BAB 105. BELUM ADA KABAR

332 17 4
                                    

Menu sarapan sudah tersedia di meja makan. Aroma beberapa masakan menyeruak memenuhi ruangan, hingga menggoda setiap hidung yang menciumnya. Apalagi perut yang telah lapar menanti asupan nutrisi guna mengisi kekosongan perut dan tenaga.

"Mas Yunan... Yuk sarapan dulu!" Ajak Alma dengan memasang senyum manisnya.

"Wah... ini ajakan yang ku tunggu dari tadi. Perut ku sudah menari-nari ingin di isi. Kamu memang paling ngerti keinginan ku, Sayang." Jawab Yunan dengan wajah sumringah.

Sesampainya di meja makan, ternyata sudah menanti dua anak muda yang sedang duduk manis di sana. Mereka berdua nggak akan mau sarapan, sebelum Papa dan Mamanya berada di meja makan juga. Ini sudah menjadi kebiasaan keluarga Yunan. Kelihatan sederhana, tapi dari sinilah cerminan kebersamaan antara anggota keluarga. Adanya saling menghargai dan menyayangi satu sama lain, yang mungkin sudah jarang ada di kalangan keluarga modern saat ini.

"Hmm... pasti enak nih masakan Mama." Yunan memang paling bisa memberi sanjungan pada istri tercintanya. Justru itulah yang membuat jalinan cinta kasih suami istri makin lekat dan tak mudah goyah di terpa badai ujian apapun.

"Ini tadi yang masak bik Ina, Mas. Aku cuma kebagian masak sambel goreng kentang." Ucap Alma agak tersipu.

"Nggak masalah, Sayang. Yang penting kita makan bersama dengan anak-anak seperti ini. Selalu rukun dan saling menyayangi. Betulkan, Angga, Tiara??" tanya Yunan ingin tahu pendapat kedua anaknya itu.

"Iya, Pa. Perutku udah lapar banget nih. Boleh langsung makan ya?" Ucap Angga dengan muka lucu.

"Hehehee..." Mendengar jawaban Angga, ketiganya tertawa hingga menyibak keheningan di ruang makan pagi itu.

Selesai sarapan, Yunan berjalan ke teras untuk menikmati udara pagi didampingi Alma yang sudah siap-siap menanyakan sesuatu padanya.

Di halaman rumah telah tumbuh beberapa tanaman hias yang sebagian sudah bermekaran bunganya. Hingga mempercantik penampilan rumah Yunan yang lumayan besar.

Lalu Yunan memilih mendudukkan bokongnya di kursi rotan yang tertata rapi di teras. Dan Alma mengikuti di sebelahnya dengan wajah berseri-seri.

"Mas... aku mau tanya sesuatu. Tapi... kamu jangan salah sangka ya?" Ucap Alma membuka percakapan mereka.

"Iya, Sayang. Kok ada jangan salah sangkanya? Jadi penasaran nih." Jawab Yunan mengernyitkan dahinya.

"Apa Mas Yunan tahu kabar terakhir Anton, ayah Tiara. Hmm... dia kan satu kantor sama kamu. Pasti kamu tahu." Ucap Alma.

"Ooo... tentang Anton. Terakhir ketemu, Anton baik-baik aja. Malah dia sangat bersemangat dalam bekerja. Karena bentar lagi dia sama Yuanita sekretaris ku, mau ngadain acara lamaran. Trus rencananya nggak nunggu waktu lama, mereka berdua anak menikah. Kenapa tiba-tiba kamu nanyain dia?? Kangen ya???" Tanya Yunan mancing-mancing.

"Tuh kan... tadi kan udah ku bilang. Jangan salah paham dengan pertanyaan ku, Sayang! Kenapa aku tanyain ini? Karena tadi pagi Tiara cerita ke aku, kalau semalam dia mimpiin Papanya berdarah-darah, sampai dua kali mimpi gitu. Trus... Tiara nanya ke aku tentang keadaan Papanya. Aku jawab apa adanya, nggak ada masalah setau ku, gitu lho... critanya Bapak Yunan yang terhormat." Ulas Alma panjang kali lebar agar tak menimbulkan persepsi yang tidak diinginkan dari lawan bicaranya.

"Ooo... begitu to... Hehee... Aku juga cuma bercanda... bercanda. Kamu kalau sewot makin cantik, Sayang." Goda Yunan bikin Alma sedikit salah tingkah.

"Sapa yang sewot sih, Mas. Masak senyum-senyum gini dikatain sewot??" Sanggah Alma tak mau kalah.

Tiba-tiba Tiara datang menghampiri mereka berdua, "Mama... kapan nih kita mulai yang tadi rencana Mama??" tanya Tiara sambil berbisik seperti takut di dengar Yunan saja.

"Ooo... iya... Mama hampir lupa. Ayo kita mulai sekarang!" Ajak Alma sembari bangkit dari duduknya dan melirik ke arah Yunan.

"Mau ngapain kalian ini? Pake bisik-bisik segala. Jadi penasaran nih." Ucap Yunan mau tahu.

"Hmm... ini misi rahasia." Jawab Alma ngasal aja biar nampak seru.

"Widiiih... pake rahasia segala. Hehee..." Ucap Yunan menimpali sambil sedikit tertawa.

Lalu Alma dan Tiara berlalu menuju tempat mereka berkutat membuat kue khusus hati ini.

***

Setelah menidurkan cucunya, bu Halimah merenggangkan otot-otot kakinya yang nampak sangat lelah. Ia memilih berselonjor di sofa ruang tengah sambil menonton siaran televisi.

Tapi pikirannya tidak fokus pada tayangan di depannya, malah melanglang buana pada wajah putra kesayangannya yang sampai kini tak tahu rimbanya. Semua chanel TV di pilih satu-persatu, belum ketemu juga yang bisa menghibur hatinya.

Akhirnya ia berhenti memencet remote TV yang ada di tangannya, setelah tak sengaja ada tayangan berita sekilas info.

Diperhatikannya berita itu dengan seksama. Lalu ibu kandung Anton melihat korban kecelakaan  yang terjadi tadi malam di daerah sekitarnya. Namun wajah korban dan kondisinya si blur, sehingga bu Halimah tak bisa mengenalinya.

'Kasihan sekali pemuda itu. Sampai terlindas mobil pada kakinya. Bagaimana rasa sakitnya, apalagi terlihat sepeda motornya penyok di beberapa tempat, hampir tak terbentuk lagi. Dan karena penglihatan bu Halimah yang kabur karena usianya yang makin lanjut, maka nopol yang ditayangkan di TV tidak memberinya titik terang pada pertanyaannya sejak semalam.

Sambil bersandar pada sofa, bu Halimah melihat jam dinding yang berukuran besar di ruangan itu. Walau penglihatannya sudah kabur, tapi bu Halimah masih bisa melihatnya.

'Hmm... ini sudah jam sepuluh, tapi Yuanita dan Amel belum pulang juga. Apa Anton belum ditemukan??' Pikiran wanita beruban ini makin kalut.

Pikirannya sekarang lagi membayangkan kehidupan Anton di masa lalu. Anton kecil yang selalu banyak tingkah dan suka jail, bikin pusing dan masalah di sekolah maupun di lingkungan rumah.

Ada saja yang diusilinya. Kalau nggak bikin nangis temannya sehari saja, esoknya pasti buat ulah yang lebih heboh.

Sampai-sampai bu Halimah sering di panggil ke sekolah untuk menghadap guru kelasnya, guna memberitahu perbuatan Anton yang sudah keterlaluan. Tapi selalu saja ia tak jera, karena selalu di manja dan dilindungi oleh ibu kandungnya itu.

Antara bu Halimah dan suami yaitu pak Zaini sering terjadi percekcokan karena ulah Anton dan cara didik bu Halimah yang tidak disetujui oleh pak Zaini. Tapi karena terlalu sayangnya pada putranya, bu Halimah sering mengabaikan peringatan suaminya begitu saja.

"Oek... oeeeek..." Tangisan Putri, membuyarkan lamunannya di masa lalu.

"Ooo... cucu ku sudah bangun. Baru saja tidur, kok sudah bangun ya. Biasanya nggak seperti itu." Gumam bu Halimah bermonolog.

Ia gegas berdiri dan melangkah menuju kamar, tempat cucunya tidur pagi ini.

"Ada apa, anak cantik. Kenapa sudah bangun boboknya, tumben." Ucap bu Halimah sambil tersenyum mengangkat tubuh mungil Putri ke dalam dekapannya.

"Oek... oek... oeeeek..." Tetap saja tangisan Putri tak mau berhenti.

"Ya... Tuhan, Sayang. Badanmu panas sekali. Padahal tadi pagi waktu mandi, kamu biasa-biasa saja. Kenapa tiba-tiba suhu badanmu panas???" Bu Halimah bermonolog lagi sambil menimang-nimang cucunya agar segera reda tangisannya.

***

BERSAMBUNG

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang