BAB 76. PENGECUT

669 36 7
                                    

Mentari pagi tersenyum manis pada seluruh penghuni alam semesta. Memberi semangat dan kehangatan di setiap insan yang mempunyai asa. Menyibakkan kegelapan malam yang membuat terlelap dan nyenyak dalam buaian mimpi indah. Kini saatnya berdiri dengan tegak menghadapi tantangan dan ujian hingga membuka tabir hikmah sang Kuasa.

Alma masih duduk di pinggir ranjang, ia tak segera beranjak dari selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Ada yang mengganggu pikirannya sejak kemarin. Ia sedang merasakan perang batin dalam mengambil keputusannya hari ini. Itu salah satu sebab, mengapa ia tak begitu semangat seperti hari-hari sebelumnya.

"Sayang, lagi mikirin apa? Serius amat??" tanya Yunan yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Hmm... pagi ini rencana mau ngadain rapat dengan pengurus yayasan, mau bahas tentang Heni. Kemarin tuh, Heni ketahuan memalsukan nota dan laporan keuangan. Sebelumnya juga ada masalah dengan anak didik, dia bentak-bentak sambil menggedor meja. Ini kan sudah keterlaluan, Mas?" Jawab Alma dengan penjelasan yang sangat gamblang.

"Wah... harus di tindak tegas kalau udah kayak gitu! Nggak usah pikir panjang, nama baik sekolah harus jadi prioritas." Yunan melangkah mendekati Alma sambil memberi dukungan.

"Iya, Mas. Kenapa ya? Aku masih aja diketemukan dengan Heni. Jadi ada masalah lagi akhirnya kan? Padahal aku udah males lihat mukanya sejak awal ia masuk menjadi guru di situ." Jawab Alma dengan memasang muka masam.

"Yang sabar ya, Sayang. Itu namanya ujian hidup. Kamu udah di percaya sama Tuhan bisa mengatasi semuanya dengan sabar dan lapang dada." Yunan duduk di sebelah istrinya dengan kasih sayang dan merangkulnya agar bisa menghadapi masalahnya dengan lebih ikhlas.

"Makasih ya, Mas. Kamu selalu memberi ku motivasi dan kekuatan ketika aku menghadapi masalah. Kalau saja nggak ada kamu, mungkin aku nggak bisa sekuat ini." Alma menyandarkan tubuhnya di dada bidang Yunan dengan manja.

"Sama-sama, Sayang. Jangan pancing aku gini dong! Aku paling nggak tahan kalau kamu bermanja kayak gini. Bisa-bisa adik kecil ku jadi menantang jadi gede dan mau masuk sarang lagi nih. Apa nggak bahaya??" Goda Yunan sambil menoel hidung Alma.

"Iiiih... nggak ah, aku mau mandi dulu, Mas. Nanti jadi kesiangan gimana?" Buru-buru Alma berdiri dari nyendernya, lalu gegas melangkah menuju kamar mandi dengan senyum manisnya.

Melihat tingkah istrinya itu, Yunan membalas dengan senyumnya yang bikin wajahnya berseri-seri. Pasangan yang sudah nggak muda lagi ini masih tegangan tinggi, boleh terbilang pengantin belum lama, jadi interaksi antara keduanya mudah sekali terjadi kehangatan hingga pelepasan birahi saat bertemu setiap hari. Dari sinilah salah satu penguat kokohnya sebuah pernikahan, selain saling menghargai dan mencintai.

***

"Sudah jam 7 tepat, bu Heni belum datang juga. Padahal kemarin sudah janji akan menyelesaikan kekisruhan yang dibuatnya." Ucap Alma pada Niken.

"Hmm... Jangan-jangan memang sengaja melarikan diri dari masalah. Karena sudah kebuka kedoknya." Jawab Niken dengan mengernyitkan dahinya.

"Bisa jadi tuh. Sudah ketahuan belangnya, jadi bingung nyari alasan lagi." Sahut Ida dengan muka masam.

Tet... tet... tet...

Bel masuk telah dibunyikan, tapi sosok Heni belum muncul juga. Akhirnya Alma menggantikan menjadi guru kelas tempat Heni biasanya mengajar.

Hari ini murid-murid dipulangkan lebih awal, karena akan diadakan rapat antara guru dan yayasan. Apa yang di bahas? Tentu mengenai nasib Heni selanjutnya.

Akhirnya rapat pun di mulai dengan tanpa kehadiran Heni. Alma menceritakan masalah yang terjadi pada pengurus yayasan yang hadir. Para guru memberikan kesaksian atas apa yang di uraikan Alma.

"Jadi bu Heni melakukan tindakan keras pada siswa dan memanipulasi uang sekolah? Kemana sekarang bu Heni? Kenapa tidak ikut rapat?" tanya pak Ahmad ketua yayasan.

"Kami nggak menerima pemberitahuan dari bu Heni. Tadi saya coba telepon juga nggak di angkat," kata Alma yang sebelumnya menghubungi mantan sahabatnya itu, tapi tak ada jawaban.

"Hmm... apa memang sengaja ingin lari dari masalah ya???" tanya Ida yang sengaja mengeraskan suaranya.

"Bisa jadi," sahut Niken sambil mengernyitkan alisnya.

Setelah mendengar penjelasan dari Alma dan diperkuat oleh beberapa guru sebagai saksi, akhirnya pihak yayasan memutuskan Heni diberhentikan menjadi guru di sekolah itu dengan tidak terhormat. Selain itu ada tindak lanjut pengembalian sejumlah uang yang dibawa oleh Heni saat menjadi ketua panitia.

"Maaf Pak, kalau bu Heni nggak sanggup mengembalikan uang itu, bagaimana?" tanya Niken.

"Pertama kita coba dengan cara kekeluargaan. Jika ini sudah bisa diselesaikan maka nggak akan terjadi tindakan yang kedua." Jawab pak Ahmad dengan tegas.

"Kalau cara yang pertama gagal, apa tindakan yayasan selanjutnya, Pak??" tanya Alma karena penasaran.

Mendengar pertanyaan Alma barusan, pak Ahmad menghela napas dalam-dalam, lalu sedikit mendongakkan kepalanya sambil betkata, "Dengan terpaksa kami akan bertindak secara hukum. Agar peristiwa ini nggak akan terjadi lagi dan bertujuan memberi efek jera pada pelaku."

Mendengar jawaban pak Ahmad, semua guru yang hadir dalam rapat nampak kaget dan membelalakkan kedua matanya.

"Sekian dulu rapat siang hari ini, semoga keputusan ini dapat memberikan kebaikan pada kita semua." pak Ahmad menutup acara.

Bagaimana jika kabar ini sampai pada telinga Heni? Apakah wanita yang tak punya malu ini tetap kekeh membela diri? Lalu bagaimana jika kabar ini terdengar oleh Anton dan keluarganya??

Sementara Anton juga sudah tak ada rasa sayang pada Heni sedikit pun, ia sudah punya seseorang yang sangat istimewa dihatinya. Suami Heni ini pun sudah bertekad ingin mempersunting Yuanita dan secepatnya menjadikan istri sahnya.

Seperti hari itu, walaupun Anton pulang sebentar untuk sekedar ganti baju, tapi ia tak sekali pun menengok anak dan istrinya. Di hatinya hanya tersemat dengan indah satu nama Yuanita.

"Bu, aku ingat pesan ayah sebelum meninggal. Kalo ada sebidang tanah yang diwariskan  padaku. Apa ibu masih ingat?" tanya Anton sembari duduk di depan bu Halimah.

"Iya, Ton. Tanah itu sudah diatasnamakan kamu. Sertifikatnya ibu simpan. Ada apa tiba-tiba kamu tanyakan tentang hal itu?" Bu Halimah terkejut.

"Gini, Bu. Sebentar lagi aku akan menceraikan Heni. Karena Heni bukan menantu yang baik buat ibu. Aku kasihan lihat ibu diperlakukan Heni seperti itu." Anton mulai mencari-cari kambing hitam untuk memuluskan niatnya menikahi wanita idamannya.

"Anton??? Apa kamu nggak kasihan sama anakmu??? Trus, apa hubungannya dengan tanah warisan itu???" deretan pertanyaan bu Halimah menunggu jawaban.

"A... aku lebih kasihan melihat ibu tersiksa punya menantu Heni. Soal anakku, biar Heni yang urus, nanti aku bisa kirim jatah bulanan untuk keperluan anak ku." Jawab Anton tergagap.

"Lalu, kenapa kamu tanyakan tanah warisan?" Bu Halimah masih butuh jawaban.

"Hmm... A...aku berniat menggadaikan tanah itu untuk modal buka usaha. Karena kalau bekerja ikut orang, susah menjadi orang kaya. Aku ingin merintis usaha seperti ayah, Bu." Jawab Anton sangat meyakinkan.

"Apa kami yakin, bisa usaha sendiri? Karena selama ini kamu belum pernah seperti itu??" tanya bu Halimah masih ragu dengan kemampuan putranya.

"Aku yakin, Bu. Kalau kita berusaha keras, pasti akan berhasil. Yang penting ibu selalu mendukung dan mendoakan usaha ku." Jawab Anton dengan tatapan penuh harap pada sang ibu.

***

BERSAMBUNG... 

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang