Kesehatan bu Halimah semakin hari semakin menurun. Suhu tubuhnya tidak stabil, apalagi nafsu makannya sudah tak ada sama sekali. Akhirnya Amel membawa bu Halimah ke rumah sakit untuk mendapat perawatan dan pengobatan lebih intens.
Namun usaha Amel tak membawa hasil, karena bu Halimah sudah enggan melanjutkan hidup lagi. Setelah gunjingan dari tetangganya yang sudah terlanjur menyebar luas, ia tak tau harus berbuat apa.
Cairan infus sudah tertancap di pergelangan tangan kirinya, namun tetesan air mata tak henti-hentinya menggenangi kedua pipinya yang keriput sesuai usianya yang sudah tua.
Kenangan masa lalu yang suram selalu membelenggu pikirannya, hingga ia susah tidur tanpa obat penenang. Tapi Amel tak pantang menyerah, ia selalu berusaha memberi semangat pada ibunya yang sangat ia sayangi.
"Bu, aku suapin ya! Makanan ini pasti enak, cobaan dikit aja, Bu. Mumpung masih hangat. Hmm... aromanya juga sedap sekali, Bu." Ucap Amel sambil menyendok bubur ayam yang masih hangat di tangan kanannya.
Bu Halimah cuma menggelengkan kepala tanda ia tak ingin makan apalagi membuka mulutnya. Usaha Amel pun sia-sia, tapi adik Anton ini tak putus asa. Ia kembali tersenyum manis pada ibunya.
"Ibu mau sembuh dan pulang ke rumah kan? Nah, makanya ibu harus makan dulu, walau hanya sesuap saja. Ya Bu!?"
Namun bu Halimah tak menanggapi rayuan Amel yang tak henti-hentinya. Wanita yang nampak makin lemah itu kembali menutup matanya dan berlinangan air mata.
"Kenapa ibu menangis? Apa yang sakit, Bu?"
"Nggak, Mel. Ibu nggak ingin sembuh, ibu sudah nggak punya muka lagi di depan tetangga." Ucap bu Halimah lirih.
"Istighfar, Bu. Kenapa ibu malah menanggapi seperti itu. Mereka nggak tau cerita aslinya gimana kan? Tau-tau mereka menghina dan menyalahkan ibu saja. Biar saja mereka seperti itu, Bu. Kalau sudah puas, pasti mereka diam sendiri. Kayak yang ngomongin ibu itu orang paling baik dan nggak punya salah aja. Setiap orang pasti punya salah, nggak ada yang sempurna. Jadi ibu nggak usah terlalu mikirin masalah itu ya!"
"Ibu banyak dosa, Mel. Mungkin ini karma dari perbuatan ibu waktu itu. Ibu terima dengan ikhlas, tapi ibu nggak mau ketemu tetangga lagi. Ibu sedih kalau ingat kata-kata mereka, Mel."
Demikian perasaan perih campur menyesal yang ada dalam hati dan pikiran bu Halimah saat ini. Tak ada gairah hidup dalam dirinya, walau cairan infus sudah membantu memulihkan kesehatannya, namun semuanya menjadi tak berarti.
Hingga suatu hari, terjadi pendarahan pada pembuluh darah otak akibat tekanan darah yang terlampau tinggi karena bu Halimah tak bisa istirahat beberapa hari terakhir.
Dokter sudah mengupayakan dengan segala cara, namun nyawa bu Halimah tidak bisa tertolong lagi.
"Dokter bagaimana dengan ibu saya?" tanya Amel.
"Saya sudah berusaha maksimal, tapi Tuhan berkehendak lain. Ibu anda sudah meninggal dunia." Ucap dokter yang menangani.
Amel menangis tersedu-sedu mendengar berita yang tak diharapkannya ini. Orang tua satu-satunya yang sangat ia sayangi, kini telah tiada untuk selama-lamanya.
"Ibuuuu..." Teriak Amel berlari menghampiri jasad ibunya yang sudah tak bernyawa.
Umur manusia tak ada yang tahu, sampai kapan kita akan bisa menghirup udara di dunia ini. Begitu juga dengan bu Halimah. Karena mentalnya yang tak kuat di gempur habis-habisan dengan kenyataan, akhirnya ibu kandung Anton dan Amel menutup mata di usia 55 tahun.
***
"Selamat siang, Pak Yunan." Sapa Yuanita ketika berpapasan di ruang meeting.
"Nita, selamat siang." Yunan kaget dengan sapaan wanita centil itu. Tapi ia tak menanggapi tatapan nakal mantan sekretarisnya yang licik dan suka menggodanya seperti sebelumnya.
"Apa kabar, Pak Yunan."
"Baik." Jawab Yunan singkat dan melanjutkan langkahnya menuju kursi yang sudah disediakan.
"Sombong!! Awas saja nanti!!!" Gerutu Yuanita.
Tiba-tiba wanita centil ini melihat sosok lelaki yang menggantikan kedudukan di perusahaan milik Yunan.
'Hmm... itu kan si Revan. Biar ku kerjain dia.' bisik Yuanita.
Lalu ia menyempatkan mendekati Revan yang sekarang telah duduk bersebelahan dengan Yunan.
'Mumpung meeting ini belum di mulai, aku akan manfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya'
"Ehhemm, " Sapa Yuanita.
Revan menoleh mendengar suara itu.
"Nita?? Kamu di sini??" tanya Revan sambil melongo karena nggak nyangka akan ketemu dengan wanita pengacau pada siang itu.
"Iya, Revan. Kenapa? Kaget ya??" Bibir Yuanita mencibir.
"Kaget sih. Nggak nyangka bisa ketemu teman lama." Jawab Revan ramah.
"Teman?? Emang kita pernah berteman?? Yang ada kamu itu seneng kalau sudah nggak ada aku di perusahaan pak Yunan, ya kan??"
"Bukan begitu, Nita? Kenapa punya pikiran seperti itu sih?"
"Nggak usah pura-pura baik di depan ku, Revan. Asal kamu tahu ya! Aku nggak nyesel di pecat di perusahaan Yunan, dengan begitu aku bisa di terima bekerja di tempat yang lebih baik. Lihat saja! Permisi!"
Lirikan matanya penuh kesombongan mengakhiri percakapan di depan Revan dan Yunan. Revan mengelus dada untuk meredakan emosinya, sedang Yunan tak menghiraukan aksi wanita gila yang mencoba mencari perhatiannya.
Acara pun di mulai, beberapa perusahaan menjelaskan proposal masing-masing untuk memikat investor dan memenangkan tender. Dan tibalah saatnya giliran Yunan mulai berdiri mengutarakan isi proposalnya.
Namun belum selesai ia menuntaskan penjelasannya, Yuanita mulai berulah. Ia terbatuk-batuk tak henti-hentinya hingga sangat mengganggu konsentrasi di ruang meeting. Akhirnya semua peserta meeting terutama investor tak bisa mendengarkan dengan baik suara Yunan, karena Yunan pun juga sangat terganggu.
Lalu Yunan duduk kembali dengan muka masam. Ia tahu betul kalau Yuanita sengaja melakukan hal itu, untuk merusak suasana.
Setelah itu Bagas bos baru Yuanita berdiri untuk menjelaskan isi proposalnya. Dengan penuh percaya diri dan paling berani mengambil resiko untuk tender ini, maka akhirnya diputuskan pemenang tender adalah PT. ALEXA BUANA milik bos BAGASKARA WINATA.
Dengan bersorak sorai Yuanita berdiri dan langsung menyalami erat tangan bos ganteng namun congkak itu. Lirikan mata Yuanita sengaja ia pasang pada kedua lelaki yang duduk tak jauh dari dirinya. Ya... siapa lagi kalau bukan Yunan dan Revan.
Namun Yunan tak bergeming dan tetap acuh dengan tingkah wanita gila itu. Revan yang belum berpengalaman hanya bisa mengalihkan pandangan dan menghela napas panjang.
Acara pun usai, semua peserta meeting mulai meninggalkan tempat. Yuanita tak membiarkan kesempatan mencibir bos lamanya.
"Gimana direktur Yunan? Selamat ya, atas kekalahan tender besar ini. Ha ha..."
Sekali lagi Yunan tak mau menatap wajah wanita pengkhianat ini, ia terus berjalan meninggalkan ruangan bersama Revan sekretarisnya.
"Dasar sok alim. Ini baru awal ya... tunggu serangan ku berikutnya!" Gerutu Yuanita dengan muka bersungut-sungut.
"Nita, ayo kita rayakan kemenangan kita, Sayang!" Ucap Bagas
"Iya, Pak. Kita mau kemana?"
"Ikut saja aku. Kamu akan tahu sendiri." Jawab Bagas dengan lirikan penuh arti.
***
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
RomanceSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...