BAB 110. SEMOGA

347 20 2
                                    

Kumandang adzan asar telah diperdengarkan, tanda waktu siang telah usai, berganti dengan sore hari yang makin teduh hawanya.

Bu Halimah terbangun dari tidurnya yang lumayan lama. Setelah semalaman wanita ini tak bisa memejamkan kedua matanya karena memikirkan nasib putra kesayangannya yang tak jelas keberadaannya.

Tapi, berbeda dengan sore ini. Bu Halimah mulai bersemangat menjalani aktifitasnya. Dari mulai memandikan cucunya, lalu menyuapinya dan menggendongnya hingga tertidur kembali. Begitulah seorang bayi, waktunya lebih banyak dihabiskan dengan tidur. Jadi, janganlah terlalu banyak tidur ya... ntar balek lagi kayak bayi. Maaf bercanda... bercanda...☺☺☺

Setelah menyelesaikan tugas rumah di sore hari, apalagi kalau bukan menyapu, mencuci piring, melipat cucian kering. Lalu ibu kandung Anton dan Amel itu beristirahat sejenak di ruang tengah sambil mengecek ponselnya, kali saja ada pesan dari Amel.

Tapi ternyata Amel belum kasih kabar apa-apa. 'Kalau gitu, aku yang akan telpon Amel. Biar tahu perkembangan Anton srkarang.' ucap bu Halimah dalam hati.

Sebentar kemudian, ponsel Amel berbunyi ada tanda panggilan masuk.

Adik Anton itu gegas menerimanya.

(Iya, Bu.) Amel membuka percakapan.

(Gimana, Mel. Apa mas mu sudah membaik sekarang?) tanya bu Halimah antusias.

(Sudah membaik, Bu. Di sini juga ada pak Zaini dan Erik. Jadi mas Anton nggak kesepian.) Ucap Amel.

(Oh ya... alhamdulillah... kalau Anton makin membaik. Berarti nggak lama lagi boleh pulang ya??) harap bu Halimah.

(Iya, Bu. Nunggu keputusan dokter dulu. Kalau di rasa cukup, pasti mas Anton bisa cepat pulang.) Jawab Amel memberi penjelasan.

(Mel, tolong ponselnya kasih ke mas mu ya! Ibu kepingin ngomong langsung sama mas mu.) Pinta bu Halimah.

(Iya, Bu. Sebentar ya.) Lalu Amel memberikan ponselnya pada Anton.

(Anton... kamu baik-baik saja, Nak?) tanya bu Halimah.

(Iya, Bu. Aku makin membaik. Do'akan biar bisa cepat pulang ya, Bu.) Jawab Anton dengan wajah cerah dan bersemangat sambil tak henti-hentinya menatap senyum manis di bibir Yuanita.

(Pasti, Anton. Sudah dulu ya, ibu senang mendengarnya.) Ucap bu Halimah pamit untuk segera menyudahi sambungan telponnya.

(Iya, Bu.) Jawab Anton singkat.

Lalu bu Halimah segera menutup panggilannya dan tersenyum lega.

Hati seorang ibu akan selalu gembira, mendengar berita baik dari anak-anaknya. Walau sang anak sering kali membuatnya marah, jengkel, sedih bahkan sampai menangis, tapi kelembutan seorang ibu akan selalu mengayomi dan memberi kehangatan di setiap langkah anak-anaknya.

Lalu bu Halimah menyalakan televisi yang hanya dengan ini, wanita tua itu bisa menikmati kesendiriannya untuk sementara waktu.

Sambil menyandarkan punggungnya di sofa, bu Halimah mulai menikmati acara yang membuatnya fokus beberapa menit. Tapi, Tiba-tiba terdengar ada seseorang yang mengucap salam di depan rumahnya.

"Assalamualaikum..." Sapa tamu itu.

"Waalaikum salam..." Jawab bu Halimah sambil bangkit dari duduknya yang mulai nyaman. Lalu dengan langkah yang agak malas, ia mendekati pusat suara itu.

Setelah membuka kelambu sebagai pemisah antara ruang tengah dan ruang tamu, akhirnya ia tahu, siapa yang datang ke rumahnya sore ini.

"Zaini... silahkan masuk. Nak Erik, ayo masuk dulu." Bu Halimah menyambutnya dengan ramah.

Lalu pak Zaini dan Erik mendudukkan bokongnya di sofa dengan senyaman mungkin.

"Aku tadi baru nengok Anton. Dia semakin baik kesehatannya. Sudah bisa tersenyum dan wajahnya berseri-seri." Pak Zaini membuka obrolannya dengan bu Halimah.

"Oh ya... Alhamdulillah... Padahal semalam Anton seperti orang gila. Semua benda di dekatnya di banting habis-habisan dan nggak bisa dikendalikan. Maunya ketemu Yuanita saja. Sampai tengah malam nekat keluar rumah dan akibatnya jadi seperti ini." Jawab bu Halimah panjang lebar dengan wajah sumringah.

"Ya... aku paham apa yang di alami Anton itu wajar terjadi, karena kaget dan nggak siap menerima kejujuran mu tadi malam. Oh ya... Aku mau cerita keadaan Anton, biar kamu nggak kaget kalau Anton pulang bes"ok." Ucap pak Zaini membuat bu Halimah penasaran.

"Ada apa sebenarnya dengan Anton??? Katanya sudah membaik. Ada berita apa lagi sekarang???" tanya bu Halimah bingung.

"Hmm... waktu Anton jatuh dari sepeda, kaki kanan Anton terlindas ban mobil yang lewat malam itu. Akibatnya tulang kaki kanan Anton remuk tak beraturan. Jadi... jalan satu-satunya harus diamputasi untuk menyelamatkan nyawanya." Ungkap pak Zaini dengan hati-hati agar bu Halimah tak terlalu gusar.

"Apaaa??? Jadi sekarang kaki kanan Anton sudah tak utuh lagi??? Ya... Tuhan... kenapa hukuman Anton seperti itu??? Aku yang salah, kenapa harus Anton yang menanggungnya???" Deretan ucapan bu Halimah yang menunjukkan rasa sedih dan tak menyangka sampai sedemikian keadaannya. Hingga ia mengutuk dirinya sendiri.

"Halimah, kamu nggak boleh berkata seperti itu. Terimalah dengan ikhlas, karena yang terjadi itulah namanya takdir. Kamu harus sadar dan tabah ya!" Titah pak Zaini mengingatkan wanita yang ada di depannya.

"Iya... Zaini. Mau gimana lagi. Tapi aku kasihan sama Anton. Belum juga reda syoknya semalam, sekarang di tambah dengan fisiknya yang berkurang. Bagaimana pedihnya hati Anton menerima kenyataan pahit ini." Ucap bu Halimah sambil kedua matanya berkaca-kaca.

"Tapi ada satu hal yang membuat Anton senang dan bersemangat kembali." Kata pak Zaini dengan tersenyum.

"Apa maksudmu???" tanya bu Halimah antusias.

"Anton dan Yuanita bisa menikah sah menurut agama, karena Anton... maaf anak di luar nikah. Jadi Anton tidak senasab dengan Yuanita. Aku sudah menanyakannya pada ahli agama. Tapi ada resikonya sih, jika mereka sampai punya keturunan, kemungkinan besar anaknya mengalami cacat." Ulas pak Zaini dengan sangat gamblang.

"Ooo... jadi apa yang pernah aku pikirkan, ternyata ada benarnya. Aku juga pernah ingat kata-kata orang demikian, tapi aku nggak berani mastiin karena belum jelas. Syukurlah... dengan berita ini, kesedihan Anton bisa terobati. Dan semoga Yuanita bisa menerima Anton dengan keterbatasannya." Jawab bu Halimah sembari tersenyum lega.

"Maaf... aku sampai lupa nggak ngasih minum kamu Zaini dan Erik." Ucap bu Halimah agak malu atas kealpaannya.

"Nggak apa-apa. Aku ke sini cuma sebentar. Ya... sekedar memberitahu keadaan Anton pada kamu, Halimah. Dan berita gembira barusan. Biar kamu nggak mikirin nasib Anton terus-terusan." Kata pak Zaini.

"Terima kasih sudah menyempatkan waktunya ya, Zaini." Ucap bu Halimah.

"Sama-sama Halimah. Aku dan Erik mau pamit dulu." Kata pak Zaini mengakhiri percakapannya.

Bu Halimah menatap punggung pak Zaini yang semakin lama semakin jauh. Keduanya mulai mengendarai sepeda motor, karena mobilnya di bawa oleh Yuanita untuk persiapan kepulangan Anton besok.

'Anton... maafkan ibu, Nak. Nasibmu jadi seperti ini gara-gara kesalahan ku. Semoga ke depannya kamu bahagia bersama Yuanita.' bisik bu Halimah sambil berjalan masuk ke dalam rumah.

***

BERSAMBUNG

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang