Anton menutup kamarnya dengan kasar, namun karena tak begitu bertenaga, suara hentakan pintu itu tak begitu keras. Ia segera membanting tubuhnya ke atas kasur sambil berteriak sekuat tenaga.
"Aaaahhhhhh... Kenapa ini bisa terjadi, Tuhaaaannnn?????!!!!!" Lengkingan suaranya sampai pada telinga seisi rumah yang ada di ruang tamu.
Mendengar teriakan Anton, bu Halimah makin sedih, hatinya hancur luluh lantak, tangisannya kini makin menjadi. "Maafkan ibu... maafkan ibu, Antooonnn..." Pinta bu Halimah sambil sesenggukan meratapi nasibnya.
Melihat ibunya yang makin lemah, Amel segera memberi rangkulan pada bahu bu Halimah. "Tenang, Bu. Mas Anton akan baik-baik saja. Benar kata pak Zaini, biarkan Mas Anton menenangkan diri di kamar. Apa ibu mau ke kamar juga???" Ucap Amel membantu duduk bu Halimah agar bisa senyaman mungkin.
Sebenarnya Amel juga sakit mendengar kejujuran ibunya, tapi putri bu Halimah ini nggak tega melihat ibunya terus-terusan menangis dan menyesali perbuatannya.
Bu Halimah belum sempat menjawab pertanyaan Amel. Pak Zaini malah ingin segera meninggalkan rumah itu, karena di rasa cukup dan biar bisa menenangkan pikirannya juga.
"Halimah, aku dan anak-anak pamit pulang dulu. Besok aku akan ke sini lagi. Semoga Anton bisa menerima kenyataan ini dengan lapang dada. Dan kamu Halimah, sebaiknya istirahat dulu di kamar. Jangan terlalu menyalahkan dirimu, karena situasi waktu itu yang membuatmu memilih untuk menyembunyikan semuanya. Istirahatlah... agar pikiran dan hatimu bisa tenang!" Ucap pak Zaini dengan bijak sambil menatap wajah bu Halimah dengan tatapan lembut.
"Iya, Zaini. Maafkan aku ya..." Pinta bu Halimah dengan suara lirih.
"Iya, Halimah. Aku sudah memaafkan kamu. Sebenarnya, kamu bukan satu-satunya orang yang bersalah dalam masalah ini. Tapi... aku juga merasa bersalah padamu. Karena setelah kamu menikah, aku memutuskan pergi jauh-jauh dari kampung ini. Agar bisa melupakan semuanya, hingga aku tak tahu, kalau kamu sudah mengandung anakku." Ucap pak Zaini penuh penyesalan.
Kedua orang tua itu saling minta maaf dan mengutarakan penyesalan atas peristiwa yang terjadi. Baik bu Halimah maupun pak Zaini, sudah bisa menerima dengan baik, namun beda lagi dengan Yuanita, terutama Anton.
"Bu Halimah, saya mau pamit pulang dulu." Ucap Yuanita menyalami sekaligus mencium punggung tangan bu Halimah dengan takzim. Diikuti dengan Erik yang nampak enggan mengucapkan kata-kata. Ia hanya menyalami dan mencium tangan bu Halimah, seperti yang dilakukan kakaknya.
"Aku pulang dulu, Halimah." Pak Zaini mengulurkan tangannya, lalu bu Halimah menyambutnya dengan genggaman hangat tanda butuh dukungan atas masalahnya saat ini.
"Iya...Zaini." Jawab bu Halimah dengan tatapan teduh.
Akhirnya ketiga tamunya itu meninggalkan rumah dengan mengendarai Ertiga silver yang sedari tadi parkir di halaman rumah Anton.
Selanjutnya Amel menuntun bu Halimah masuk ke dalam kamar. Tapi tiba-tiba terdengar suara kaca yang di hantam keras.
PYAAARRR...
Amel dan bu Halimah menghentikan langkahnya.
"Oooh... suara apa itu??? Sepertinya dari kamar Mas Anton, Bu." tanya Amel sambil mendongakkan kepalanya melihat pintu kamar kakaknya yang tertutup rapat.
"Antooonnn... Apa yang kamu lakukan, Nak???" Bu Halimah berteriak memanggil nama putra kesayangannya itu.
"Oek... oeeek... oeeeekkk..." tangisan Putri, anak dari Anton yang juga kaget dengan suara keras barusan, hingga membangunkan tidurnya yang nyenyak.
Cepat-cepat Amel mempercepat langkahnya menuju kamar kakaknya. "Aku ke kamar Mas Anton dulu, Bu." Pamit Amel setelah mengantar ibunya istirahat di kamar.
"Iya, Mel." Jawab bu Halimah dengan cemas.
Amel segera berjalan setengah berlari saking paniknya. 'Apa yang dilakukan Mas, Anton???' bisik Amel dalam hati.
Sesampainya di depan pintu kamar Anton, Amel segera mengetuknya dengan keras.
Tok tok tok...
"Mas... Mas Anton... Mas...!!! Buka pintunya, Mas!!! Apa yang kamu lakukan???" Teriak Amel agar bisa di dengar olek kakaknya.
Namun usahanya sia-sia. Anton tak membuka pintu kamarnya apalagi menjawab pertanyaan adiknya itu.
Amel tak putus asa, ia mencoba menggedor pintu kamar kakaknya sekali lagi.
Dorrr... doorrrrr...
"Mas Antooon... Tolong buka pintunya, Mas. Kamu jangan melakukan hal yang bodoh ya!!! Ingat, Mas... ada Putri yang butuh kamu!!! Mas Anton!!!" teriak Amel berkali-kali memanggil nama kakaknya yang tetap membisu dalam kamar.
BRAAAKKK... PYAAARRR... BRAAANG...
Suara gaduh berulang-ulang terdengar dalam kamar yang ada di depannya. Amel makin panik tak bisa membuka pintu dengan tenaga seadanya.
Beberapa saat kemudian, Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka.
Ceklek.
"Mas Antooon...?!?! Apa yang kamu lakukan, Mas???" tanya Amel kaget melihat wajah dan rambut Anton yang acak-acakan tak karuan.
Pandangan mata Anton nampak kosong dan sayu. Tapi apa reaksi Anton setelah mendengar pertanyaan adiknya itu???
"Ha ha haaaa... aku mau ke rumah Nita, sudah lama aku nggak ketemu kamu. Aku kangen banget, Sayang. Hahahaaa..." Anton tertawa terbahak-bahak sambil melangkah gontai keluar kamarnya.
"Mas... Mas... sadar, Mas!!! Kamu kenapa seperti ini??? Tanganmu terluka kena pecahan kaca, Mas." Ucap Amel menggoyang-goyang lengan Anton agar bisa sadar atas kelakuannya yang nampak aneh.
Jari-jemari tangan kanan Anton mengeluarkan banyak darah, pecahan kaca dalam kamarnya telah melukai beberapa jarinya.
Lalu Amel melihat keadaan kamar kakaknya. "Ya... Tuhan... Apa saja yang kamu lakukan, Mas??? Serpihan kaca berserakan, kursi berantakan, kasur kamu acak-acak nggak karuan. Mas... sadar Mas. Kamu telah melukai dirimu sendiri, ini bahaya Mas!!!" Amel memindai seluruh kamar itu dengan seksama.
Tapi, Anton tak menghiraukan nasehat adiknya itu. Ia malah berjalan meninggalkan kamar dengan darah yang menetes dari jarinya di sepanjang langkahnya.
"Kamu mau kemana, Mas??? Ini sudah malam. Mas Anton berhenti!!! Lihat aku!! Sadaaar...!!!" Amel buru-buru mempercepat langkahnya menghampiri Anton dan mencegat langkah kakaknya itu dengan sekuat tenaga.
"Minggir kamu, hahahaaa... aku mau ketemu calon istriku. Nitaaa... tunggu aku, Sayang. Aku akan menemuimu bentar lagi. Hahahaaa...." Ucap Anton sambil tertawa terbahak-bahak.
Kelakuannya susah tak wajar lagi. Karena syok yang baru saja di alami, membuat Anton kehilangan kesadarannya dalam bertindak dan berpikir. Wajahnya yang tampan, sudah amburadul tak karuan.
"Astaghfirullah... Mas Anton. Kamu sadar, Mas!!? Sini aku tuntun duduk ya, Mas." Ajak Amel dengan sabar. Walau ia kaget melihat perubahan sikap Anton, tapi Amel berusaha menenangkan diri demi membantu kakaknya agar bisa istirahat dan berpikir dengan tenang.
Akhirnya, karena tubuhnya yang lemah, Anton menurut saja perintah adiknya itu. Amel menuntun Anton duduk di sofa panjang di ruang tengah dengan melangkah pelan. Karena tubuh Amel lebih kecil dibandingkan dengan tubuh Anton.
"Duduk sini dulu, Mas! Aku akan ambil obat merah dan perban untuk mengobati luka di tanganmu." Ucap Amel, lalu gegas berlari mencari benda yang di maksud.
Sementara Anton mendudukkan bokongnya dengan lemas, tatapan matanya sayu namun kosong. wajahnya pucat dan tak berdaya.
"Nita, aku sayang kamu. Tunggu aku ya, Nita." Suara Anton lirih. Tapi tiba-tiba ia sedih dan meneteskan air mata.
***
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
RomanceSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...