BAB 154. DI TEPI JURANG

377 17 1
                                    

Suasana dini hari itu bikin  merinding bulu kuduk bik Yana. Wanita paruh baya itu memberanikan  diri mengintip di sela-sela pintu ketika sudah dipastikan tuannya tak berada dalam villa lagi.

Tampak dari balik pintu sekitar lima meter dari pandangannya, dua buah mobil meninggalkan villa dengan penuh misteri.

POV BIK YANA

'Akan ada apa lagi setelah ini, duh Gusti? Apakah teman wanita tuan Bagas akan dibunuh seperti kala itu? Tapi kenapa tuan Bagas selalu melakukannya, padahal dia nampak baik pada setiap tamunya? Aku dan Roni juga diperlakukan dengan semestinya. Tapi memang tak dipungkiri, tuan Bagas memang sangat temperamen, jika kemauannya tak segera dipatuhi, itu saja menurut ku.

Hmm... tapi ada yang membuat ku janggal dengan kamar yang ditempati tuan Bagas. Kenapa tak ada seorang pun yang di ijinkan masuk ke sana. Bahkan aku yang tugasnya membersihkan seluruh ruangan saja, ikut tak boleh masuk ke kamar pribadinya itu.

Aneh?! Apa ada sesuatu yang disembunyikan di tempat itu? Entahlah?? Mikir gini kepala ku jadi pusing.'

Bik Yana masuk ke dalam villa dan menutup pintunya depan rapat-rapat. Ia melanjutkan pekerjaan yang biasanya ia lakukan di villa itu.

Kali ini menyapu seluruh ruangan di lantai satu dan lantai dua menjadi pilihan untuk mengawali tugasnya.

'Aku akan menyapu lantai atas dulu. Setelah itu baru akan ku sapu lantai dua. Mumpung tuan Bagas dan Roni belum pulang, semua akan kubereskan.'

Lalu ia melangkah menapaki tangga mewah menuju lantai atas sambil membawa sapu sebagai alat untuk membersihkan.

Villa ini sebenarnya juga tak begitu kotor, hanya sedikit debu yang menempel di lantai. Jadi hanya di sapu sekedarnya saja, pasti sudah bersih kembali.

Setelah membersihkan beberapa kamar yang ada di lantai atas, tibalah bik Yana sampai depan pintu kamar pribadi tuan Bagas.

'Ini kamar tuan Bagas. Selalu terkunci dan gelap. Tapi, kenapa pagi ini kamarnya nampak terang ya? Apa tuan Bagas lupa memadamkan lampunya? Aku jadi penasaran, ada apa di kamar tuan Bagas ini sebenarnya. Sampai semua orang di larang masuk ke sana.'

Lalu bik Yana mengintip di lubang kunci kamar itu, tapi ternyata dia sangat kaget. Setelah tak sengaja tubuhnya mendorong pintu itu, ternyata tidak di kunci.

DEG! 

Seakan degup jantung bik Yana berhenti sejenak saking kagetnya. Karena tak seperti biasa, pintu kamar tuannya itu dibiarkan tanpa terkunci seperti pagi ini.

'Lho... pintunya ndak di kunci to? Welah dalah... kok tumben tuan Bagas. Apa aku masuk saja ya, biar tau isinya apa saja dalam kamar ini? Biar aku ndak bertanya-tanya terus dan selalu penasaran.'

Bik Yana mulai membuka pintu kamar tuannya dengan sangat hati-hati dan dada bergemuruh karena takut ketahuan.

'Pasti aman. Sudah ndak ada siapa-siapa di villa ini. Setahu ku ndak CCTV di lantai atas, alat itu cuma di padang di lantai dasar saja. Hmm... kenapa aku deh degan ya?'

Setelah pintu itu di buka, aroma wangi yang sangat kuat sudah tercium dan membuat bik Yana makin bergidik.

'Wangi sekali kamar ini? Wanginya sangat menyengat hidung ku, hmm... bikin kepala ku pusing, ahhh.'

Lalu bik Yana melanjutkan langkahnya makin masuk ke dalam kamar itu. Selangkah, dua langkah, tiga langkah... dan ia berhenti sejenak setelah melihat ada yang aneh di depan matanya. Ya... terpampang di sana, sebuah peti kayu berukir sangat indah, membuat bik Yana makin penasaran.

'Kotak apa itu? Seperti sebuah peti?? Bagus sekali ukirannya, pasti sangat mahal. Kenapa tuan Bagas menyimpan peti itu dalam kamar? Kira-kira apa isinya?'

Deretan pertanyaan memenuhi isi kepala wanita yang sudah di percaya tuannya sejak ia miliki villa mewah itu, sekitar lima tahun lalu. Ketika istri Bagas meninggal dunia.

***

Hawa dingin puncak bukit membuat tubuh Yuanita menggigil. Kakinya sampai mengkerut dan jari-jemari tangannya pucat menahan rasa dingin yang menyerang sekujur tubuhnya.

Ditambah lagi suhu badannya agak tinggi, karena hampir seluruh tubuhnya dipenuhi luka dan beberapa bagian menjadi lebam-lebam.

Ia tak berani banyak tanya, namun perlakuan yang ganjil pagi ini terpaksa menuntutnya berani mengajukan pertanyaan.

"Ki... kita mau kemana? Kenapa aku nggak keluar dari mobil ini? Apa kalian mau mem... bu...nuh...ku? Apa aku akan kalian masukkan jurang di depan itu, hah??"

Suaranya bergetar dan terbata-bata karena rasa takut yang mendera. Tapi semua pertanyaannya tak ada yang mau menjawab.

Tiba-tiba terdengar suara Bagas dengan lantang memerintahkan pada Roni.

"Ron, pindahkan wanita itu di kursi sopir! Lalu lepaskan ikatan tali di tangannya! Cepat!!"

Teriak Bagas dari belakang mobil yang ditumpangi Yuanita.

Tanpa menjawab perintah tuannya, Roni langsung melakukan tugasnya sesuai perintah.

Ia membuka pintu mobil dan membantu Yuanita keluar sebentar, lalu Yuanita di papah masuk kembali ke dalam mobil, di dudukkan di belakang setir. Setelah itu tali yang mengikat erat di tangan Yuanita segera dilepaskan oleh Roni sesuai komando tuannya.

"Tolong jawab pertanyaan ku! Bagas!! Apa salah ku? Kenapa kamu perlakukan aku seperti ini? Hik... hik..."

Yuanita melantangkan suaranya agar biasa di dengar lelaki yang kini ada di samping mobilnya sambil tersenyum menatapnya di balik kaca mobil yang sengaja di buka separuh oleh Roni.

"Dengar wanita jalang! Aku paling benci dengan wanita penggoda seperti kamu Nita. Wanita yang suka merayu dan sok cantik seperti kamu. Puas dengan jawaban ku, Nita. Ha ha ha..."

Bagas tertawa terbahak-bahak sambil menatap benci pada wanita yang sudah siap ia musnahkan pagi ini.

"Lakukan Roni, sekarang! Cepat!!!"

Suara Bagas memberi komando pada sopir pribadinya.

Roni menstater mobil merah usang itu, lalu menekan gas sekenceng-kencengnya. Dan... mobil itu bergerak dan meluncur cepat melesat ke jurang yang ada di bawah puncak bukit.

"Toloooong... toloooooong," teriakan Yuanita memecah keheningan puncak bukit itu.

Kini tubuh Yuanita sudah meluncur ke bawah bersama dengan mobil yang dikendarainya.

"Ayaaaah... tolong aku ayaaaah!!! Anak ku... maafkan aku, Nak. Aku banyak salah sama kamu. Mas Antoooon... tolong akuuuuu!!!"

Tak hentinya-hentinya Yuanita minta tolong dan menyesali perbuatannya yang telah lalu.

Kini dalam pikirannya hanya ada wajah pak Zaini, bayi mungilnya dan Anton yang menyayanginya dengan tulus.

Tapi, pintu maaf sudah tak berarti lagi. Kala detik-detik kematian Yuanita sudah di ambang pintu.

Tak berapa lama terdengar suara ledakan keras dari jurang bawah bukit, setelah mobil merah usang itu meluncur ke arah sana.

DUARRR... DUAARRR... DUAAARRRR

"Aaaaaaaaah," Suara lengkingan Yuanita mengakhiri hidupnya yang sangat tragis pagi itu.

Tak pernah ada yang nyangka kalau wanita dengan sejuta harapan di masa depannya itu, kini telah pergi dengan misteri.

***

BERSAMBUNG

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang