Setelah masuk kamar, ia membanting tubuhnya ke atas ranjang dengan kasar. Yuanita menangis seperti orang kesetanan, menjerit-jerit dan memaki bayi yang telah dilahirkannya sendiri.
"Dasar anak pembawa sial!! Gara-gara kamu, semua jadi kacau!! Lebih baik kamu mati!!! Aku nggak sudi punya anak seperti kamu!! Memalukan!!!" Suaranya sangat keras hingga keluar dari kamar. Ia juga membanting barang yang ada dikamarnya. Beberapa buku di jadi berantakan, jam weker pecah berkeping-keping, bingkai foto yang ada di meja ikut pula jadi sasaran kemarahan Yuanita yang membabi buta.
Mendengar kegaduhan di kamar anaknya, pak Zaini menghela napas panjang. Orang tua ini tak lagi ingin mengetuk dan mencari tahu keadaan anaknya dalam kamar. Ia masih kecewa dengan sikap istri Anton itu. Hingga dibiarkan saja suara KROMPYANG, GLODAK, PYAAR...
"Ayah, ada apa dengan Mbak Nita?? Kenapa ngamuk seperti orang kesetanan???" tanya Erik yang mengerutkan dahinya sambil menatap heran pintu kamar kakaknya yang tertutup rapat.
"Biar saja, Rik!! Biar ditumpahkan semua kekesalannya. Dengan cara itu, nanti mbak mu akan menyadari kesalahannya. Dasar kepala batu!!" Ucap pak Zaini geram.
Akhirnya Erik pun tak begitu peduli dengan keadaan kakaknya pula. Ia melenggang masuk ke dalam kamarnya yang letaknya bersebelahan dengan kamar Yuanita. Sebenarnya anak kedua dari pak Zaini ini ingin menasehati kakaknya, namun ia tak berani memulainya karena tahu tabiat dan keras kepalanya kakaknya yang memang terbentuk dari kecil. Alih-alih kakaknya mendengarkan nasehatnya, bisa jadi malah ia akan kena damprat habis-habisan yang akhirnya ia nggak dapat uang jajan dari Yuanita. Bisa fatal nanti.
***
Sebelum pasangan harmonis melepas lelah di peraduan, mereka menyempatkan waktu ngobrol berdua sambil bermanja.
"Aku tadi dengar dari teman-teman se-divisi Anton. Mereka habis ke rumah istri Anton, sambang bayi kemarin. Apa aku sebaiknya ke sana ya, karena Yuanita kan masih kerja di tempat ku. Rasanya nggak enak aja, kalau nggak nyempetin." Ucap Yunan sambil bermalas-malasan di atas ranjang berukuran jumbo.
"Sebaiknya sih, kesana Mas. Tapi aku nggak bisa nemenin, kan aku juga baru saja melahirkan belum selapan atau genap tiga puluh lima hari. Gimana kalau kamu ajak Tiara dan Angga saja. Biar nggak sendirian." Alma mencoba memberi solusi.
"Hmm... iya, bisa juga. Besok aku akan ajak mereka ke rumah Nita. Oh iya, aku lupa. Kata mereka yang sudah kesana, Anton dan bayinya dibawa pulang ke rumah Anton, tapi istrinya nggak ikut." Kata Yunan.
"Lho... kok gitu?? Kalau istrinya Anton nggak ikut, trus bayinya apa nggak butuh ASI?? Aneh ya???" Jawab Alma heran sampai mengernyitkan alisnya.
"Mungkin lagi ada sedikit masalah. Namanya juga berumah tangga, ya kan?" tanya Yunan sambil tersenyum.
"Iya, Mas. Atau jangan-jangan masalah itu timbul, karena keduanya adik kakak?? Trus jika di itung-itung, jarak pernikahan dan melahirkan nggak sampai sembilan bulan kan??" Ucap Alma sambil sibuk menghitung dengan jarinya.
"Bisa jadi. Eee... kita kok jadi ngegosip sih." Kata Yunan sambil menoel hidung Alma.
"Nggak ngegosip sih. Lagian obrolan kita kan cuma berdua dan nggak mungkin kita umbar keluar. Itu juga buat pelajaran berumah tangga dan istrospeksi diri. Iya kan, Mas??" Sahut Alma yang tak terima.
"Iya... bener juga. Kalau ngomongin orang dengan pasangan kita emang beda ya rasanya. Jadi nggak ada beban, lepas aja. Trus bisa jadi bahan diskusi di antara kita." Ungkap Yunan sambil menyusun bantal buat Alma agar bisa rebahan lebih nyaman.
"Makasih, Sayang. Gini kan lebih enak. Aku bisa lebih rileks dan cepet-cepet pengen tidur, mumpung Devan masih pules boboknya." Ucap Alma sambil mulai meletakkan punggungnya di atas ranjang bersebelahan dengan suaminya.
"Aku puasa dulu ya, Sayang? Hmm... sabar... sabar." Ucap Yunan sambil memejamkan kedua matanya yang mulai ngantuk.
"Puasa sebentar aja, masak nggak tahan sih papanya Devan nih?" Sahut Alma sambil mencubit pipi suaminya.
"Eee... jangan mancing-mancing, Sayang. Nanti kalau aku nggak tahan gimana, hayo?? Siapa yang tanggung jawab." Kelakar Yunan bikin Alma terkekeh dan menjauhkan tangannya dengan segera.
"Tidur dulu ah..." Jawab Alma sambil tersenyum puas, selesai menggoda suaminya.
***
Sampailah Anton dirumahnya dengan tangan hampa. Ia turun dari boncengan sepeda motor dengan lemas dan tak bersemangat.
Bu Halimah sudah menunggu di ruang tamu dengan sangat berharap. Melihat Anton sudah datang dan masuk ke rumah. Cepat-cepat bu Halimah bertanya. "Gimana, Ton. Apa istrimu mau menerima permintaan mu??"
Anton mendudukkan bokongnya ke atas sofa sambil menghela napas. "Aku gagal, Bu. Nita menolak mentah-mentah malah menyudutkan anak ku. Pak Zaini juga membantu menasehatinya sampai pipi Nita di tampar di depan ku. Tapi tetap saja nggak berubah."
"Sudahlah, Ton. Mau gimana lagi? Yang penting kamu sudah berusaha dan mengingatkan pada Nita tentang kebutuhan utama anaknya. Kalau gitu, kamu istirahat dulu. Kamu pasti capek." Titah bu Halimah sambil mengusap lembut pundak kanan putra kesayangannya itu.
"Iya, Bu. Anton mau istirahat dulu." Pamit Anton.
Sementara bu Halimah masih melanjutkan duduk di sofa dengan memikirkan nasib cucunya yang semakin hari semakin tak pasti.
Di usianya yang semakin tua, ibu Anton ini lebih banyak masalah yang dihadapi. Bertumpuk permasalahan yang diciptakan sendiri, hingga menjadi semakin rumit. Kebohongan satu ditutupi dengan kebohongan yang lain, akibatnya menyengsarakan diri dan keturunannya.
Apalagi sudah berani melanggar aturan agama dan adat istiadat, jadilah seperti benang kusut yang tak berujung.
'Akhir-akhir ini kepala ku sering pusing memikirkan nasib Anton dan cucu ku. Tapi aku nggak mau mengeluh pada siapa pun, terutama Anton. Biar ku tanggung sendiri saja, rasa sakit ini. Kadang sampai aku nggak bisa tidur semalaman karena saking pusingnya. Sebentar lagi Anton akan segera menceraikan Nita. Sepertinya nggak ada jalan lain, itu yang terbaik bagi mereka berdua. Dan Anton menduda lagi. Tanggungan mu semakin berat, Ton. Anak mu sudah tiga, perempuan semua. Untunglah Alma nggak pernah nuntut apa-apa dari Anton. Kalau itu sampai terjadi, bakal kuwalahan Anton cari uang.' Lamunan bu Halimah begitu panjang sambil menyandarkan punggungnya di sofa.
Tiba-tiba Amel datang dan menghampiri, "Lho, ibu kok belum tidur? Ini sudah malam, Bu. Istirahat di kamar, Bu!" Ucap Amel menghentikan lamunan wanita tua itu.
"Iya, Mel. Kamu mau kemana?" tanya bu Halimah.
"Nggak ke mana-mana, Bu. Tuh, mau nutup pintu dan jendela. Kan sudah malam. Kirain ibu tadi sudah tidur, ternyata masih duduk di sini. Lagi mikir apa, Bu? Serius amat kelihatannya??" tanya Amel sambil tersenyum di sudut bibirnya.
"Nggak mikir apa-apa, Mel. Ibu cuma capek saja. Ayo kalau sudah ditutup semua, kamu juga cepat tidur ya! Besok kamu juga harus kerja kan, Mel?" Ucap bu Halimah sambil berdiri pelan-pelan dari duduknya.
"Iya, Bu." Aku juga sudah ngantuk berat." Jawab Amel berlalu menuju pintu depan dan segera menguncinya.
***
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
Storie d'amoreSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...