BAB 102. KEMALANGAN

533 30 2
                                    

Bu Halimah keluar dari kamarnya, kakinya melangkah menuju depan rumah. Dibukanya kembali pintu berukuran sedang itu, dengan harapan putra kesayangannya akan segera pulang dan ia akan menyambut kedatangannya.

Angin malam menambah hawa dingin malam itu, bu Halimah akhirnya merasakan kedinginan pada tubuhnya. Lalu ia memilih duduk di sofa ruang tamu tanpa menutup pintu. Pandangannya lurus ke depan, menatap jalanan di depan rumahnya. Sambil harap-haral cemas, ia berdoa di sepanjang penantiannya.

'Anton... pulanglah, Nak. Jangan biarkan ibumu ini nggak tenang seperti ini. Semoga kamu akan segera bisa menerima takdirmu. Dan bisa memaafkan kesalahan ku. Pasti ada jalan keluar yang terbaik dalam masalah ini. Baru aku ingat, dulu pernah ada yang bilang, walau ada dua orang yang lahir dari ayah yang sama, tapi satunya ternyata hasil dari perbuatan zina, maka sudah tidak di anggap saudara seayah lagi. Jadi masih ada harapan, Anton dan Yuanita bisa menikah sesuai harapannya. Tapi aku masih sangsi, benarkah demikian??? Jika memang seperti itu, pasti Anton dan Yuanita akan bahagia dan mereka berdua tak lagi membenci ku.'

Kini bu Halimah duduk termenung sambil memikirkan nasib Anton yang sepertinya ada titik terang. Tapi semua harus dipastikan kebenarannya, agar pernikahannya akan sah di mata hukum dan agama. Oleh sebab itu, bu Halimah berencana menemui ustadz yang lebih paham tentang masalah ini.

Kukuruyuuuuk....

Suara lengkingan panjang ayam jantan membangunkan ibu kandung Anton yang sedang tertidur di sofa panjang ruang tamu. Mungkin karena saking lelahnya, akhirnya tanpa disadari bu Halimah sudah tertidur lelap di sana.

Padahal pintu depan dalam keadaan terbuka lebar dan orang luar bisa leluasa masuk ke dalam rumahnya. Untunglah tak ada orang jahat yang mengganggunya malam itu. Hingga subuh menjelang dan hawa dingin berhembus memasuki rumah bu Halimah.

Wanita yang tidur dengan setengah duduk itu akhirnya membuka matanya. Tapi kepalanya terasa berat dan sakit, karena posisi tidurnya asal-asalan saja. "Aduuuh... kepala ku sakit sekali. Ternyata aku ketiduran di sini. Sudah jam berapa ini?? Apa Anton sudah pulang sekarang???" Gumamnya sambil memindai seluruh ruangan yang ada di sekitarnya. Tapi rumah tampak tak berubah, sepi dan tak ada tanda-tanda keberadaan Anton di sana.

'Ini sudah pagi. Aku belum juga mengetahui kabar Anton sampai sekarang. Kenapa hatiku rasanya nggak tenang ya??? Selalu kepikiran Anton terus. Sepertinya aku harus tanyakan Anton pada Yuanita. Kayaknya Amel pernah menyimpan nomer ponselnya.' Akhirnya bu Halimah punya ide untuk memastikan keadaan putranya itu.

Ia melangkah masuk menuju kamar mandi, tapi di ruang tengah berpapasan dengan Amel yang sedang membawa botol susu untuk keponakannya.

"Ibu ketiduran di depan ya?? Semalam aku lihat, ibu sedang duduk sambil memejamkan mata. Pintu depan juga terbuka lebar. Maunya ku tutup, tapi nggak jadi. Mungkin saja Mas Anton pulang." Ucap Amel ketika melihat ibunya menghampirinya sejenak.

"Iya, Mel. Semalam ibu nggak bisa tidur, mikirin mas mu. Kali aja cepat pulang, makanya ibu nungguin di ruang tamu. Perasaan ibu kok nggak enak ya, Mel. Takut mas mu kenapa-napa. Tolong kamu hubungi Yuanita ya! Tanyakan keadaan mas mu." Titah bu Halimah pada Amel.

"Iya, Bu. Aku pernah dikasih nomer ponsel Yuanita oleh mas Anton. Bentar lagi aku hubungi dia." Jawab Amel menyanggupi.

Setelah Amel memberikan botol susu pada keponakannya, gegas ia mencari ponselnya. Lalu ia menelepon Yuanita sesuai dengan permintaan ibunya.

Sesaat kemudian, Yuanita mengangkat panggilan teleponnya.

(Halo, maaf ini dengan siapa) Karena nomer Amel belum di simpan oleh Yuanita, jadi tak dikenalinya.

(Halo, Nita. Ini aku, Amel. Adik Mas Anton)

(Ooo... Amel. Ada apa ya?) Yuanita nampak heran, karena pagi-pagi sekali sudah meneleponnya

(Mau tanya, Nita. Apa Mas Anton masih di sana sekarang?)

(Mas Anton?? Nggak ada Mas Anton di sini, Mel) Yuanita makin heran dengan pertanyaan Amel.

(Semalam apa Mas Anton nggak ke situ, Nita?) tanya Amel penasaran.

(Nggak, Mel. Apa Mas Anton pamit mau ke sini semalam???) kening Yuanita mengkerut mendengar pernyataan Amel.

(Iya, Nita. Mas Anton semalam pamit ke ibu mau ke apartemen mu. Malah ibu mencegahnya, biar nunggu pagi dulu, tapi Mas Anton berontak karena ingin cepat-cepat ketemu kamu)

(Tapi.... Mas Anton nggak ke sini, Mel. Aduuuh... lalu Mas Anton pergi kemana???) tanya Yuanita panik.

(Lho... kok bisa nggak ke sana. Sampai sekarang Mas Anton juga belum pulang. Malah ponselnya nggak di bawanya, ketinggalan di kamarnya. Makanya aku hubungi kamu, Nita.) Kini Amel juga panik, karena yang dicarinya ternyata tidak ada di tempat.

(Mel... aku bentar lagi mau ke rumah mu ya. Ayo kita cari sama-sama. Perasaanku kok nggak enak ya, Mel.)

(Jangan mikir yang nggak-nggak, Nita. Moga Mas Anton baik-baik saja. Sudah ya, aku tutup telponnya dulu.)

Cepat-cepat Amel menutup sambungan teleponnya dengan panik. Lalu segera keluar kamar mencari ibunya.

"Bu... Mas Anton nggak ada di apartemen Nita. Baru saja aku hubungi ke sana. Katanya Mas Anton sama sekali nggak ke sana semalam." Ungkap Amel dengan muka panik.

"Lho... kalau nggak ke sana, lalu Anton pergi kemana semalam. Ponselnya nggak ia bawa lagi." Bu Halimah mendadak pusing karena memikirkan putranya.

"Aduuuh... sakit sekali kepala ku." Ucap bu Halimah sambil memegangi kepalanya dengan sebelah tangannya.

"Ibu istirahat saja ya, semalam ibu kurang tidur, jadi pusing kan sekarang." Saran Amel.

"Aku nggak bisa tenang, apalagi istirahat, Mel. Mas mu saja nggak jelas keberadaannya. Coba kamu tanyakan ke teman-temannya, kali aja ada yang tahu." Perintah bu Halimah yang nampak sangat panik.

"Aku nggak punya nomer teman-teman Mas Anton, Bu. Hmm... bentar lagi katanya Nita mau ke sini. Katanya mau nyari Mas Anton sama-sama." Ucap Amel mencoba menenangkan ibunya.

"Iya, Mel. Moga Nita cepet ke sini. Biar kita semua tahu kemana Anton sebenarnya." Jawab bu Halimah masih panik dan sedih.

Lalu Amel ingat akan sesuatu. "Apa aku hubungi mbak Alma ya, Bu. Kali aja Mas Anton nyasar ke sana. Kan keadaannya semalam nggak stabil."

"Jangan, Mel!! Jangan ganggu kebahagiaan Alma. Alma sudah punya kehidupan sendiri. Apalagi suami Alma adalah direktur dari kakakmu. Nanti malah buka aib dan bikin malu saja. Ibu nggak setuju dengan ide mu, Mel." Tolak bu Halimah mentah-mentah.

"Kalau gitu, aku mau mandiin Putri dulu, Bu. Biar nanti kalau Nita ke sini, semua sudah rapi dan bersih." Pamit Amel.

"Iya, Mel. Ibu juga mau masak buat sarapan. Biar rasa pusing ini bisa sedikit hilang, kalau di buat ngerjakan sesuatu." Jawab bu Halimah sambil berlalu menuju dapur.

Sepeninggal Heni, istri kedua Anton, Amel lah yang akhirnya merawat Putri keponakannya. Kalau Amel kerja, ganti bu Halimah yang mengasuhnya sampai Amel pulang dari kerja. Begitulah, kedua wanita di rumah itu menjadi pengganti ibu dari Putri, anak Anton dan almarhumah Heni.

Sedang Anton sibuk dengan dirinya sendiri. Tidak begitu memperhatikan buah hatinya, yang penting dia kasih uang untuk keperluan Putri. Selebihnya ia pasrahkan urusan anaknya pada bu Halimah dan Amel.

***

BERSAMBUNG

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang