BAB 140

337 23 6
                                    

Amel pulang dengan langkah kaki cepat, ia enggan menatap apalagi menyapa ibu-ibu yang dilaluinya. Tatapan mata mereka seolah sengaja menguliti inchi demi inchi keberadaan Amel yang tergopoh-gopoh pagi itu.

Ia jinjing kresek hitam di tangan kanannya sambil menundukkan kepala hingga sampai halaman rumah. Sedari tadi ia tahan sakit hatinya mendengar hinaan dan cibiran ibu-ibu di warung bu Kokom maupun warung bu Darti.

Kini pertahanannya sudah jebol. Air mata Amel luruh begitu saja menggenangi kedua matanya yang lelah.

'Hik hik... aku nggak bisa biarkan mereka menghina ibu dan mas Anton seperti itu. Apa salah keluarga kami pada mereka semua, sehingga begitu tega membeberkan aib dan membesar-besarkan masalah yang sudah selesai.'

Amel tak henti-hentinya mengutuk ibu-ibu yang ditemui dan di depan matanya, mereka tak sungkan-sungkan lagi menebar fitnah yang berkepanjangan, hingga tersebar luas ke seluruh kampung.

Tapi kesedihan dan sakit hati yang dirasakannya pagi ini tak boleh diketahui ibunya. Jadi Amel harus menutup rapat-rapat berita sumbang yang telah menyebar luas di kampungnya, demi menjaga kesehatan ibunya.

Amel sangat menyayangi ibunya, walaupun bu Halimah lebih sayang pada Anton dibanding dirinya.

Sisa-sisa air mata yang menempel di pipinya, ia usap berulang-ulang dengan lengan baju kanan dan kiri. Lalu ia melanjutkan  langkahnya masuk ke rumah.

"Ada apa, Mel. Kenapa kamu lama sekali belanjanya. Nanti kamu kesiangan berangkat kerjanya lho. Sini ibu bantu masak!" Sapa bu Halimah yang sudah menunggu di dapur, sambil memanaskan air untuk mengisi termos biar lebih cepat membuatkan susu untuk Putri.

"Tadi aku belanja ke bu Kokom tapi aku urungkan, lalu aku berjalan cepat ke warung bu Darti. Makanya aku lama belanjanya." Jawab Amel sambil mengeluarkan isi kantong kresek yang ia bawa.

"Kenapa Mel? Apa di warung bu Kokom sudah habis sayuran dan lauk pauknya?" tanya bu Halimah heran.

"I... iya Bu." Jawab Amel singkat dengan menundukkan pandangannya untuk menutupi kesedihan yang sedari tadi ia sembunyikan dari ibunya.

Amel juga terpaksa berbohong agar tidak menyakiti hati ibunya. Kesehatan ibunya lah yang terpenting. Biarlah gosip di luar sana, asal ketentraman keluarganya tidak sampai terganggu. Pikir Amel.

"Kalau masih pusing istirahat saja Bu! Aku bisa memasak sendiri kok. Ini cuma masak sayur sop dan goreng ayam saja. Sebentar juga pasti cepat selesai." Ucap Amel sambil mencuci bersih ayam dan sayuran di bawah kran air yang mengalir.

"Nggak apa-apa Mel. Ibu mau duduk di kursi ini saja. Bosan juga kalau seharian cuma tiduran di kamar." Jawab bu Halimah sambil mendudukkan bokongnya ke sebuah kursi kayu yang ada di dapur.

Lalu Amel melanjutkan kesibukannya masak-memasak sampai selesai. Setelah itu, ia buru-buru masuk kamar mandi untuk membersihkan badan dan siap-siap berangkat kerja.

***

Hari ini adalah hari paling naas yang pernah Yuanita alami. Tak pernah terbersit dalam pikirannya, kalau pak Yunan yang di kenal dengan kesabaran dan kebijakannya, ternyata dengan tegas memberikan ultimatum sedahsyat itu.

Dengan langkah gontai, Yuanita memasuki rumahnya yang nampak sepi siang itu. Pasti pak Zaini saja yang berada di rumah, sedangkan Erik sudah mulai aktif kuliah.

"Nita, tumben sudah pulang? Apa ada masalah? Atau kamu sakit??" Rentetan pertanyaan dilontarkan pak Zaini ketika melihat putrinya yang berjalan memasuki ruang tamu dengan tak bersemangat.

Yuanita tak menjawab pertanyaan ayahnya. Ia justru berjalan mondar mandir sambil membawa tas besar berisi barang-barang miliknya berupa beberapa alat tulis dan lain sebagainya.

"Kamu dari kantor kan, Nita? Kenapa bawa barang-barang itu ke rumah? Apa sudah tak dibutuhkan lagi di kantor tempat mu bekerja?" tanya pak Zaini tak putus asa.

"Dengar baik-baik Ayah! Mulai hari ini aku sudah di pecat. Sekarang aku sudah jadi pengangguran dan tak bisa nyari uang lagi seperti dulu. Tapi, aku tak bisa tinggal diam, Ayah. Aku pasti akan cari kerja di tempat yang lebih baik. Bentar lagi juga pasti ku dapatkan." Sesumbar Yuanita tak mau di anggap remeh.

"Oooh... apa yang kamu lakukan Nita? Sampai kamu di pecat sama pak Yunan??" tanya pak Zaini masih penasaran.

"Temanku memfitnah ku, Yah. Dia ingin merebut posisi ku. Sampai Pak Yunan tak mau mendengarkan penjelasannya, akhirnya aku dikeluarkan dengan tidak terhormat. Memang licik sekali si Revan itu. Aku muak melihat mukanya!!" Yuanita pasang muka sedih dan seolah-olah ia tidak pernah melakukan  kesalahan sedikitpun.

Wanita berkepala dua ini memang sangat pandai memutarbalikkan fakta. Pasang muka sedih untuk mendapat simpati dari ayahnya.

Ternyata aksi Yuanita ini berhasil. Pak Zaini percaya begitu saja cerita anak sulungnya yang sudah merusak nama baiknya sendiri dengan kelakuan licik kala itu.

"Yang sabar, Nita. Besok kamu pasti dapat pekerjaan yang lebih baik. Kamu istirahat dulu gih! Biar pikiran dan hatimu tenang." Ucap pak Zaini sambil menatap wajah anak pertamanya dengan rasa iba.

"Iya, Yah. Aku mau istirahat sebentar." Jawab Yuanita sambil masuk kamar pribadinya yang terletak paling depan di antara kamar lainnya.

Pak Zaini bernapas kasar setelah tahu apa yang terjadi pada diri Yuanita saat ini. Tapi dalam hati, ia tak sepenuhnya percaya dengan penjelasan anak sulungnya barusan. Karena pak Zaini sangat paham betul atas sifat anak bungsunya itu.

Terlalu seringnya pak Zaini di bohongi, hingga lambat laun kepercayaannya pada anak kandungnya itu luntur sedikit demi sedikit.

'Pasti kamu telah melakukan kesalahan fatal, Nita. Nggak mungkin ada orang memfitnah, lalu direktur langsung saja percaya, sebelum ada buktinya. Tak ada pimpinan yang mudah saja percaya pada karyawannya tanpa ada bukti tertulis maupun visual. Dari sorotan mata mu, Ayah tahu Nita. Kamu memang pandai bersilat lidah dan tak pernah mau mengakui kesalahan mu sampai kapan pun. Tapi ayah masih berharap, suatu saat kamu sadar dan melanjutkan hidupnya menjadi orang yang baik.' ungkap pak Zaini dengan mata berkaca-kaca.

Sementara Yuanita sudah membaringkan tubuhnya yang lelah, lelah raga maupun lelah jiwa. Akhir-akhir ini banyak sekali peristiwa besar yang dihadapinya.

Ia berusaha menutup mata, agar bisa tidur lelap beberapa saat, namun  harapannya kini pupus karena kemarahan dan dendam di adanya yang masih bergemuruh.

'Awas, saja kamu Yunan. Sebentar lagi aku akan diterima kerja di perusahaan yang lebih gede dan bonafide. Dan aku pasti akan membalas perbuatan mu ini dengan menghancurkan perusahaan mu hingga berkeping-keping. Ha ha haa... tunggu saja Yunan!!" Ancam Yuanita sambil membelalakkan kedua matanya menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih.

Entah apa yang akan dilakukannya nanti untuk membalaskan dendam kesumatnya pada seseorang yang dulu pernah berjasa menerimanya kerja di perusahaan miliknya dengan baik.

***

BERSAMBUNG

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang