Setelah selesai mengajar, Alma teringat akan pesan dari bu Ratna. Tentang seorang lelaki tua yang selalu duduk di depan pagar rumahnya. Ia membuka lagi galery foto yang ada di ponselnya.
Karena tidak begitu jelas, maka foto itu di zoom, samar-samar wajah lelaki itu tampak lebih jelas. Sayangnya, raut muka lelaki tua itu terlihat kotor, dekil dan dipenuhi dengan jenggot memanjang yang tak terawat. Dibalik baju yang compang-camping tergambar jelas tubuhnya yang ringkih, kurus dan tak sehat.
Alma menatap lagi postur tubuh lelaki tua itu. Semakin ia pandang, semakin ia tak mengenalnya sama sekali. Seluruh tubuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki, terlihat amat kotor, sampai warna baju dan celananya tak bisa dilihat dengan baik, juga terdapat sobekan di beberapa tempat.
'Lelaki tua ini selalu duduk di depan pagar rumahku? Apakah dia orang gila? Apakah dia punya maksud jahat padaku? Apa aku harus ke sana sendirian? Kalau dia kenal aku, kenapa nggak bilang ke bu Ratna saja?'
Banyak pertanyaan permunculan di benak Alma. Tapi karena ingin memastikan dan sudah janji pada bu Ratna, wanita cantik berseragam keki ini melajukan sepeda motornya menuju rumah lamanya. Rumah peninggalan orang tuanya, rumah yang banyak menyimpan kenangan. Terutama kenangan pahit tentang perceraian ayah dan ibunya. Lanjut kenangan perceraian dirinya dan Anton, karena perselingkuhan suami dengan sahabatnya, Heni.
Kini Alma mengendarai kuda besinya yang selalu setia menemani kemanapun ia pergi. Laju kendaraan roda dua itu di pacunya dengan kecepatan sedang. Sengaja ia menikmati perjalanan di kampung halamannya yang sekarang ia tinggalkan demi mendampingi Yunan, lelaki yang kini sudah resmi jadi suaminya.
Setelah sepuluh menit perjalanan, sampailah ia di depan rumahnya yang bercat biru muda. Memang benar, ada sosok lelaki tua yang duduk di depan pagar yang tertutup rapat. Walaupun panas terik matahari sangat menyengat, lelaki tua itu tak beranjak dari duduknya. Sungguh memprihatinkan.
Alma memberhentikan sepeda motornya sambil memandang lekat ke wajah lelaki tua itu. Ia tak segera turun, masih ada keraguan yang menyelimuti hati dan pikirannya.
'Bismillah... Semoga nggak ada hal negatif yang menimpa ku. Semoga pak tua ini orang baik, nggak punya maksud jahat padaku.'
Ia menghela napas panjang, untuk mengurangi rasa khawatir yang masih tersisa. Setelah ia turun dan memarkir sepeda motor, melepas helm yang menutupi kepalanya, kakinya yang masih berbalut sepatu hitam, melangkah mendekati lelaki tua itu.
Semakin dekat, makin dekat, dan...
"Al... ma..." Suara lirih terdengar dari bibir kering lelaki tua itu. Ia menatap tajam ke wajah Alma. Dengan tubuhnya yang ringkih hingga terhuyung, ia berusaha bangkit dari duduknya.
"Iya... saya Alma. Bapak ini siapa???" tanya Alma yang sangat penasaran. Ternyata orang tua itu mengenalnya.
"Al... ma... anakku." Ucap lelaki tua itu dengan terbata-bata dan mata berkaca-kaca. Tangannya yang nampak kotor itu bergetar. Suaranya makin jelas terdengar.
Deg.
Jantung Alma serasa copot, mendengar kata anakku. Ia tak percaya kalau lelaki tua yang ada di depan matanya adalah ayahnya yang sudah puluhan tahun tak ada kabar beritanya. Sejak Alma berusia 17 tahun, ayah kandungnya telah pergi dari rumah, meninggalkan dirinya juga ibunya demi seorang wanita pelakor yang sudah merebut kebahagiaan keluarganya.
Kini usia Alma sudah 37 tahun, berarti sudah 20 tahun ia tak berjumpa dengan sang ayah yang sangat dibencinya karena perlakuannya yang pernah mencampakkan ibu kandungnya, begitu juga seorang ayah yang tak lagi ingin tahu tentang anak kandung satu-satunya.
Alma mundur selangkah, kakinya bergetar menatap wajah dekil lelaki tua yang mengaku sebagai ayahnya. Bukan karena ia jijik dan takut kotor, tapi ia benci sebenci-bencinya pada laki-laki yang sudah membuangnya begitu saja kala itu.
Wajah Alma berubah murung, tangannya mengepal, teringat wajah ibu kandung yang berjuang mati-matian demi menghidupi dirinya. Masih tergambar jelas dalam ingatannya, betapa kejamnya lelaki itu menampar wajah ibunya hampir setiap hari, karena mengingatkan kewajibannya sebagai seorang suami yang tak pernah ditunaikannya.
Masih tertancap kuat dalam memorinya, saat ia di tolak mentah-mentah serta di usirnya dengan kata-kata kasar. Saat ia berusaha menemui ayahnya di kantor tempat lelaki itu bekerja.
Alma kembali mengenang masa-masa remaja yang kelam, tak jarang ia meneteskan air mata karena perlakuan yang tak adil oleh ayah kandungnya sendiri.
'Ya Allah... Kenapa orang yang paling ku benci ini, sekarang ada di depan mataku??? Aku nggak bisa terima kekejamannya padaku, terutama pada ibuku.'
Tubuh Alma mematung beberapa saat, ia bernapas dengan kasar, menahan amarah dan kebencian yang terpendam lama dalam hatinya. Seketika bulir-bulir air matanya mulai menetes membasahi pipi. Ia tak bisa menahan sedih, kecewa, amarah, benci ketika menatap wajah lelaki yang mengaku sebagai ayah kandungnya itu.
"Tidak" teriak Alma sembari membalikkan badan dan berjalan cepat menuju sepeda motor yang di parkirnya.
Sekujur tubuhnya mendadak berkeringat dingin, hingga ia tak bisa menstater scoopy putihnya dengan baik. Berkali-kali Alma mencoba menstater dengan napasnya yang tersengal-sengal. Serpihan luka dalam yang ada dalam hatinya seolah kembali di sayat dengan pisau belati. Perih... hingga ia ingin cepat-cepat meninggalkan lelaki tua itu.
Alma mengendarai dengan kecepatan tinggi, ia tak bisa menguasai emosinya. Berkali-kali ia mengusap air mata yang semakin deras membasahi kedua pipinya.
Laju sepeda motor melesat dengan cepat, hingga beberapa kali ia hampir menabrak pengendara lain. Tapi untung, ia masih bisa menguasai diri dengan akal warasnya.
Sesampainya di rumah Yunan, ia tak lagi mengucap salam seperti biasanya. Bergegas ia berjalan cepat dan memasuki kamar utama yang biasa ia gunakan istirahat bersama suaminya.
"Mama??? Ada apa, Ma???" sapa Tiara yang sedang duduk di teras rumah.
Tapi sapaan putrinya itu tak dihiraukannya. Ia tak ingin berucap apa-apa. Alma hanya ingin menyendiri di kamar dan meluapkan kesedihannya dengan menangis sejadi-jadinya.
Tok...tok... tok...
Tiara mengetuk pintu kamar Alma dengan pelan. Tiara sangat mengkhawatirkan kondisi mamanya yang tak seperti biasa. Tapi ketukan pintu itu tak ada jawaban.
"Mama... Apa Mama baik-baik saja???" tanya Tiara di balik pintu. Sekali lagi, Alma tak menjawab pertanyaan Tiara.
Akhirnya Tiara membalikkan badan dan bernapas panjang, melangkah menuju teras samping dengan berbagai pertanyaan tentang mamanya.
'Apakah Mama lagi sakit? Tak biasanya Mama seperti itu. Pulang-pulang langsung masuk kamar. Tanpa mengucap salam? Tanpa menyapa ku? Tanpa cerita pengalamannya hari ini? Hmm... Apakah Mama lagi bertengkar dengan Papa Yunan? Ya Allah... Semoga Mama dan Papa Yunan selalu rukun. Jangan sampai Mama ku tersakiti lagi, ya Allah'
Tiara berkata dalam hati. Ia sudah trauma dengan perceraian kedua orang tuanya. Itulah mengapa ia sudah berpikir macam-macam, ketika melihat mamanya bersedih. Tiara tak ingin perceraian akan terulang lagi pada pernikahan mamanya saat ini.
***
BERSAMBUNG...
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
RomanceSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...