Awan berarak-arak menyelimuti warna biru berubah menjadi kelabu. Seakan menggambarkan guratan kesedihan yang di alami Alma saat ini.
Semua pelayat telah meninggalkan tempat pemakaman. Keluarga Yunan, para tetangga, teman-teman guru Alma dan para pegawai Yunan pun turut mengantarkan ke tempat peristirahatan almarhum pak Rudi.
Setelah prosesi pemakaman ayahandanya yang telah meninggalkan dunia untuk selama-lamanya, Alma belum beranjak dari duduknya. Duduk di sebelah batu nisan pak Rudi dengan gundukan tanah makam yang masih basah. Taburan bunga mawar dan kamboja menghiasi pemakaman ayah Alma itu.
Wanita cantik ini sudah tak mengeluarkan air mata, tapi guratan kesedihan di wajahnya masih tergambar jelas. Tiara dengan setia mendampingi sang mama yang masih diam menundukkan kepala di kuburan kakeknya.
Tiara adalah cucu satu-satunya dari pak Rudi. Tapi gadis remaja ini belum sempat bertemu dan mengenal lebih dekat dengan sang kakek. Ia hanya mendengar cerita dari mamanya, tentu saja cerita tentang kebaikannya. Alma tak ingin membuka aib orang tuanya. Biarlah itu menjadi kisah sedih baginya dan sekaligus pelajaran yang berharga di sepanjang perjalanan hidupnya. Ia berjanji akan selalu mengubur masa lalu kelam orang tuanya pada Tiara.
"Mama... ayo kita pulang, Ma! Papa Yunan dan Angga sudah menunggu lama di mobil. Matahari juga sudah makin tinggi." Tiara memegang tangan mamanya sambil memandang wajah wanita disampingnya itu dengan tatapan teduh.
"Iya, Tiara." Alma segera berdiri dari duduknya. Pelan-pelan ia mulai membalikkan badan, sambil menghela napas panjang. Seakan masih berat meninggalkan makam ayahnya yang nampak sunyi.
Tiara menggandeng tangan kanan mamanya. Ia tak ingin bersuara, hanya genggaman tangan yang bisa ia berikan pada Alma, sebagai penguat dan ungkapan sayang anak pada sang mama.
Setelah tiba di depan mobil, Yunan segera membukakan pintu untuk Alma. Istri cantiknya ini segera masuk mobil dan duduk dengan tenang, tapi masih dengan tatapan kosong.
"Kita pulang ya, Sayang! Besok kalau mau ziarah ke makam ayah, aku temenin." Yunan menatap wajah istrinya dengan tatapan hangat, ia paham atas kesedihan yang dirasakan istrinya.
"Iya, Mas. Makasih." Kini Alma mulai tersenyum di sudut bibirnya.
Mereka berempat akhirnya pulang kembali ke rumah.
***
"Assalamualaikum," ucapan salam dari mulut Adel mengagetkan Heni yang masih menyusui bayinya di ruang tengah.
"Waalaikum salam," jawab Heni sambil berdiri dan berjalan menggendong putri kecilnya. Ia melangkah menuju ruang tamu, untuk memastikan kalau adik iparnya yang datang. Suara Adel sudah sangat di hafal oleh Heni.
"Adel, ibu, dan Mas Anton??? Syukurlah... kalau Mas Anton sudah diperbolehkan pulang." Sambut Heni dengan senyum sumringah melihat tiga orang yang sangat diharapkan cepat pulang, akhirnya kesampaian.
"Aku mau istirahat dulu, Bu. Kepalaku masih sedikit pusing. Tolong Hen... buatkan aku teh hangat, ya!" ucap Anton yang kali ini membuat hati Heni berbunga-bunga. Setelah berminggu-minggu ia tak dianggap, akhirnya lelaki yang sangat dicintainya itu, menyebut namanya seperti dulu.
"Mas Anton??? Kamu sudah sembuh??? Iii... iya Mas, aku akan buatkan teh hangat untukmu." Tanpa pikir panjang, Heni berjalan cepat menuju kamar untuk meletakkan bayinya, lalu gegas menuju dapur, segera membuat teh hangat pesanan Anton, suami gantengnya.
Tangan Heni sedikit bergetar, ia tak menyangka kalau kesembuhan suaminya bisa secepat itu, lebih cepat dari prediksi dokter. Ia mengambil sebuah gelas yang biasa di pakai Anton, menaruh sesendok gula pasir ke dalamnya. Air panas yang sudah di seduh dengan teh telah siap dimasukkan ke dalam gelas tersebut. Ia mengaduk-aduk teh hangat dengan riang gembira.
Matanya berbinar memancarkan kesenangan dalam hatinya. Ia segera melangkah masuk ke dalam kamar Anton dengan membawa segelas teh hangat. Dengan senyum manisnya, ia meletakkannya di nakas sebelah ranjang Anton.
"Makasih, Hen. Tolong bawa sini tehnya, aku ingin meminumnya hangat-hangat dan istirahat sebentar." Heni segera mengambilkan dengan wajah berseri-seri. Tatapannya tak mau lepas dari wajah ganteng Anton.
"Mas Anton mau apa lagi?" tanya Heni dengan manja.
"Ini dulu aja, ya. Makasih. Aku mau istirahat, biar pusing di kepala ku segera aembub." Anton menyerahkan gelas yang masih tersisa sedikit teh hangat di sana.
"Oo... iya, Mas." Heni menerima gelas itu dengan tatapan tajam. Walau ia sedikit kecewa atas sikap Anton barusan, karena apa yang diharapkan belum kesampaian. Ya... Heni sangat merindukan pelukan dan ciuman hangat dari suaminya. Tapi Anton belum bisa memberikannya saat itu.
'Masih banyak waktu, aku harus sabar menunggu waktu tepat. Hmm... malam ini aku sudah bisa tidur di samping mas Anton,' ucap Heni dalam hati. Ia sudah berfantasi agar bisa menghabiskan waktu malamnya bersama suami yang baru saja pulih dari ingatannya.
Istri Anton segera keluar dari kamar Anton. Ia memilih tidak mengganggu istirahat suaminya, dengan harapan nanti malam bisa makin sehat dan berkangen-kangenan dengannya.
"Del... aku akan pindah kamar mulai malam ini. Kamu bisa menempati kamarmu kembali." Ucap Heni yang berpapasan dengan adik iparnya ketika berjalan ke dapur.
"Hmm... kamu yakin, Mas Anton sudah pulih benar??? Kalo kamu tiba-tiba nggak dianggap lagi, gimana???" tanya Adel dengan mulut mencibir. Ia ingin menggertak kakak iparnya itu.
"Aku yakin, Mas Anton sudah pulih ingatannya. Kamu nggah usah khawatir, Del. Tadi di kamar, Mas Anton sudah memandangku seperti dulu." Jawab Heni penuh percaya diri.
"Pede amat?!! Ya... syukurlah kalo gitu. Semoga Mas Anton cepat pulih dan bisa segera beraktifitas seperti biasanya." Harap Adel sambil mengernyitkan alisnya.
Heni segera mengemasi pakaian dan barang-barangnya yang ada di kamar Adel. Ia bersihkan dan rapikan dengan semangat empat lima.
"Hmm... semangat amat." Ledek Adel melihat kakak iparnya itu pontang-panting memasukkan beberapa barang ke dalam kardus. Lanjut menyapu dan mengepel kamar Adel tanpa henti.
"Aku seneng sekali, Del. Akhirnya Mas Anton bisa seperti dulu lagi. Apa kamu nggak suka, melihat Mas mu sembuh?" tanya Heni sembari mendongakkan kepalanya ke arah Adel yang cuma berdiri melihat ia menyelesaikan pekerjaannya.
"Ya pasti seneng... lah. Aku sudah nggak capek-capek lagi antar ke rumah sakit buat berobat, kontrol, juga mendampingi Mas Anton setiap ada tamu." Jawab Adel sambil menyedekapkan kedua tangannya di atas dada.
"Kira-kira Mas Anton, sudah tau nggak, kalo sekarang sudah lahir anaknya. Kan waktu itu, Mas Anton nggak mengakuinya?" Heni menghentikan kegiatannya. Ia mulai gusar dengan keberadaan putri kecilnya yang masih belum diperkenalkan kembali pada Anton.
"Pelan-pelan, Hen. Nanti kalo Mas Anton sudah bangun dari tidurnya, kamu bawa Putri Maharani ke hadapan papanya." Nasehat Adel pada kakak iparnya. Kali ini Heni memperhatikan nasehat Adel dengan baik.
"Iya, Del. Aku pasti akan melakukannya." Jawab Heni dengan tersenyum.
***
BERSAMBUNG...
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
RomansSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...