BAB 152

398 22 4
                                    

Jam 3 dini hari, Bagas menelepon Roni, sopir pribadinya yang tinggal juga di lantai bawah.

(Roni, siapkan mobil! Aku akan jalan-jalan dengan Nita pagi ini.)

(Sekarang juga bos??) tanya Roni seakan tak percaya dengan perintah Bagas. Karena tak biasanya sepagi ini sudah siap-siap melakukan perjalanan.

(Iya. Jangan banyak tanya lagi!! Cepat!!!) Ucap Bagas dengan suara lantang.

(I... iya, Bos.) Jawab Roni terbata-bata karena kaget.

"Nita sayang. Kamu akan ku ajak jalan-jalan, ayo aku tuntun turun ke bawah ya!" Ucap Bagas sambil tersenyum manis, seperti tak terjadi apa-apa.

"Aku mau pulang. Aku nggak mau. Tolong... antar aku pulang saja! Badan ku sakit semua." Pinta Yuanita memelas seperti pengemis saja.

Tapi permintaaannya tak pernah di gubris. Bagas malah mendekati jenazah istrinya yang sudah kaku namun masih terawat karena telah di balsem sejak kematiannya.

"Istri ku, aku akan membuat mu tersenyum manis pagi ini. Kamu jangan cemburu ya, Sayang. Semua ini ku lakukan, karena aku hanya mencintaimu, tak ada wanita lain yang bisa menggantikan mu sayang ku."

'Dasar lelaki gila. Wanita mati di ajak bicara. Aku harus bisa lepas dari Bagas yang sakit jiwa ini. Kalau enggak, aku pasti akan celaka. Aku merasakan sesuatu yang bakal ia lakukan pada diri ku setelah ini. Tapi entahlah, aku nggak ngerti. Tapi dari sorotan matanya, sepertinya ia menyimpan dendam pada setiap wanita yang ditemuinya.'

Bisik Yuanita dalam hati sambil mengamati gerak-gerik aneh pada bos gantengnya itu. Ganteng tapi misterius dibalik segala rahasia hidupnya yang belum ia ketahui.

"Ayo kita turun, Nita! Mobil sudah menunggu kita." Ucap Bagas setelah menerima telpon dari Roni sang sopir.

Yuanita tak menjawab perintahnya, namun ia mencoba berdiri dengan pelan karena sekujur tubuhnya banyak luka dan lebam. Wajahnya juga hitam kemerahan yang ditutup sebagian dengan rambutnya yang panjang.

'Ya Tuhan. Apa yang terjadi pada diriku?Tanganku masih di ikat erat seperti ini. Mau di bawa kemana aku??'

Lalu Bagas membuka pintu kamarnya, ia berjalan keluar diikuti Yuanita yang mengekor di belakangnya seperti kerbau di cocok hidungnya.

Bik Yana mendengar langkah kaki orang yang ada di villa itu. Tapi ia tak berani begitu saja keluar dari kamarnya. Wanita setengah baya itu, mengintip dengan membuka pintu kamarnya sedikit saja. Rasa penasarannya tak bisa ia tahan.

'Ooo... mau kemana tuan Bagas dan tamu wanitanya itu. Kenapa jalannya seperti itu, seperti orang kesakitan. Dan wajah tamu wanitanya tak jelas dari sini, karena ditutup rambutnya yang panjang. Lho... tangan wanita itu di ikat seperti wanita yang meninggal sebelumnya. Apakah... apakah tuan Bagas akan membunuh lagi dengan membawa wanita yang tak tahu apa-apa ini?? Duh... Gusti... saya ndak kuat menyaksikan ini terus-terusan. Lama-lama aku ikutan gila.'

Keluh bik Yana yang gemeteran sambil memegang pintu kamarnya yang sebentar lagi akan dilewati Bagas dan Yuanita.

Maka agar ia tak ketahuan sedang mengintai, segera ia tutup dengan sangat pelan, biar tak menimbulkan suara mencurigakan.

"Cepat, Nita! Jangan manja!!" Perintah Bagas sambil menatap tajam ke wajah Nita yang tertunduk dengan jalan tertatih dan sesekali merintih kesakitan.

Sekali lagi wanita itu tak menjawab dan terus saja melanjutkan langkahnya menuju teras villa.

Di sana sudah ada mobil sedan merah yang susah menunggu kedatangannya.

'Kenapa mobilnya ganti lagi. Kemarin ke sini pakai mobil hitam, sekarang ganti yang ini. Dan... kenapa juga nggak ada plat nomernya?? Apakah ini di sengaja untuk menghilangkan jejak. Mobilnya juga nampak butut, padahal Bagas orang kaya.' 

Deretan pertanyaan berputar-putar memenuhi kepala Yuanita. Tapi ia tak berani menanyakannya pada bos gilanya itu.

"Nita, masuk!" Titah Bagas dengan muka sadis.

Yuanita menatap sejenak, lalu mulai naik ke mobil merah yang tak layak di naiki. Karena sudah nampak tua dan usang, namun masih bisa di kendarai.

Sementara Roni, sopir Bagas yang juga misterius itu tak mengucapkan sepatah kata pun. Suasana mobil sunyi senyap, nyaris tak pembicaraan antar penumpang di dalamnya.

Yuanita merasakan sakit di sekujur tubuhnya, apalagi bokong yang sepertinya memar tapi ia harus menahan sakit itu demi menuruti kemauan bos gilanya.

Sedang Bagas tak ikut naik ke dalam mobil merah butut itu. Ia mengendarai mobil sedan hitam yang biasa ia gunakan ke kantor, ia setir sendiri di belakang mobil merah itu.

'Perjalanan ini semakin naik ke bukit. Naik... naik... mau kemana ini??' 

Yuanita terus saja bertanya dalam hati, lalu wanita yang gemetaran itu menatap samar-samar pemandangan indah nan hijau namun berbatasan dengan tepi jurang yang sangat curam. Pemandangan di sekitarnya belum bisa ia lihat dengan jelas, karena masih tertutup kabut yang lumayan tebal.

Jalannya juga sangat sempit, hingga tak bisa di lalui oleh mobil yang berdampingan. Cuma cukup buat jalan sebuah mobil saja.

Gemericik air terjun dan hempasan angin semilir membuat hawa dingin menyelinap masuk ke pori-pori kulit.

Akhirnya mobil yang dikendarai makin melambatkan lajunya. Dan Roni mengerem mobil merah itu dengan tiba-tiba.

Yuanita menoleh kiri dan kanan yang nampak sepi, tak ada satu orang pun yang dapat ia lihat, kecuali Roni sopir dan bos anehnya.

Bagas turun dari mobil hitamnya. Lalu mendekati Roni yang terdiam dalam mobil merah bersama Yuanita yang duduk di belakangnya.

"Sudah, di sini saja. Kita turun dari mobil Roni. Dan kamu Nita tetap saja di mobil.

Tatapan tajam Bagas menyapu wajah Yuanita yang tak lagi nampak cantik. Lelaki itu tersenyum aneh, dan membalikkan badan diikuti sopir pribadinya.

***

Pak Zaini masih menunggu Putrinya di ruang tamu sambil sesekali menghisab dan mengepulkan asap sebatang rokok yang ada di tangan kirinya.

'Ini sudah pagi. Sudah hampir subuh. Tapi Nita belum pulang juga. Apa yang terjadi sama kamu, Nak. Walaupun ayah dan kamu sering bertengkar, tapi ayah tetap menyayangi mu. Aku nggak mau kamu celaka seperti dalam mimpi ku semalam, Nita.'

Pak Zaini masih terbayang-bayang mimpi buruknya hingga ia tak bisa memejamkan matanya lagi hingga pagi hari.

Adzan Subuh pun sudah dikumandangkan, namun tak ada tanda-tanda Yuanita pulang ke rumah.

Erik terbangun dari tidurnya, ia berjalan keluar kamar menuju kamar mandi. Tapi langkahnya terhenti, saat melihat ayahnya duduk sendiri di ruang tamu.

"Ayah, apa mbak Nita sudah pulang semalam?"

tanya Erik sambil mengucek matanya yang masih sedikit ngantuk.

"Belum, Rik. Tapi kenapa perasaan ayah nggak enak ya? Sepertinya telah terjadi hal buruk pada mbak Mu." Jawab pak Zaini dengan muka sedih.

"Jangan punya pikiran gitu, Yah. Sebentar lagi pasti mbak Nita pulang. Mungkin kemalaman lembur di kantor, jadi sekalian tidur di tempat kerjanya saja." Erik berusaha menenangkan ayahnya. Padahal dalam hati, ia juga sempat punya firasat seperti itu. Tapi ia tak mau menunjukkan pada ayahnya.

Lalu Erik berjalan menuju kamar mandi. Sedang pak Zaini menghampiri pintu depan, karena sudah pagi. Pintu dan jendela rumahnya segera dibukanya.

***

BERSAMBUNG

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang