BAB 84. TAK PERNAH MENYANGKA

624 41 4
                                    

Anton tak pernah menyangka, wanita sekuat Heni akhirnya memilih mengakhiri hidupnya dengan membunuh dirinya sendiri. Ada penyesalan di hati pria egois ini, penyesalan yang tak termaafkan, karena sudah terlambat.

'Heni... maafkan aku, aku tak pernah menyangka kamu berbuat senekad ini. Aku kira kamu wanita kuat, wanita yang tak pernah ku lihat sedih dan menangis. Selama ini, kamu tak pernah mengeluh selama menjadi istri ku. Kamu juga selalu menerima semua yang aku putuskan untukmu. Tapi di balik itu semua, ternyata kamu menyimpan amarah dan mengakhiri dirimu sendiri dengan cara bunuh diri. Maafkan aku Heni'

Sesal Anton yang tak berujung, entah sampai kapan hatinya menjadi sedih seperti itu. Apakah selamanya atau cuma sementara?

'Tapi... gimana dengan pernikahan ku yang sudah ku rancang begitu indah dengan Yuanita? Lalu... Putri?? Siapa yang akan urus??? Aduuuh... semua jadi berantakan gara-gara kamu, Heni!' Gerutu Anton dalam hati.

Di pikirannya masih saja menomorsatukan keinginannya. Sesal yang di ucapannya hanya bertahan beberapa menit saja, akhirnya ke setelan awal, ingin segera melancarkan  rencananya semula. Yaitu menikahi Yuanita yang sudah mencuri perhatian dan hatinya hampir seratus persen.

*

Dari sekian banyak pelayat yang datang, ada emak-emak julid yang juga ikut meramaikan suasana. Pasti para readers sudah hafal ya? Siapa lagi kalau bukan bu Joko dan bu Nana.

Mereka berdua kemana-mana selalu berdua dan tak lupa suka punya sisi tersendiri untuk dijadikan topik pembicaraan. Tapi terkadang kejulidan mereka berdampak positif juga, karena bisa menguak rahasia di balik peristiwa. Bisa mengalahkan intel, hehehee...

"Dengar-dengar, kematian menantu bu Halimah ini nggak wajar lho, bu Nana. Pasti ada rahasia di balik kenekatannya itu." Bisik bu Joko di ujung telinga bu Nana yang duduk di sebelahnya.

"Iya... aku juga dengar kabar itu, Bu Joko. Iiiih... merinding ya?! Jangan-jangan penyebab kenekatan Heni adalah suaminya sendiri. Lihat saja tadi, suaminya baru pulang pagi. Darimana coba??" Balas bu Nana dengan berbisik pula di telinga emak di sebelahnya.

"Iya ya... Kok ada laki-lali kayak gitu. Kalo aku jadi Heni, nggak akan ku akhiri hidup ku dengan cara seperti itu. Apa nggak kasihan sama anaknya yang masih bayi, Gimana nasibnya ya, Bu?" Bu Joko memperpanjang masalah.

"Biarin aja, Bu Joko. Biar kapok tuh si Anton. Emang enak ditinggal mati istri dengan anak yang masih bayi gitu?" Cibir bu Nana sambil memonyongkan mulutnya tetap dengan bisik-bisik asyik.

"Gimana sih, bu Nana ini? Ya nggak mungkin lah si Anton yang ngerawat bayinya. Pasti akhirnya jadi tanggungan bu Halimah. Mana bisa Anton ngerawat anak, apalagi masih bayi. Dengan istri pertamanya saja, si Anton nggak ada tanggung jawabnya. Kan punya anak juga, Bu." Ucap bu Joko.

"Wah... iya juga ya. Kok aku jadi curiga. Jangan-jangan kematian Heni yang nggak wajar ini karena si Anton kepincut wanita lain dan mau kawin lagi, Bu?" Bisik bu Nana makin menjadi.

"Aku juga punya pikiran yang sama. Heni dapat Anton dari hasil ngerebut, akhirnya hasil rebutannya di rebut wanita lain. Lunas deh." Balas bu Joko dengan nada sumbang.

Di tengah-tengah keasikan mereka berbisik, nampak sosok Anton yang mondar-mandir sok sibuk di depan para pelayat. Wajahnya di pasang muka sedih agar sesuai dengan situasi dan kondisi. Padahal ia sedih bukan karena kematian Heni, tapi sedih karena rencana pernikahannya dengan Yuanita pasti akan tertunda gara-gara peristiwa yang tak terduga itu.

"Tuh lihat! Anton sedih sekali dengan kematian istrinya. Pasti dia menyesal." Celetuk bu Nana.

"Mana sih, Bu. Aku kok nggak percaya ya... kalo si Anton menyesal. Palingan bentar lagi juga bakal kawin lagi. Laki-laki macam Anton itu nggak ada kata menyesal, Bu. Catat deh, omongan ku!" Bu Joko menimpali.

"Jadi geregetan aku sama Anton. Ganteng sih ganteng... tapi kelakuannya bikin eneg." Lanjut bu Nana tetap dengan bibirnya yang monyong karena sebel.

"Kasihan bu Halimah ya. Punya anak laki-laki kayak gitu. Padahal setahu ku, bu Halimah orang yang sabar lho, Bu Nana. Nggak pernah jahat ke tetangga, selalu baik pada kita kan? Gitu kok ya punya anak macam Anton." Ucap bu Joko.

"Iya ya... Kok bisa ya, Bu. Bu Halimah kan orangnya baik, malah di kasih anak laki-laki seperti itu?" Bu Nana ikut prihatin.

"Sudah lah, Bu. Semoga saja anak-anak kita nggak ada yang berkelakuan kayak Anton." Harap bu Joko.

Sementara perbisikan mereka terhenti, karena jenazah Heni akan segera dikebumikan ke pemakaman terdekat. Para pelayat segera berdiri sebagai tanda penghormatan terakhir pada almarhumah.

***

"Apa kepalamu masih pusing, Sayang?" tanya Yunan pada istri tercintanya.

"Sudah nggak terlalu, Mas. Aku bisa mulai mengajar hari ini. Kalau dibuat tiduran terus, jadi manja nanti." Jawab Alma sambil merapikan pakaian yang sedang dipakainya.

"Aku antar ya, Sayang. Pulangnya juga bisa aku jemput. Jadi jangan lupa kalau sudah waktunya pulang, kamu info ya!" Ucap Yunan sambil memperhatikan istrinya yang sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat mengajar.

"Eee... nggak usah, Mas. Aku bisa naik sepeda motor sendiri. Aku nggak apa-apa kok. Nanti kalau sudah beraktifitas, pasti pusingnya akan hilang." Alma menolak usulan suaminya.

"Beneran nih nggak apa-apa?" tanya Yunan sambil memeluk istrinya dari belakang.

"Nggak apa-apa, Sayang." Jawab Alma sambil menyandarkan kepalanya sebentar ke dada bidang Yunan.

Tiba-tiba terdengar suara dering telepon masuk dari ponsel Alma yang tergeletak di nakas.

Alma melepaskan dekapan Yunan untuk sementara, ia berjalan meraih ponsel itu.

(Halo, ada apa bu Niken)

(Saya dapat kabar, Bu. Katanya semalam bu Heni meninggal dunia)

(Inna lillahi wainna ilaihi rojiun. Kok mendadak sekali, Bu. Apa yang terjadi sama bu Heni. Kan pas kita ketemu terakhir, dia baik-baik saja)

(Kabar yang saya dengar, katanya bu Heni bunuh diri, Bu)

(Astaghfirullah... Kok sampai senekad itu???)

(Sudah ya, Bu Alma)

(Makasih informasinya, bu Niken. Hari ini setelah mengajar, kita takziyah ke rumah bu Heni)

(Iya, Bu Alma)

Alma mengakhiri pembicaraan di ponselnya. Lalu ia menghela napas panjang sambil mendudukan pantatnya di tepi ranjang. Wajahnya nampak sedih dan kedua matanya serasa panas karena menahan air mata.

"Siapa yang meninggal?" tanya Yunan sambil mendekati istrinya.

Alma mendongakkan kepalanya, sembari mengambil napas dalam-dalam. Pandangannya menatap sendu ke arah Yunan. "Heni yang meningggal." Mendadak tetesan air mata sudah mulai membasahi kedua pipinya.

"Heni?? Heni istri Anton???" tanya Yunan dengan nada tak percaya.

"Iya, Mas. Kabarnya Heni meninggal karena bunuh diri." Jawab Alma dengan isakan tangisnya.

"Astaghfirullahal adzim... Kok sampai seperti itu? Apa karena Anton mau kawin lagi, jadi Heni nggak bisa nrima kenyataan??" Ucap Yunan keceplosan.

"Apa Mas?! Anton mau kawin lagi?? Kamu dengar darimana kabar itu???" tanya Alma penasaran.

"Aku kan sekantor sama Anton. Dan aku sudah lama tahu kabar itu. Cuma aku nggak enak aja mau cerita ke kamu, Sayang." Ucap Yunan sambil duduk di sebelah istrinya.

"Kasihan Heni. Walaupun Heni sering jahat pada ku, tapi dulu Heni adalah sahabat ku, Mas. Sudah bertahun-tahun kami melewati hari-hari bersama. Susah senang, berbagi cerita sama Heni, dengan segala keceriaannya. Tapi di akhir hidupnya, ia memilih jalan yang salah." Kembali Alma mengusap air matanya yang mengalir deras, sambil mengingat kenangan indah masa remaja bersama sahabat yang pernah ia anggap layaknya saudara itu. Namun akhirnya persahabatan itu terkoyak dengan pengkhianatan yang tak disangka.

***

BERSAMBUNG... 

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang