"Ayah, toko Anton ini bikin rumah kita sempit aja. Kalo si pincang itu datang ke sini, bilang sama dia. Suruh bawa semua barang-barangnya! Anton kan juga anak Ayah. Jadi bilangin sama anak Ayah tuh, biar jadi orang tua yang baik, pinter nyari duit. Siapa juga yang mau sama lelaki macam dia itu. Anaknya banyak, cacat lagi, tambah nggak bisa nyari duit buat anak istri. Di mana-mana lelaki idaman itu, harusnya punya penghasilan lebih gede dari istrinya, ini mah... cuma bikin susah aja. Makanya..."
"Cukup!!! Apa kamu mau tak tampar lagi mulut busuk mu itu!!! Jangan tambah lagi penderitaan Anton. Dia sudah berusaha jadi suami yang bertanggung jawab. Kamunya saja yang nggak mau bersyukur. Kalau mau cerai, ya cerai saja. Nggak usah nyari kesalahan apalagi jelek-jelekin Anton, seolah-olah hanya dia yang salah. Apa kamu belum sadar, hah!! Anton menikahi kamu, karena kamu sudah terlanjur hamil duluan!! Sadar nggak!!!" Bentak pak Zaini pada Yuanita yang sekalinya ngomong selalu bikin emosi.
"Aku ini anak Ayah, lho. Anak kandung Ayah dari pernikahan yang sah. Kenapa malah Ayah belain si Anton, anak di luar nikah itu! Justru harusnya Ayah malu, aku seperti ini, karena karma dari kelakuan Ayah sama Halimah ibunya Anton itu!" Protes Yuanita tak mau kalah.
"Sudah!! Diam kamu, Nita!!" Teriak pak Zaini sekali lagi dengan suara lantang. Emosinya mulai naik ke ubun-ubun hingga membuat tangannya mengepal ingin melampiaskannya pada benda yang ada di dekatnya.
"Kenapa? Ayah malu??" Ucap Yuanita dengan bibir mencibir dan mata menantang.
"Apa kamu mau, ayahmu ini cepat mati karena menanggung malu, hah?? Semua ayah lakukan demi kebahagiaan mu, tapi apa balasan mu, Nita?? Kamu mau membuka aib keluarga mu sendiri, begitu?!?!" Pak Zaini yang sudah menahan emosi sedari tadi, tiba-tiba tubuhnya lemas bersandar pada dinding tembok, tempat lelaki tua itu berdiri.
Tiba-tiba Erik memasuki rumah dan melihat ayahnya yang sempoyongan. "Ayaaaah... kenapa ayah???" Teriak Erik karena panik.
Pak Zaini dengan tubuhnya yang hampir ambruk secepatnya di topang oleh tangan Erik yang dengan cekatan berlari ke arahnya. Untunglah, akhirnya Erik bisa membantu pak Zaini berjalan pelan menuju kamarnya yang bersebelahan dengan tempatnya jatuh tadi.
"Sini, Yah. Aku bantu jalan. Pelan-pelan saja." Erik dengan sabar membantu pak Zaini hingga bisa istirahat dan berbaring di atas ranjang dengan nyaman.
Melihat hal ini, Yuanita hanya bisa mematung dan terdiam membisu, tapi ia juga nampak sedikit panik. 'Kenapa ayah tiba-tiba mau pingsan? Apa aku sudah sangat keterlaluan? Hmm... tapi memang benar kan apa yang aku ucapkan pada Ayah barusan? Kalau terjadi apa-apa pada Ayah, itu bukan karena aku, tapi akibat kesalahannya sendiri dong.'
***
"Permisi tante, aku mau masuk kamar dulu ya!" Ucap Tiara sembari mulai melangkah masuk ke kamar bu Halimah. Di sanalah tergolok sosok bayi mungil yang masih tertidur pulas.
'Aduuuh... aku harus gimana sekarang. Mana Tiara langsung masuk aja lagi. Gimana aku harus mengalihkan perhatiannya??' Bisik Amel malah sibuk sendiri dengan pikirannya.
Tanpa menunggu tantenya menyetujui permintaannya, Tiara makin dekat dengan bayi itu. Dengan sekali gerakan menyibak kelambu yang menutupi bayi.
Setelah di buka, ia terperanjat dan menjerit dengan histeris. "Astaghfirullaaah," teriak Tiara sambil membelalakkan kedua matanya dan tangannya bergetar sambil tetap memegangi kelambu.
"Tiara, jaa... ngan." Suara Amel terhenti karena sudah terlambat memberi peringatan pada keponakannya itu.
Lalu Tiara memilih duduk di samping bayi yang masih tidur, sambil mengatur napas agar kembali tenang. Gadis itu menatapnya dengan mata iba, "Kasihan dengan anak Papa ini ya? Maaf, aku tadi kaget, Tante."
"I... iya, Tiara. Dia terlahir seperti ini, dia juga ada kelainan jantung sejak lahir." Ucap Amel sambil berjalan mendekat pada ranjang tempat bayi itu tidur dengan tatapan sayu.
"Kasihan sekali. Semoga bisa sembuh dan kembali sehat ya, Adek." Ucap Tiara sambil tersenyum dan tangannya mengelus tubuh mungil yang terbungkus selimut di tengah ranjang.
'Sungguh baik hatimu, Tiara. Ku kira, kamu tadi akan menjauh karena takut pada bayi ini. Ternyata kamu mau menyentuh dan mengelusnya dengan hangat.' Bisik Amel sambil menatap keponakannya itu dengan kagum.
"Ayo, Tante. Kita balek ke ruang tamu. Aku nggak bisa lama-lama di sini. Lagi banyak tugas sekolah yang belum aku kerjain." Ucap Tiara sambil berdiri dan menggandengan tangan tantenya dengan akrab.
"Hmm...," Balas Amel sambil tersenyum dan membiarkan tangannya di pegang oleh keponakannya yang nampak makin cantik dengan kulit putihnya.
Sesampainya di ruang tamu, gadis itu memandang pada Yunan dan berkata, "Pa, ayo kita pulang. Aku masih ada tugas belum aku kerjain."
"Oo... iya, Tiara. Bu Halimah, Anton, kami pamit dulu ya." Ucap Yunan sambil tangannya bersalaman satu persatu dengan si empunya rumah dengan ramah.
Lalu mereka berpamitan, "Assalamualaikum."
"Waalaikum salam," Jawab bu Halimah, Anton, Amel hampir bersamaan.
Tiba-tiba bu Halimah mendekati Amel dan bertanya, "Mel, gimana tadi waktu Tiara lihat bayinya? Apa dia takut dan menghinanya?"
"Nggak, Bu. Memang awalnya dia kaget, lalu Tiara malah merasa iba dan mengelus adeknya itu dengan rasa sayang." Jawab Amel menceritakan yang baru saja ia lihat.
"Pasti Tiara akan cerita ke mamanya dan keluarganya. Tapi aku sudah pasrah, biar saja apa reaksi Alma dan Yunan setelah diberitahu Tiara tentang anak ini." Ucap Anton.
Lalu bu Halimah berjalan masuk ke kamarnya kembali untuk beristirahat karena rasa pusing di kepalanya belum sepenuhnya reda.
Amel membereskan beberapa cangkir tempat suguhan teh untuk tamu dan piring tempat camilan yang menemaninya.
Sedang Anton berjalan dengan tongkat penyangga menuju dapur untuk membuat susu formula buat anaknya. Ia sudah cekatan dan gak kesulitan lagi, karena ini sudah menjadi pekerjaan sehari-harinya.
*
Dalam perjalanan pulang dengan mengendarai mobil Rush hitam, Tiara duduk di kursi tengah sendirian. Sedang Yunan dan Angga berada di kursi depan.
"Aku tadi kaget lihat wajah adek bayi." Ucap Tiara sambil membayangkan peristiwa yang di alaminya.
"Kenapa, Tiara. Apa yang membuat kaget? Apa dia sangat cantik, jadi kamu merasa kalah, begitu??" tanya Yunan sambil tersenyum menggoda anak tirinya itu.
"Nggak, Pa. Aku kaget karena wajah adek bayi itu aneh dan menyeramkan." Jawab Amel.
"Lho... kok bisa gitu ya? Seserem apa sih, jadi penasaran?" tanya Angga sambil tetap memandang lurus ke depan.
"Kedua matanya lebih besar, nggak sinkron sama mukanya, keningnya sangat menonjol, hidungnya lebih besar dari ukuran normal. Mulutnya yang bagian atas dan bawah nggak seimbang ukurannya, kulitnya bertekstur kasar nggak seperti batin pada umumnya." Ucap Tiara menjelaskan dengan mendetail.
***
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
Lãng mạnSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...