BAB 38. TETAP ALMA DI HATI ANTON

1.2K 40 1
                                    

"Silahkan ayah makan dan minum dulu! Kita makan bersama ya, Yah! Alma, kamu juga lapar kan, Sayang?" Ucap Yunan berusaha mencairkan suasana. Lelaki tampan ini tak tinggal diam, menengahi kekakuan komunikasi antara Alma dan ayahnya.

"Iya, Nak. Terima kasih." Jawab ayah Alma sambil tersenyum. Kini wajahnya sudah bersih, baru saja di basuh dengan air di kamar mandi. Tangan dan kakinya juga sudah tidak kotor lagi.

Alma hanya tersenyum menatap suaminya yang duduk di sampingnya. Lalu Alma mengambilkan piring dan sendok untuk ayahnya lalu suaminya lanjut untuk dirinya sendiri. Mereka bertiga menikmati nasi padang kesukaan Alma yang sudah disiapkan Yunan saat mau pergi ke rumah Alma.

Demikian perhatiannya seorang suami pada istrinya. Tanpa di minta, Yunan sudah mengerti apa yang terbaik untuk istrinya.

Cuma beberapa saat, sepiring nasi padang ayah Alma sudah habis duluan. Untungnya, Yunan sengaja membeli empat bungkus. Prediksinya kali ini tepat, pasti ayah Alma sangat lapar dan ingin nambah.

"Silahkan nambah lagi, Yah! Ini ada satu bungkus lagi. Pasti ayah masih lapar." Ucap Yunan dengan sopan.

"Sini, Yah. Aku bukakan bungkusnya," kata Alma sembari mengambil sebungkus nasi dan segera meletakkannya di piring ayahnya yang sudah kosong.

"Maaf... Ayah jadi merepotkan." Sahut ayah Alma yang bernama Rudi itu dengan malu-malu.

"Nggak apa-apa, Yah. Setelah ini ayah istirahat ya. Bisa pake kamar depan, dulu itu kamar ayah dan ibu kan?" Alma mulai mengakrabkan diri, sudah tak canggung lagi.

"Makasih, Nak. Ayah sekarang merepotkan kamu," jawab pak Rudi pada anak kandung dan menantunya yang sedang duduk di depannya, sambil menghabiskan nasi padang di piring masing-masing.

"Nggak apa-apa, Yah. Aku dan Mas Yunan akan sering ke sini menjenguk Ayah. Tapi maaf, aku nggak bisa tinggal di sini, karena harus ikut Mas Yunan pulang ke rumahnya." Jelas Alma yang sudah tak canggung lagi.

"Ayah sebenarnya malu pulang ke rumah ini, mengingat dulu ayah menelantarkan kamu, Alma. Tapi... kalau nggak ke sini, lalu pulang kemana. Karena semua rumah dan harta ayah terlanjur diatasnamakan pada istri ayah, Lasmini. Setelah ayah bangkrut dan tak bekerja lagi, ayah si usir dan diperlakukan layaknya bukan manusia." Pak Rudi menceritakan semua kisahnya dengan tangan bergetar dan muka masam. Kedua matanya memancarkan kekecewaan dan kesedihan yang teramat dalam. Ia menatap lekat-lekat pada anak semata wayangnya, Alma. Kini harapannya cuma pada wanita yang duduk di depannya itu.

Wanita yang dulu di buang, di usir, tak di anggap sebagai anak, demi membela wanita simpanannya, Lasmini.

Roda kehidupan mengalami perputaran 180 derajat. Pak Rudi yang kaya raya, punya rumah besar, mobil mewah, perusahaan pribadi, beberapa bidang tanah, sekarang tak punya apa-apa lagi. Hanya tinggal pakaian yang melekat di tubuhnya. Itu pun sebenarnya sudah tak layak pakai.

Jika Tuhan sudah berkehendak, sekaya apapun manusia, pasti akan dimiskinkan akibat perbuatannya di masa lalu.

Tapi pak Rudi masih sangat beruntung. Walaupun ia dulu berbuat kejam pada anaknya, tapi Alma bisa memaafkan dan menerimanya dengan baik. Berkat arahan suaminya yang bijak, Yunan.

***

"Alma... Alma... Kamu dimana Alma??? Almaaaa...!!!" teriak Anton dengan suara keras. Setiap lelaki yang masih amnesia ini tidur, pasti ia mengigau dengan menyebut sebuah nama. Ya, mantan istrinya yang dulu dihianati dengan semena-mena.

Mendengar suara Anton yang keras, Heni tersentak dan secepatnya melangkah cepat keluar kamar, lalu gegas masuk kamar Anton yang bersebelahan kamar dengannya.

"Mas... bangun, Mas! Mas Anton, bangun!!!" Tangan Heni menggoyang-goyangkan lengan Anton yang masih berteriak.

Akhirnya Anton terbangun, lalu lelaki yang menjadi suami Heni itu membuka matanya, sembari duduk dengan napas tersengal-sengal.

"Mana Alma? Mana istriku Alma?? Almaaa!?Almaaaa?!?!" Tak henti-hentinya Anton berteriak sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari seseorang yang sangat dirindukannya.

"Mas, Alma itu mantan istrimu. Lihat aku!! Sekarang aku ini istrimu, Mas!" Heni memegang kedua pundak Anton, sambil menatap mata suaminya itu dengan tatapan tajam.

"Hei... Keluar kamu dari kamarku!!! Dasar perempuan nggak tau diri! Pergi!!! Jangan merayu ku lagi!!! Istri ku itu cantik, kulitnya putih, rambutnya hitam terurai, tutur katanya sopan. Nggak kayak kamu!!! Sudah, jauhi aku! Aku muak lihat muka mu!!!"

Hati Heni bagai di iris sembilu. Pedih, perih, tercabik-cabik. Suami yang sangat ia cintai, yang sudah memberinya seorang bayi, kini membuangnya begitu saja bagai sampah.

Suara Anton menggelegar bagai petir di siang bolong. Hingga bu Halimah dan Adel yang ada di dapur terperanjat dan keduanya gegas melangkah cepat menuju kamar Anton.

Dengan terengah-engah mengatur napas, bu Halimah yang sudah tua, masuk ke kamar Anton, kebetulan pintunya sudah terbuka.

"Ada apa ini? Kenapa berisik sekali? Malu di dengar tetangga! Anton, apa kamu mimpi Alma lagi?" Ucap bu Halimah menghampiri Anton, sementara di sebelahnya masih ada Heni yang berdiri mematung dengan muka masam.

"Mana Alma, Bu. Aku ingin ketemu dengan istriku, juga anakku Tiara. Suruh mereka ke sini, Bu. Aku merindukan mereka. Dan perempuan nggak jelas ini. Suruh menjauhi aku. Aku muak lihat mukanya!!!" Jawab Anton dengan volume agak turun.

Rasa rindu pada mantan istri dan putri kandungnya menghantui setiap langkah dan mimpinya. Sedang bu Halimah tak bisa berbuat apa-apa. Ia tak mau menyakiti hati menantunya, Heni.

Tapi... Tiba-tiba Heni mengeluarkan suaranya.

"Bu, demi kebaikan Mas Anton, aku rela Alma di minta ke sini. Semoga dengan kedatangan Alma bisa secepatnya mengembalikan ingatan Mas Anton." Heni akhirnya menyetujui usulan bu Halimah kala itu, walau sebenarnya dari lubuk hatinya, ia tak rela membiarkan suaminya bertemu lagi dengan mantan istrinya.

"Kamu yakin, Hen? Kalau kamu sudah yakin, aku akan menghubungi mbak Alma. Dan minta waktunya agar bisa menjenguk Mas Anton. Semoga saja mbak Alma mau dan suaminya mengijinkan." Sahut Adel sembari menegaskan pada Heni agar ia tak bimbang dalam mengambil keputusan.

"Iya, Del. Ini semua demi kebaikan Mas Anton." Jawab Heni dengan mata yang terbalut kesedihan.

***

Derrrttt... derrrttt...

Berkali-kali ponsel Alma bergetar, ada panggilan masuk. Gegas Alma menerima panggilan itu, tertulis di layar ponselnya, Adel.

(Assalamualaikum... Ada apa, Del) sapa Alma membuka percakapan.

(Waalaikum salam, mbak Alma. Maaf mbak, kalau aku ganggu. Apa mbak Alma lagi sibuk?) tanya Adel.

(Biasalah, Del. Jam segini aku masih di sekolahan. Nggak ganggu kok. Ini lagi jam istirahat. Memang ada apa?) tanya Alma balik.

(Gini mbk. Ini ada hubungannya dengan pemulihan ingatan Mas Anton. Jadi... Mas Anton setiap tidur, selalu mengingau dan memanggil nama mbak Alma. Dalam ingatannya, mbak Alma masih dianggap sebagai istrinya. Kata dokter, siapa yang sering di panggil dan di ingat sama Mas Anton, sebaiknya dipertemukan, agar bisa pulih secepatnya) Penjelasan Adel panjang kali lebar, tapi tetap hati-hati, agar Alma tak salah paham.

(Oh... gitu, Del. Trus apa yang bisa mbak bantu?) tanya Alma yang tetap bersikap baik, walau Adel tak lagi jadi adik iparnya.

(Hmm... Kalau mbak Alma ada waktu dan di ijini suami embak, tolong datang ke rumah dan ketemu dengan Mas Anton. Bisa juga ajak Tiara ya, Mbak. Karena yang di ingat cuma mbak Alma dan Tiara) Jawab Adel dalam sambungan telepon.

(Iya, Del. Nanti mbak ijin ke suami mbak dulu ya. Kalau mau ke sana, mbak kabari dulu, Del) Janji Alma pada Adel dengan sungguh-sungguh.

***

BERSAMBUNG... 

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang