam yang harus dilalui ketika akan meraih kesuksesan yang lebih besar.

"Iya, Pak Yunan." Revan mulai tersenyum di sudut bibirnya.

'Aku sangat kagum dengan kepribadian Pak Yunan. Dia selalu berusaha tenang dalam menghadapi masalah dan itulah yang menjadi kekuatan utama dalam memajukan perusahaannya.

Sesampainya di rumah, ada hal yang tak biasa dilakukan Yunan. Ia tak seceria hari-hari sebelumnya, nampak jelas perubahan raut muka setelah pulang dari kerja sore ini.

Alma menyadari akan hal ini. Ia tak mau diam tinggal diam, kepedulian dan perhatiannya akan memberi pengaruh besar pada sikap Yunan berikutnya.

"Mas, ada apa? Sepertinya ada masalah yang sedang kamu pikirkan." Tanya Alma pada sang suami yang terlihat berpikir keras sambil duduk di teras samping.

Yunan mendengus panjang dan berusaha tersenyum manis pada istrinya yang sangat ia sayangi.

"Nggak ada masalah, Sayang. Tadi aku ketemu sama Nita, mantan istrinya Anton yang ku pecat beberapa waktu lalu. Dia sudah bekerja di perusahaan milik Bagas, pesaing berat ku. Yang aku nggak habis pikir, kenapa Nita seperti sengaja menghancurkan perusahaan dan reputasi ku. Makanya aku harus waspada dan lebih hati-hati."

"Hmm... gitu ya. Apa mungkin dia dendam karena kamu pecat waktu itu?"

"Sepertinya begitu. Wanita seperti dia, nggak pantas di kasih kesempatan kedua. Nanti malah ngelunjak dan tak tahu diri." Jawab Yunan.

"Iya, Mas. Aku yakin, kamu bisa menghadapinya. Yang penting tetap fokus pada pekerjaan, agar tidak terpengaruh oleh tipu daya dan permainan si Nita.

Alma ikut prihatin atas apa yang di alami suaminya. Bagaimana pun juga dukungan seorang istri merupakan sumber energi positif bagi semangat perjuangan para suami dalam usaha mencari rejeki untuk keluarganya.

Sekuat-kuatnya suami pasti ada seorang istri yang selalu mendoakan dan menjadi support system di belakangnya.

Sejak ada Alma yang mendampingi Yunan, banyak sekali prestasi dan kemajuan yang cukup pesat pada perusahaannya.

***

Pagi itu rumah Anton sudah di datangi para tetangga yang mulai berdatangan untuk melayat. Setelah pengumunan kematian di sampaikan oleh petugas setempat.

"Baru seminggu anak Anton meninggal, ee... sekarang ganti ibunya meninggal juga. Kasihan nasib Anton. Sudah kakinya tak sempurna lagi, merawat anaknya dari pernikahannya yang kedua. Malah sekarang di tinggal pergi sama ibunya." Ucap pak Darto salah satu tetangga yang melayat.

"Iya ya, Kang. Ujian hidupnya terus-terusan. Semoga Anton bisa menerima dengan lapang dada dan ikhlas." Jawab pak Doni.

*

Sementara Amel dan suaminya masih mengurus adminstrasi di rumah sakit. Karena setelah ini jenazah bu Halimah akan di bawa pulang dengan membawa mobil ambulan.

Tak selang berapa lama, mobil warna putih itu sudah melaju meninggalkan rumah sakit dengan membawa mayat bu Halimah. Amel menemani mayat bu Halimah. Ia duduk di sebelahnya dengan berlinangan air mata. Karena ia tak menyangka, secepat itu ibu kandungnya pergi untuk selamanya.

Mobil ambulan baru saja memasuki halaman rumah Anton. Para pelayat sudah banyak yang berdatangan dan menunggu sampainya jenazah bu Halimah yang meninggal di rumah sakit malam itu.

Di antaranya ada pak Zaini dan Erik. Mereka segera datang ke rumah itu, setelah dib telepon Anton tadi pagi.

Lelaki yang pernah menjadi pengisi hati bu Halimah ini nampak sedih dan menatap sendu jenazah yang baru saja sudah diturunkan dan sekarang berada di depannya.

Pak Zaini juga ikut melakukan shalat jenazah sebagai penghormatan terakhir pada wanita yang sesungguhnya masih ada dalam hatinya.

'Semoga kamu bisa istirahat dengan tenang, Halimah. Maafkan aku yang selama ini tak bisa berbuat banyak untuk kebahagiaan mu.' Bisik pak Zaini.

Anton terdiam menatap tubuh ibu kandungnya yang sudah di tutup kain kafan. Begitu banyak pengorbanan yang dilakukan oleh bu Halimah demi membahagiakan dirinya. Sampai-sampai ia rela mengorbankan apa saja demi melindungi dan menyayanginya.

Kini Anton nampak murung setelah mengalami gempuran demi gempuran yang dahsyat dalam perjalanan hidupnya akhir-akhir ini.

Mulai kakinya di amputasi, perceraian dengan Yuanita, meninggalnya anak ketiganya, dan di tambah lagi dengan meninggalnya wanita yang selalu mendukung dalam setiap langkahnya.

Melihat kesedihan yang ditunjukkan Anton, pak Zaini mendekati dan menepuk pundaknya.

"Yang sabar ya, Anton. Semua ini sudah takdir-Nya. Kamu pasti lebih kuat setelah ibumu tiada. Kalau kamu ada masalah, jangan segan-segan cerita ke ayah. Aku akan berusaha membantu mu."

"Makasih, Yah." Ucap Anton.

Diantara para pelayat terdapat juga ibu-ibu yang biasa menebarkan berita sampai akhirnya bu Halimah pingsan waktu itu. Ya... bu Sri yang tak punya perasaan. Di sampingnya juga ada bu Joko dan bu Nana. Namun kali ini ketiga wanita itu cuma bisa duduk manis dan tak banyak bicara.

Ada penyesalan yang nampak pada wajah mereka. Karena atas kejulidan yang mereka lakukan, bu Halimah menjadi sakit dan akhirnya meninggal dunia.

Kecuali bu Joko, ia masih saja mencari-cari celah dan masalah. Setelah kedua matanya tak sengaja melihat Anton dan pak Zaini duduk berdampingan, ia mulai berbisik di telinga bu Nana

"Lihat tuh, bu Nana. Mirip sekali kan wajah Anton dan laki-laki tua yang duduk di sampingnya."

"Sudahlah, Bu Joko. Anton sedang berduka atas meninggalnya bu Halimah. Kita jangan mencari-cari masalah lagi. Kasihan dia."

"Huh... bu Nana nih. Aku cuma mau bilang gitu aja, malah diceramahi. Lagian memang mirip kok." Ucap bu Joko dengan muka kesal.

Bu Nana tak menghiraukan tanggapan bu Joko. Ia tak ingin ikut menyakiti keluarga Anton lagi.

Tak ada gading yang tak retak. Demikian peribahasa yang tepat untuk mewakili bahwa tak ada manusia yang sempurna. Jangan merasa paling benar sehingga sibuk mencari kesalahan orang lain, namun malah lupa dengan kesalahan yang ia lakukan sendiri.

***

BERSAMBUNG

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang